24 mins ago

Saatnya Hijrah: dari Konflik Menuju Dunia yang Damai

Oleh Muhammad Adib Abdushomad

(Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama RI, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Madani Global Citizenship Rempoa, Tangerang Selatan)

Artikel ini terbit di Kompas.id edisi 27 Jun 2025

Tahun Baru Islam yang jatuh pada 1 Muharam bukan sekadar pergantian angka dalam penanggalan Hijriah. Ia menandai sebuah peristiwa monumental dalam sejarah Islam, yakni hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah yang bukan hanya perpindahan geografis, melainkan juga pergeseran paradigma spiritual dan sosial. Hijrah merupakan cermin dari perjuangan membangun masyarakat madani yang plural, adil, dan damai.

Kini saat dunia berada dalam pusaran konflik multidimensi seperti perang di Gaza, krisis kemanusiaan di Sudan, ekstremisme yang mencuat di berbagai wilayah, hingga meningkatnya intoleransi berbasis agama, pesan hijrah kembali menemukan relevansi mendalam. Tahun Baru Islam seharusnya menjadi momen evaluasi apakah umat Islam masih memegang spirit hijrah sebagai ajaran pembebasan atau justru terseret dalam arus permusuhan yang tidak berkesudahan.

Menurut laporan UNHCR tahun 2024, lebih dari 117 juta orang mengungsi akibat konflik dan kekerasan, dan banyak di antaranya berasal dari negara-negara Muslim. Dalam laporan Pew Research Center tahun 2023, Islam masih menjadi salah satu agama dengan persepsi publik paling terpolarisasi secara global, sebagian besar karena keterkaitan dengan isu-isu kekerasan dan radikalisme. Ini menjadi ironi besar karena agama yang membawa pesan rahmatan lil alamin justru kerap tampil di media global dalam bayang-bayang konflik dan ketegangan.

Kontekstualisasi makna hijrah

Dalam konteks ini, hijrah bukan lagi sekadar romantika sejarah, melainkan panggilan etik untuk berubah dari narasi kekerasan menuju narasi kasih sayang, dari ego identitas menuju empati lintas kemanusiaan. Nabi Muhammad SAW memulai masyarakat Madinah dengan Piagam Madinah, yaitu dokumen yang diakui oleh banyak sarjana sebagai konstitusi pertama yang menjamin hak hidup bersama antara Muslim, Yahudi, dan komunitas lainnya. Ini membuktikan bahwa fondasi Islam bukan eksklusivisme, melainkan inklusivitas dan keadilan sosial.

Hijrah sejati bukan hanya meninggalkan yang buruk, melainkan menjemput yang lebih maslahat. Dalam situasi dunia yang retak secara sosial dan psikologis, umat Islam harus mengambil peran sebagai ”penenun perdamaian”, bukan pemecah belah. Sayangnya dalam beberapa konflik, sebagian umat Islam justru terjebak dalam polarisasi sektarian yang destruktif, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.

Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali konsep tazkiyatun nafs atau penyucian jiwa sebagai roh hijrah. Ulama-ulama besar seperti Imam Al-Ghazali mengajarkan bahwa ego yang tidak dikendalikan adalah sumber kehancuran moral dan sosial. Tahun Baru Islam adalah momen untuk menyelaraskan ego pribadi dengan nilai ilahiah dan kemanusiaan. Seperti sabda Nabi, orang yang berhijrah adalah ia yang meninggalkan segala yang dilarang oleh Allah. Maka, hijrah harus diartikan sebagai kesediaan untuk melepaskan diri dari nafsu kekuasaan kezaliman dan kebencian menuju kebajikan keteladanan dan kasih sayang.

Namun, hijrah juga harus bersifat sosial. Kita butuh apa yang saya sebut sebagai ”penghijrah sosial”, yaitu individu dan komunitas yang rela keluar dari zona nyaman (comfort zone) untuk memperjuangkan toleransi keadilan sosial dan moderasi beragama. Dalam konteks Indonesia, langkah-langkah seperti penguatan program Desa Sadar Kerukunan (DSK) yang saat ini berjumlah 451 sejak tahun 2016 serta penguatan Moderasi Beragama yang telah diperkuat dengan Perpres Nomor 58 Tahun 2023 serta forum lintas agama seperti Religion of Twenty atau R-20 yang menjadi bagian dari presidensi G20 Indonesia adalah bentuk nyata dari kontribusi Islam Indonesia bagi dunia.

Kearifan lokal dan tantangan kekinian

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi contoh global terkait dialog agama dan budaya. Tradisi Islam lokal seperti Tabuik di Sumatera Barat, Kirab Kebo Bule di Solo, hingga malam Mabit di sejumlah daerah menunjukkan bahwa nilai Islam dapat berjalan beriringan dengan budaya damai tanpa kehilangan substansi spiritualitasnya. Bahkan, di tengah tekanan global, Indonesia tetap menjadi negara dengan tingkat toleransi relatif stabil. Indeks Kerukunan Umat Beragama tahun 2024 yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama mencatat skor nasional mencapai 76,47 yang masuk kategori tinggi.

Namun, tantangan tetap besar. Ujaran kebencian berbasis agama di media sosial meningkat sekitar 18 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya menurut laporan Kementerian Kominfo. Ekstremisme digital masih tumbuh diam-diam melalui algoritma media sosial yang memperkuat polarisasi. Di sisi lain, kontestasi politik nasional 2024 hingga 2029 juga berpotensi membuka ruang manipulasi isu identitas dan agama untuk kepentingan elektoral sempit. Di tengah situasi ini, umat Islam sebagai kelompok mayoritas di Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk tidak menjadi bagian dari masalah, tetapi bagian dari solusi.

Tahun Baru Islam adalah momen tepat untuk mengingatkan kembali peran strategis umat Islam sebagai penjaga nilai kedamaian dan kerukunan. Kita perlu menegaskan kembali bahwa hijrah tidak boleh berhenti pada dimensi ibadah personal semata, tetapi harus menyentuh aspek sosial budaya dan politik. Hijrah harus menjadi gerakan kolektif untuk memperkuat solidaritas lintas iman memperbaiki tata kelola komunitas dan menciptakan narasi publik yang lebih sejuk dan mempersatukan.

Kita juga perlu belajar dari sejarah. Ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah, beliau tidak memaksakan keyakinan, tetapi membangun jembatan komunikasi dan kolaborasi. Beliau tidak mendirikan negara teokratis, tetapi menyusun tata kehidupan bersama berdasarkan prinsip kesetaraan. Maka, umat Islam hari ini harus meneladani model kepemimpinan Nabi yang menempatkan keadilan dan kemanusiaan sebagai fondasi kehidupan bersama.

Selain itu, kita perlu membuka ruang lebih luas bagi perempuan, pemuda, dan komunitas marjinal untuk berperan dalam gerakan hijrah sosial ini. Mereka adalah kelompok yang selama ini sering menjadi korban ekstremisme maupun korban dari sistem sosial yang tidak adil. Jika mereka diberi ruang untuk berpartisipasi, gerakan hijrah akan menjadi lebih inklusif dan relevan dengan kebutuhan zaman.

Akhirnya marilah kita rayakan Tahun Baru Islam bukan dengan euforia simbolik, melainkan dengan komitmen etis untuk memperbaiki diri dan lingkungan sekitar. Dunia memang tidak sedang baik-baik saja. Namun, seperti Nabi yang memulai perubahan besar dari langkah hijrah yang sunyi, kita pun bisa memulai perubahan dari dalam, dari hati, dari rumah, dan dari komunitas.

Tahun Baru Islam adalah kompas spiritual. Ia mengingatkan bahwa hijrah adalah jalan panjang menuju peradaban kasih dan perdamaian. Bukan sekadar perpindahan, melainkan pelepasan dari ego destruktif menuju jiwa yang selaras dengan damai. Dunia sedang menunggu dan Islam harus kembali tampil sebagai pelita, bukan sebagai bayangan gelap dari konflik berkepanjangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *