Pentingnya Kecerdasan Multikultural dalam Masyarakat Plural
Oleh Darul Ma’arif Asry, Peserta Australia Indonesia Muslim Exchange Program 2025/Fellow di Center for Interfaith and Multicultural Studies, Direktur Nasaruddin Umar Office
Artikel ini dimuat di Kompas.id pada 23 November 2025
Baru-baru ini seorang komika senior menjadi sorotan publik karena dianggap menghina tradisi kematian sebuah suku di Nusantara yang berbeda dengan budaya pada umumnya. Bagi pelaku budaya tersebut, itu adalah cara mereka untuk menghormati orang yang sudah meninggal. Orang lain perlu untuk menghormatinya, terlepas dari mereka setuju atau tidak, bahkan persetujuan mereka tidak diperlukan selama tidak mengganggu di luar komunitas mereka.
Belum lama sebelumnya, tradisi penghormatan guru di dalam komunitas pesantren disorot oleh sebuah media televisi swasta karena dianggap berlebihan, terlalu mendewakan gurunya. Sebaliknya, bagi santri, hal itu adalah sebuah kewajiban yang berakar pada dalil-dalil agama yang sahih dan sesuai dengan budaya lokal Nusantara adab ketimuran yang menghargai orang tua apalagi orang berilmu.
Kedua contoh tersebut berakhir pada permintaan maaf walaupun didahului oleh ancaman boikot dan sanksi adat.
Ini hanyalah contoh terbaru dari sekian banyak kasus viral dan yang tidak terpublikasi sebelumnya, yang menunjukkan betapa pentingnya memiliki kecerdasan multikultural.
Kecerdasan multikultural dapat merujuk pada istilah cultural intelligence atau kecerdasan budaya/kultural yang dicetuskan oleh Christopher Earley dan Soon Ang pada tahun 2003 melalui buku mereka berjudul Cultural Intelligence: Individual Interactions Across Cultures.
Secara sederhana, kecerdasan kultural ini adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi dan berinteraksi secara efektif dengan orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda. Konsep ini melampaui sekadar pemahaman terhadap budaya lain, tetapi juga menekankan kemampuan untuk menafsirkan situasi lintas budaya secara akurat dan menyesuaikan perilaku dengan konteks tersebut.
Dengan kecerdasan kultural yang dimiliki individu inilah diharapkan harmoni sosial dapat terwujud, selain dengan menggunakan narasi-narasi kearifan lokal dari setiap suku dan narasi-narasi teologis dari setiap kepercayaan.
Kecerdasan ini diperlukan tidak hanya di Indonesia yang memiliki ratusan suku dan bahasa, serta aneka ragam kepercayaan, tetapi juga di mana pun kita berada. Tidak ada tanah yang tidak plural pemikiran dan ekspresi kebudayaan orang-orangnya. Hanya saja yang satu bisa lebih kompleks dari yang lain.
Contohnya, Indonesia dan Australia. Keduanya adalah negara yang plural dengan karakteristik yang berbeda. Pluralitas Indonesia adalah keragaman internal. Terdapat lebih dari 1.200 suku bangsa dan 694 bahasa daerah dari Sabang sampai Merauke sebagaimana tercatat dalam laporan sensus penduduk BPS tahun 2020.
Di sisi lain, sensus penduduk Australia tahun 2021 mencatat lebih dari 400 bahasa yang digunakan secara nasional. Namun, 22,3 persen orang Australia mengaku menggunakan bahasa asing ketika di rumahnya. Ini menunjukkan bahwa hampir seperempat penduduk ”Negeri Kanguru” yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris.
Situasi yang sangat lumrah di kelas-kelas sekolah Australia, siswa memiliki bahasa ibu yang berbeda-beda sesuai dengan kebangsaan orangtua mereka atau di mana mereka dilahirkan (seperti Mandarin, Arab, Vietnam, dan Punjabi). Kondisi ini sangat sedikit ditemukan di kelas-kelas sekolah negeri di Indonesia dan hanya mungkin ditemukan di kelas-kelas sekolah internasional. Yang mayoritas di kelas-kelas Indonesia adalah perbedaan bahasa lokalnya seperti bahasa Bugis, Jawa, Minang, dan Sunda.
Negara Bagian New South Wales, Australia, dengan Sydney, kota terbesarnya, memiliki sebuah badan khusus untuk menangani realitas sosial ini yang mereka sebut Multicultural NSW.
Mereka memandang keragaman ini tidak hanya sebagai sebuah tantangan sosial, tetapi juga tantangan ekonomi. Dengan lebih dari 2,3 juta orang di New South Wales atau 29,3 persen dari populasi lahir di lebih dari 251 negara berbeda. Sebanyak 50,3 persen penduduk New South Wales memiliki setidaknya satu orang tua yang lahir di luar negeri. New South Wales memiliki lebih dari 310 garis keturunan dan menggunakan lebih dari 283 bahasa di rumah.
Jika tidak ditangani dengan baik, sepertiga penduduk ini sangat bisa memengaruhi kondisi sosial dan ekonominya. Contohnya, orang susah untuk melakukan jual beli tanpa bahasa yang dipahami oleh kedua belah pihak, sulit bekerja, sulit mendapatkan layanan medis yang tepat, sulit menghadapi perkara hukum, dan lain-lain.
Oleh karena itu, Multicultural NSW menyediakan untuk masyarakatnya fasilitas penerjemahan dan transkripsi lebih dari 120 bahasa di seluruh dunia, baik secara luring maupun daring.
Adapun hubungannya dengan komunitas agama dan kepercayaan. Mereka memiliki semacam Dewan Urusan Keagamaan New South Wales (The New South Wales Faith Affairs Council) yang dibentuk untuk meningkatkan pemahaman dan kompetensi Pemerintah Negara Bagian New South Wales terkait dengan kebijakan, program, dan layanan yang memengaruhi komunitas keagamaan dan pemeluk agama di sana. Termasuk juga hubungan di antara komunitas kepercayaan.
Oleh karena itu, maka kecerdasan kultural di atas harus diperkaya menjadi kecerdasan multikultural, tidak hanya cerdas memahami dan bersikap atas keragaman suku, tetapi juga dengan keragaman budaya, bahasa, agama, mazhab, kepercayaan, serta seluruh ekspresinya yang membuatnya menjadi semakin variatif.
Moderasi Beragama dan Kurikulum Berbasis Cinta yang dikampanyekan oleh Kementerian Agama untuk memastikan agar setiap orang Indonesia memiliki jiwa yang toleran dan cinta damai harus dimulai dengan mendidik kecerdasan multikulturalnya: memahami perbedaannya, memilih satu yang diyakininya, lalu menghargai selainnya.
Selain itu, Kementerian Agama dan Kementerian Kebudayaan perlu hadir untuk mendidik, mendampingi, dan mengadvokasi setiap elemen negara: institusi negara dan swasta, kelompok dan individu yang ingin membuat kebijakan, fasilitas, pelayanan dan publikasi yang berkaitan dengan sensitivitas kepercayaan, agama, budaya, dan tradisi untuk menghindari konflik sosial yang bisa membahayakan keutuhan bangsa dan harmoni nasional.








