Bertemu untuk Saling Menguatkan
Aliansi Indonesia Damai- Kepalan tangan meninju angkasa ditunjukkan puluhan penyintas di sebuah ruang pertemuan di Denpasar, Sabtu (4/5) lalu. Dengan penuh semangat mereka memekikkan kalimat, “Kabar baik, luar biasa!”
Mereka kompak meneriakkan kalimat itu sebagai jawaban dari sapaan fasilitator kegiatan. Itulah potret acara Diskusi Kelompok Terfokus “Implementasi Pemenuhan Hak-hak Korban Terorisme” yang diselenggarakan AIDA bersama Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) di Bali.
Dalam pertemuan siang itu, para penyintas dan keluarganya berkumpul untuk saling mendukung dan menguatkan. Derita fisik dan mental pernah sama-sama mereka rasakan akibat aksi teror Bom Bali. Sebagian mereka terkena ledakan Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, sementara yang lain menjadi korban di peristiwa teror belakangan, Bom Bali II 1 Oktober 2005.
Ketua YPI, Ni Luh Erniati, mengapresiasi para penyintas yang menyediakan waktu libur bersama keluarganya untuk berkegiatan. Ia menjamin pengorbanan waktu mereka untuk berkumpul sesama penyintas bom tidak merugikan. Sebaliknya, pertemuan mereka justru memberikan kemanfaatan yang banyak.
Dengan bertemu, para penyintas bisa saling menumpahkan rindu. Bagi yang belum saling mengenal, pertemuan tersebut juga sekaligus menjadi ajang membuka pertemanan baru. Lebih jauh, dalam pertemuan itu komunitas korban di Bali bisa saling bertukar pikiran demi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
Ketua Pengurus AIDA, Hasibullah Satrawi, mengatakan bahwa pertemuan sesama penyintas terorisme penting diselenggarakan secara rutin. Kegiatan setengah hari tersebut, kata dia, bertujuan untuk menggali pengalaman para penyintas setelah menerima sejumlah hak yang diberikan oleh negara.
Hasibullah menerangkan, harus diakui dengan jujur bahwa praktik pemenuhan hak-hak konstitusional para korban terorisme di Indonesia jauh lebih baik ketimbang yang terjadi di banyak negara lain.
“Namun, di sisi lain, tidak bisa dipungkiri juga bahwa masih ada kekurangan di sana-sini dalam pemberian hak-hak korban yang memang harus dibenahi,” katanya menegaskan.
Dalam kegiatan, sejumlah penyintas menuangkan pengalaman dan harapannya terhadap negara terkait layanan pemberian hak-hak mereka yang diatur Undang-undang. Pengurus YPI menyatakan, beberapa anggota merasakan perlunya perbaikan terhadap layanan hak rehabilitasi medis yang diberikan negara.
“Ada dari anggota kami yang sudah diputus layanan Buku Hijau-nya. Kami mulai banyak kendala justru setelah lewat tenggat waktu dari layanan Buku Hijau. Padahal beberapa anggota masih perlu, terkadang akhirnya berobat dengan uang sendiri.” Demikian R. Supriyo Laksono, pengurus YPI, mengatakan.
Buku Hijau adalah layanan bantuan medis bagi korban terorisme yang diterbitkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai kepanjangan tangan dari negara. Kebutuhan medis dirasakan sangat krusial bagi korban, utamanya korban langsung dari teror ledakan bom. Penyediaan bantuan medis bagi korban langsung juga menuntut adanya perlakuan jangka waktu yang lama (long term treatment) mengingat derita fisik akibat ledakan bom dirasakan korban juga dalam waktu lama, bahkan seumur hidup (long term effect).
Para penyintas juga menyampaikan pengalaman mereka menerima hak rehabilitasi psikososial yang disalurkan lembaga negara. Nyoman Pasirini, penyintas Bom Bali 2005, mengatakan bahwa dirinya pernah mendapatkan bantuan dana pendidikan untuk dua anaknya. Namun, bantuan tersebut tidak langgeng. Ia mengharapkan negara bisa memberikan bantuan pendidikan bagi anak-anak penyintas secara kontinyu.
Suyanto, penyintas Bom Bali 2002, mengatakan bahwa para korban terorisme di Bali selepas masa pandemic Covid-19 sudah beberapa kali diminta mengisi form pengajuan bantuan psikososial ke Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT). Akan tetapi, sampai saat ini realisasinya nihil, bahkan sampai kepengurusan pimpinan BNPT berganti. [MLM]