Mencapai Maaf Itu Butuh Proses
Memaafkan itu tak mudah, tapi juga tidak sulit. Hanya butuh proses. Itulah kata hatiku. Bagaimana tidak? Sejak anak-anak menjadi yatim akibat kejadian itu (Bom Bali 2002-Red.), tidak mudah bagiku untuk memaafkan mereka yang telah tega melakukannya dan dengan tidak berperikemanusiaan, sehingga aku tak mampu berkata apa-apa pada anak-anak.
Sungguh sebuah kejadian yang takkan pernah hilang dari ingatanku sampai kapan pun jua. Ibarat kaset yang sudah terekam sedemikian dalamnya di memori otakku.
Pertumbuhan dan perkembangan kedua buah hatiku mengiringi waktu yang kian menjadi jawaban dan hikmah di balik tragedi tersebut. Banyak yang bisa dimengerti, tapi banyak pula yang tidak bisa kupahami. Sakit, sedih, susah, senang, tawa, semua seakan mengiringi langkah-langkah kecil yang mulai bangkit untuk mencari hidup yang sudah tidak nyaman lagi. Bukan hal yang mudah, berjalan sendiri dengan luka hati, rasa trauma, dan membawa amanah membesarkan anak-anak titipan Ilahi. Dan menyadari bahwa semua adalah kehendak sang Pencipta. Butuh waktu dan bekal iman.
Semua kujalani dengan perjuangan yang tidak mudah, pergulatan batin antara hidup dan tidak. Tapi kenyataannya kami masih hidup dan butuh memperjuangkan hidup. Karena hidup itu pilihan. Masih ada anak-anak yg menjadi titipan Allah yang harus diperjuangkan untuk hidup nyaman dan aman. Mereka butuh seorang figur yang kuat dan tabah walau hanya seorang ibu yang hidup sebagai single parent setelah ayah mereka tiada. Pijar-pijar inilah yang membuat semangat untuk suatu proses pemahaman hidup untuk bisa berdiri tegak, untuk memaafkan, itu belum. Ternyata sakit untuk memulainya.
Munafik bila seseorang mengatakan begitu mudah memaafkan mereka yang telah memporak-porandakan kehidupan keluarganya. Untuk sampai mencapai maaf itu butuh proses, dimana penguatan diri akan kesadaran iman bahwa hidup dan mati seseorang sudah ada yang mengaturnya, yaitu Sang Pencipta. Semua akan kembali kepada-Nya, dengan caranya masing-masing. Allah sedang mengingatkan saya dengan cara-Nya dan saya pun berharap Allah sedang menaikkan derajat kami di akhir zaman nanti. Amin.
Berkumpul dengan orang–orang saleh mengingatkan saya untuk sabar dalam ujian hidup, semakin dekat kepada-Nya, semakin belajar untuk bisa menerima takdir yang telah Allah tetapkan, membuat hati semakin tenang, tidak lagi menyalahkan siapa pelaku dan apa yang mereka perbuat. Proses memaafkan pun mulai muncul, hati mulai tenang dan mulai bersabar: bahwa pertolongan pasti akan datang pada saat-saat sulit itu. Hal ini pun mulai tampak pada kehidupan, mulai bisa menata diri dan keluarga, anak-anak dan pekerjaan. Karena manfaat pada diri mulai terasa, proses memaafkan mulai kuat. Kebencian, dendam dan kemarahan tidak membuat diri tenang dan sabar, justru sebaliknya, hidup terasa seperti penuh amarah dan dengki. Hal-hal itu akan justru membuat semua semakin buruk, secara emosional, sosial maupun finansial. Membuat kita tidak mampu berkonsentrasi dalam bekerja, dan mengganggu lingkungan sosial kita.
Satu hal yang membuat proses memaafkan itu melemah adalah amarah, dengki, dendam yang tidak akan membuat “dia†yang sudah tiada itu hidup kembali. Kita justru akan merusak diri kita sendiri.
Semua telah berlalu, tak perlu larut dalam kesedihan dan kemarahan. Maafkanlah, kita akan dibuat lega karenanya. Kita akan menjadi legowo dan ringan melangkah bersama orang-orang yang kita cintai, termasuk mereka yang telah tiada.
Semua butuh proses. Cepat atau lambat, diri sendirilah yang bisa menentukan. Mau cepat bangkit atau terus terpuruk? Lopyu, Imawan Sardjono (Alm.). [SWD]
Oleh: Hayati Eka Laksmi
Istri almarhum Imawan Sardjono, salah satu korban meninggal Bom Bali 2002.
Tulisan ini pernah dimuat di Newsletter Suara Perdamaian edisi II, Oktober 2014.