Memilih Circle Perteman yang Damai
Aliansi Indonesia Damai- AIDA menggelar kampanye perdamaian di SMAN 10 Samarinda akhir April lalu. Kegiatan yang dikemas dalam Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” itu diikuti 50 siswa sekolah tersebut yang berasal dari berbagai kelas dan organisasi. Selaras dengan tema, kegiatan menghadirkan dua sosok yang tangguh sebagai narasumber, yakni korban dan mantan pelaku terorisme.
Mereka adalah Dwi Siti Rhomdoni, korban Bom Thamrin 2016, dan Kurnia Widodo, mantan pelaku terorisme yang telah insaf. Keduanya berbagi pembelajaran berharga (‘ibroh) dari perjalanan hidup masing-masing kepada para siswa SMAN 10 Samarinda peserta Dialog Interaktif.
Baca juga Bijak Menggunakan Teknologi Informasi
Salah seorang peserta mengaku mendapatkan pembelajaran dari kisah hidup Kurnia Widodo yang pernah tergabung dengan kelompok teroris jaringan Negara Islam Indonesia (NII). Dari pengalaman Kurnia, siswa tersebut memahami proses bagaimana seseorang bisa terjerat paham kekerasan bernama terorisme. Faktor penyebabnya, kata dia, salah satunya adalah pertemanan.
Oleh karena itu, siswa tersebut mengajak teman-temannya agar waspada dalam memilih teman. Lingkar (circle) pertemanan yang memotivasi menuju kemajuan, kesuksesan, dan melestarikan perdamaian, menurutnya, layak dipertahankan. Sebaliknya, circle yang mengarah pada kekerasan dan keburukan wajib dihindari.
Baca juga Menciptakan Lingkungan Sekolah Nirkekerasan
“Mungkin kalau dibilang enggak usah berteman, enggak (begitu). Tetap ditemani. Tapi jangan terpengaruh dengan teman yang mengikuti kelompok ekstrem. Jadi, kita harus bijak dalam pertemanan. Kalau ada yang mencurigakan, kita bisa lapor,” tuturnya.
Peserta lainnya mendapatkan pembelajaran dari kisah korban. Ia mengapresiasi keputusan Dwi Siti Rhomdoni yang berani angkat bicara (speak up) terkait kondisinya sebagai korban aksi teror bom di Jl. MH Thamrin Jakarta Pusat delapan tahun silam. Tidak mudah tentunya untuk sembuh dari luka fisik dan trauma akibat tragedi teror. Pasti sangat sulit pula baginya untuk membangun komunikasi apalagi rekonsiliasi dengan mantan pelaku terorisme.
Baca juga “Betapa Repotnya Hidup di Lingkungan Tak Damai”
Ia memuji kesediaan korban untuk pelan-pelan memaafkan pelaku. Baginya, sikap Dwi yang memaafkan mantan pelaku patut diteladani oleh generasi pelajar dalam bergaul baik di lingkungan sekolah maupun di luar.
Siswa tersebut merasakan perubahan setelah mengikuti kegiatan. “Kegiatan ini bisa membuat saya berdamai dengan diri sendiri dan lingkungan. Setelah kegiatan ini saya akan menyebarluaskan apa yang saya dapat hari ini. Orang-orang perlu tahu bagaimana sudut pandang pelaku, kenapa mereka melakukan aksi itu. Lalu, juga bisa mendengar dari sudut pandang korban, terlebih korban sering diremehkan padahal hati mereka rapuh,” ujarnya. [FAH]
Baca juga Bersatu dalam Perbedaan