Anak-anak di Garis Peperangan
Home Opini Melindungi Anak dari Kekerasan Terorisme
Opini - 08/04/2019

Melindungi Anak dari Kekerasan Terorisme


ALIANSI INDONESIA DAMAI – Kekerasan terorisme masih menjadi momok kehidupan masyarakat. Dampak dari kejahatan kemanusiaan ini tidak mengenal usia. Baik orang dewasa maupun anak-anak memiliki potensi yang sama menjadi korban dari terorisme. Potensi menjadi korban terorisme terhadap anak-anak yang dimaksud di sini adalah kemungkinan dua posisi, yaitu sebagai korban aksi terorisme atau sebagai korban indoktrinasi ideologi terorisme. Kondisi ini tentu menjadi keprihatinan kita bersama mengingat generasi muda merupakan aset bangsa di masa depan yang perlu dituntun dan dibimbing menuju kemajuan. Namun, terorisme telah merenggut masa depan mereka lebih awal.

Anak sebagai korban aksi

Sifat aksi terorisme yang menyasar secara acak, menyebabkan siapa pun tidak aman dari dampak kekerasan itu, termasuk anak-anak. Di antara mereka ada yang menjadi korban langsung maupun tak langsung. Korban langsung berarti anak-anak yang terkena langsung ledakan bom atau bentuk aksi teror lainnya, yang menyebabkan luka fisik, trauma, atau bahkan merenggut nyawa. Di Indonesia pernah terjadi kasus seperti itu. Kasus bom di Gereja Oikumene Samarinda salah satu contohnya. Tempo.co dan kompas.com melaporkan, seorang balita atas nama IO (2,5) meninggal dunia dan tiga lainnya atas nama AA, TH, dan AK menderita luka bakar yang sangat serius akibat serangan bom molotov yang terjadi Minggu, 13 November 2016. Saat kejadian, anak-anak tak berdosa itu sedang bermain di halaman gereja sembari menunggu orang tua mereka beribadah.

Sedangkan korban tak langsung berarti anak-anak yang kehilangan anggota keluarganya karena menjadi korban aksi terorisme. Meski tak terkena langsung, mereka tetap merasakan dampak yang luar biasa. Luka psikis begitu membekas pada anak-anak yang menjadi korban tak langsung dari aksi terorisme ini. Menurut catatan Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, dalam bukunya yang berjudul La Tay`as (Jangan Putus Asa): Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya, anak-anak yang masih belia rentan mengalami goresan luka psikis lantaran orang tuanya menjadi korban aksi terorisme. Sebagai contoh, ada seorang anak korban Bom Bali 2002 yang tidak mau makan lauk yang dibakar karena sempat melihat kondisi ayahnya yang gosong setelah terkena ledakan bom terorisme.

Kisah lainnya datang dari putri korban bom di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada tahun 2004. Masih menurut catatan Hasibullah, saat kejadian si anak masih berumur 4,5 tahun. Ibunya terkena dampak dari ledakan bom tersebut, berupa pembusukan tulang belakang yang akhirnya merenggut nyawanya. Kesedihan mendalam harus diderita si anak karena terpaksa menjalani hidup tanpa ibu. Setiap kali ia bertanya kemana ibunya, ayahnya terpaksa ‘berbohong’ bahwa sang ibu sedang dirawat di rumah Allah. Dengan polos, si putri pun sering mendatangi masjid dan musala menanti ‘kepulangan’ ibunya.

Anak sebagai korban ideologi

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana pelaku peledakan gereja di Surabaya mengajak keempat orang anaknya untuk melancarkan teror terhadap umat Kristiani yang tengah khusyuk melaksanakan ibadah mingguan pada 13 Mei 2018. Aksi bom bunuh diri di tiga gereja tersebut dilakukan satu keluarga inti Dita Oepriarto (48). Malamnya, terduga teroris pasangan suami istri Anton (47) dan Puspita (47), serta seorang anak perempuan mereka berinisial LAR (17) tewas terkena ledakan bom yang sedang mereka rakit di rumah susun mereka di daerah Wonocolo, Sidoarjo. Dikutip dari Kompas, dua anak Anton, atas nama FP (11) dan GHA (10) mengalami luka-luka akibat ledakan. Anak kedua Anton dan Puspita, AR (15) tidak menyetujui perjuangan orang tuanya, dan pada saat kejadian sedang berada di kediaman neneknya.

Sehari setelahnya, 14 Mei 2018, pelaku lain juga melibatkan anak-anak dalam serangan bom di Mapolrestabes Surabaya. Pelaku atas nama Tri Murtono (50) naik motor berboncengan dengan istrinya, Tri Ernawati (43), sambil menggendong anak bungsu mereka, AA (7). Dua anak laki-laki mereka MDA (18) dan MDS (14) dengan motor lain juga berboncengan. Serangan ini berlangsung dengan begitu dramatis, semua pelaku tewas karena ledakan, kecuali si anak perempuan lolos dari maut dan segera diamankan anggota polisi.

Rentetan aksi teror di Surabaya menghebohkan jagat media sekaligus menjadi keprihatinan bangsa Indonesia. Pertanyaan besar menyeruak, bagaimana mungkin orang tua sampai tega melibatkan darah dagingnya yang masih belia untuk melakukan bunuh diri serta melukai dan menghilangkan nyawa orang lain.

Penulis meyakini, keterlibatan anak –terutama yang belum mencapai usia dewasa– dalam peristiwa seperti itu bukan dorongan kehendak mereka sendiri. Dari tinjauan sosial dan psikologi, seorang anak belum memiliki kontrol penuh atas dirinya sendiri. Setiap tindak tanduknya masih kuat dipengaruhi oleh orang tunya. Dalam hemat penulis, keterlibatan anak-anak tersebut dalam berbagai peristiwa bom merupakan ekses dari indoktrinasi dan paksaan orang tua mereka. Singkatnya, penulis beranggapan bahwa mereka sejatinya hanya korban dari ideologi menyimpang yang diamut orang tua.

Asumsi ini diperkuat dengan fakta bahwa anak-anak yang dilibatkan dalam operasi bom bunuh diri ternyata merasakan ketakutan dan trauma yang mendalam. Dilansir dari Tribunnews.com, seorang satpam kompleks kediaman Dita Oepriarto bersaksi bahwa ia melihat anak pelaku sempat tak henti-hentinya menangis setelah menunaikan salat subuh berjamaah, dua jam sebelum mereka melakukan aksi pengeboman gereja. Artinya, hati nurani mereka sebenarnya menentang aksi-aksi tersebut.

Begitu juga dengan AA (7), anak pelaku bom Mapolrestabes Surabaya yang selamat. Ia mengalami trauma hebat karena bom meletus tepat di depan matanya. Terlebih lagi, kedua orang tuanya yang notabene adalah pelaku juga sudah tak bernyawa. Tekanan psikologis yang begitu dahsyat membuatnya pilih-pilih dalam berkomunikasi dengan orang asing. Meskipun traumanya sudah mulai berangsur hilang, kehidupannya ke depan akan tetap berat karena tidak bisa lagi merasakan belaian kasih sayang orang tua.

Dalam hal ini, penulis sepakat dengan keterangan Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Frans Barung Mangera, yang menyebutkan, “Dia adalah korban indoktrinasi orang tuanya.”

Menjauhkan anak dari kekerasan

Melihat begitu merusaknya dampak terorisme terhadap anak-anak, maka menjauhkan mereka dari kekerasan adalah sebuah keharusan. Anak-anak harus dihindarkan dari paparan konflik dan kekerasan. Syariat Islam mengajarkan hal serupa. Nabi Muhammad Saw. pernah menunjukkan ketidaksenangannya ketika mendapati ada anak-anak yang terbunuh dalam medan perang. Beliau menyerukan pasukannya agar tidak membunuh anak-anak. Beliau juga tidak pernah melibatkan anak-anak dalam setiap peperangan yang dilakoninya. Hal ini menjadi pesan yang sangat kuat bahwa anak-anak tidak seharusnya diseret ke dalam pusaran kekerasan terorisme.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Al-Aswad bin Sari’, ia berkata, “Aku menemui Rasulullah Saw. dan ikut berperang bersama beliau. Pada waktu itu bertepatan pada waktu zuhur. Anggota pasukan bertempur dengan hebat sehingga mereka membunuh anak-anak dalam riwayat lain dengan lafaz dzurriyah (keturunan). Sampailah berita itu kepada Rasulullah Saw. Beliau bersabda, ‘Mengapa orang-orang itu melampaui batas dalam berperang sehingga membunuh anak-anak?’ Seorang laki-laki berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka adalah anak-anak kaum musyrikin.’ Rasul menjawab, ‘Ingatlah, sesungguhnya orang-orang terbaik dari kamu (asalnya) adalah anak-anak kaum musyrikin.’ Kemudian Rasulullah SAW bersabda, ‘Ingat, janganlah membunuh anak-anak, janganlah membunuh anak-anak.” (HR. Al-Nasa`i dalam Al-Kubra no. 8616).

Melindungi anak-anak sama halnya dengan melindungi masa depan. Mereka adalah generasi penerus yang dalam beberapa tahun kemudian akan menjadi aktor penting yang berperan untuk membangun peradaban. Mereka adalah generasi yang penuh dengan potensi. Anak-anak mestinya dipandu, diarahkan, dilindungi, dan diayomi mereka agar siap menjadi generasi yang tangguh. Jangan sampai kesempatan mereka mengukir masa depan dikotori dengan mengorbankan mereka sebagai korban dari tindak pidana terorisme.

Oleh Faruq Arjuna Hendroy, alumnus UIN Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *