Kepala Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Lamongan, Drs. Ahmad Najih, M.Ag, menerima buku La Tay'as yang diberikan Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Hasibullah Satrawi, dalam kegiatan "Dialog Interaktif: Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh", Kamis (21/2/2019).
Home Berita Menimba Semangat Ketangguhan dan Perdamaian dari Korban
Berita - Pilihan Redaksi - 28/03/2019

Menimba Semangat Ketangguhan dan Perdamaian dari Korban

Aliansi Indonesia Damai- Generasi muda dinilai memiliki peran besar untuk menyuarakan perdamaian di Indonesia. Sebagai penerus kepemimpinan bangsa, generasi muda bisa menjadi pionir perdamaian. Esensi kandungan ajaran Islam tentang pentingnya perdamaian dalam kehidupan, diharapkan bisa dipahami oleh generasi muda. Peran dan kontribusi mereka untuk mewujudkan perdamaian di negeri ini sangat diharapkan.

Harapan itu disampaikan Kepala Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Lamongan, Drs. Ahmad Najih, M.Ag. saat memberikan sambutan pada kegiatan Dialog Interaktif bertema “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di sekolah tersebut, Kamis (21/2/2019). “Islam itu berakar dari kata aslama-yuslimu yang bermakna perdamaian. Maka sesungguhnya agama Islam adalah agama yang mewajibkan umatnya untuk menebarkan kedamaian. Mudah-mudahan para siswa di sini bisa menebar kedamaian,” ujarnya.

Najih juga mengingatkan generasi muda agar memiliki bekal pengetahuan yang kuat demi masa depan perdamaian di Indonesia. Sebab, generasi muda adalah harapan sekaligus penerus perjalanan bangsa Indonesia di masa depan. Menurutnya, bekal itu bisa dirumuskan menjadi kata ‘KADER’, yakni kreatif, aktif, dedikatif, energik, dan responsif. “Untuk menebarkan perdamain itu harus menjadi ‘KADER’. Ini adalah bekal berharga untuk masa depan anak-anak,” katanya.

Narasumber dalam Dialog Interaktif, Choirul Ihwan –mantan narapidana kasus terorisme yang telah bertobat– mengingatkan akan bahaya paham-paham keagamaan yang ekstrem dan mengajarkan kekerasan, termasuk terorisme. Ia menambahkan, biasanya pemahaman semacam itu menyasar kalangan muda. Ia mengaku, pertama kali direkrut oleh kelompok ekstremis saat usia masih muda dan memiliki keinginan belajar agama yang begitu kuat. Pada saat itu, ia bahkan sampai tega meninggalkan keluarganya. “Pemikiran saya mulai radikal saat kelas tiga SMA dan masuk jaringan kelompok ekstrem. Saya juga meninggalkan keluarga,” tuturnya.

Sementara itu, narasumber lain dari unsur korban terorisme, Yuni Arsih –seorang korban tidak langsung dari aksi teror bom di depan Kedutaan Besar Australia tahun 2004– mengisahkan pengalamannya ketika suaminya, alm. Suryadi, meninggal dunia akibat tragedi itu. Suaminya tengah bekerja sebagai petugas pengurus taman di kompleks Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Berdasarkan investigasi polisi, almarhum suaminya termasuk di antara orang yang paling dekat jaraknya dengan bom yang meledak.

Sepeninggal suami, ia harus membesarkan anaknya yang masih kecil. Menurut Yuni dahulu anaknya pintar, namun berubah menjadi pemarah karena tragedi bom itu, bahkan sang anak bercita-cita menjadi polisi agar bisa menangkap pembunuh ayahnya. “Saya khawatir bagaimana mungkin bisa membesarkan anak sendiri. Anak saya juga menjadi pemarah,” jelasnya.

Meskipun demikian, Yuni memilih bangkit dari keterpurukan itu setelah mendapatkan dukungan dari keluarga. Ia merasakan dukungan keluarga membuatnya bisa ikhlas menerima semua takdir yang telah terjadi. Sebagai wujud keikhlasannya, ia bersama anak semata wayangnya itu rutin berziarah ke makam sang suami. “Seiring berjalan waktu, ibu menyarankan untuk ikhlas dan lebih bersabar. Ibu selalu memberi pesan agar membersihkan makam suami setiap hari Jumat, mendoakan dan kirim Fatihah,” katanya.

Dari kisahnya, Yuni memberi pesan kepada generasi muda untuk menjadi generasi yang tangguh dengan cara tidak menimpakan keburukan, apalagi kekerasan, terhadap orang lain. Apa pun bentuk kekerasan yang dilakukan, menurut Yuni, tidak akan pernah memberikan manfaat karena kekerasan bukan solusi untuk mengatasi masalah. Selain itu, Yuni juga meminta para siswa agar lebih mencintai keluarganya karena keluarga adalah surga di dalam hidup setiap orang. “Jangan pernah membalas kekerasan dengan kekerasan. Cintailah keluarga kita,” paparnya.

Para siswa merasa mendapatkan pembelajaran berharga dari kisah mantan pelaku kekerasan dan korbannya. Mereka tidak hanya terharu dan meneteskan air mata setelah menyimak kisah ketangguhan Choirul dan Yuni. Lebih dari itu, bagi mereka, kisah orang-orang tangguh itu adalah inspirasi sekaligus bekal untuk menjadi generasi muda yang tangguh untuk mewujudkan perdamaian di masa depan. “Saya belajar keikhlasan dan kesabaran dari kisah Ibu Yuni. Dari kisah mereka saya sadar bahwa perdamaian itu amat berharga,” kata salah satu peserta Dialog Interaktif. [AH]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *