Mendorong Gerakan Perdamaian di Kalangan Mahasiswa
ALIANSI INDONESIA DAMAI – Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerja sama dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menyelenggarakan seminar nasional “Halaqah Perdamaian: Belajar dari Rekonsiliasi Korban dan Mantan Pelaku Terorisme” di Bandung, Rabu (13/3/2019). Seminar menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya korban dan mantan pelaku terorisme. Guru Besar ilmu politik UPI, Prof. Dr. Cecep Darmawan, ditunjuk menjadi pembicara utama dalam kegiatan.
Tak kurang dari 200 aktivis mahasiswa dari sejumlah kampus di Bandung dan sekitarnya tampak antusias mengikuti kegiatan ini. Selain dari UPI sebagai tuan rumah kegiatan, mahasiswa yang menjadi peserta seminar berasal dari Universitas Pasundan, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Jati, Universitas Muhammadiyah Bandung, Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Universitas Komputer Indonesia, Sekolah Tinggi Agama Islam Persis, Universitas Padjadjaran, Sekolah Tinggi Agama Islam Ciamis, dan Sekolah Tinggi Agama Islam Tasikmalaya.
Dalam pidatonya, Prof. Cecep mengatakan bahwa keamanan merupakan kunci terciptanya perdamaian. Pasalnya, kedamaian tidak mungkin terwujud tanpa terjaminnya rasa aman masyarakat. Ia juga mengajak mahasiswa untuk menjaga perdamaian dan menjauhi kekerasan serta berbagai perilaku menyimpang.
“Keamanan itu tinggi cost-nya, karena jika kita tidak dalam keamanan, maka sangat sulit bagi kita untuk beraktivitas. Oleh karena itu, kita harus selalu menjaga perdamaian,” ujarnya dalam seminar yang diselenggarakan di Auditorium FPEB UPI.
Sementara itu, Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, yang menjadi salah satu pembicara seminar mengatakan bahwa tantangan menjaga perdamaian akhir-akhir ini makin kompleks. Dibutuhkan keberanian dan ketangguhan untuk mengupayakan kondisi yang lebih damai di Indonesia. “Dalam konteks nasional, Halaqah Perdamaian ini merupakan bagian penting dari langkah kita semua bahwa perdamaian itu yang paling utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita,” kata Hasibullah.
Ia juga menambahkan, seminar ini menjadi ajang bagi mahasiswa untuk mengambil ibroh (pelajaran berharga) dari kisah pertobatan mantan pelaku terorisme dan semangat ketangguhan yang dimiliki korban aksi teror. Selain itu, menurutnya salah satu ajaran penting dalam Islam adalah jangan sampai membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan. “Keadilan itu merupakan langkah dan pilihan rasional untuk membangun perdamaian di Indonesia,” tambahnya.
Mulyono, penyintas aksi teror bom di Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan pada 2004 menceritakan pengalamannya dalam kegiatan. Saat kejadian, ia sedang mengendarai mobil, berjarak sekitar 27 meter dari titik ledakan bom. Meski terbilang cukup jauh, ledakan bom menyebabkan mobilnya terpelanting hingga rusak. Akibat ledakan tersebut, Mulyono mengalami luka sangat serius di bagian rahang. Ia pun harus dirawat di berbagai rumah sakit, baik di dalam maupun luar negeri, untuk menjalani rekonstruksi rahang dengan total masa perawatan selama kurang lebih dua tahun.
Menurut Mulyono, terorisme adalah wujud dari niat para pelakunya yang salah, dan dilakukan dengan cara yang salah pula. Menurutnya, kekerasan aksi terorisme tidak bisa disebut sebagai aksi jihad membela agama. “Jika dikatakan terorisme adalah jihad lalu dilakukan dengan cara membunuh orang yang berbeda agama, maka saya sebagai Muslim menunjukkan bahwa 99% korban aksi Bom Kuningan merupakan muslim,” ucap Mulyono tegas.
Meskipun harus merasakan sakit yang menahun, bahkan mungkin seumur hidup, akibat ledakan bom, Mulyono menolak untuk menjadi terpuruk. Ia mengaku bisa bangkit berkat kasih sayang keluarganya yang terus mendukungnya. “Meski masih merasakan sakit, berkah dorongan keluarga tercinta, saya masih bisa bersyukur dan bangkit. Karena kesabaran dan cinta itulah saya percaya bahwa Allah tidak akan menguji seorang hamba kecuali sesuai dengan kemampuannya. Artinya, ia mampu untuk melampauinya,” tuturnya.
Mulyono juga mengaku telah memaafkan para mantan pelaku terorisme. Ia menganggap orang-orang yang sampai hati merusak kedamaian dengan cara menciptakan teror hingga membunuh dan melukai orang banyak, sebagai pribadi yang tidak sehat mentalnya. “Saya meyakini bahwa lebih baik luka fisik daripada luka mental. Memang berat untuk bertemu pertama kali dengan mantan pelaku, namun saya telah memaafkan para mantan pelaku terorisme,” katanya.
Antusiasme ditunjukkan para mahasiswa dalam Seminar Nasional “Halaqah Perdamaian: Belajar dari Rekonsiliasi Korban dan Mantan Pelaku Terorisme” pagi itu. Kesempatan tanya jawab dimanfaatkan para peserta untuk mengeksplorasi berbagai gagasan yang menggelayuti pikiran kalangan mahasiswa terkait isu perdamaian dan terorisme. Seorang mahasiswa mengaku mendapatkan pelajaran berharga tentang hakikat sabar dan ikhlas setelah menyimak kisah Mulyono. Selaras dengan tujuan penyelenggaraan seminar ini, semangat ketangguhan korban terorisme diharapkan bisa menginspirasi mahasiswa untuk menyadari arti penting perdamaian, serta mendorong mereka membangun gerakan yang mampu melestarikan perdamaian. [FS]