Pertobatan Sebagian Mantan Eksponen JAD (Bag. 1)
Sekira tahun 2016, Iskandar Natsir alias Alexander Rumatery dibaiat menjadi Amir Jamaah Ansharud Daulah (JAD), kelompok pendukung ISIS di Indonesia, seiring penangkapan masif terhadap sejumlah pentolan JAD.
Kendati usianya masih relatif muda (35 tahun) kala itu, ia dinilai layak menjadi pemimpin lantaran pengetahuan keagamaannya yang cukup mumpuni. Selama bertahun-tahun ia menempuh pendidikan di beberapa pondok pesantren.
Ekstremisasi Iskandar tidak berlangsung di pesantren. Sembari kuliah di Jakarta, ia mengikuti kajian-kajian intensif yang diasuh oleh beberapa tokoh yang belakangan terlibat dalam tindak pidana terorisme, salah satunya Oman Abdurrahman.
Baca juga Ali Fauzi; dari Lingkar Kekerasan ke Lingkar Perdamaian
Merasa nyaman dan cocok, Iskandar memutuskan bergabung dengan kelompok Tauhid Wal Jihad yang diinisiasi oleh Oman Abdurrahman. Kala gurunya itu harus mendekam di penjara, Iskandar bahkan dipercaya mengisi majelis-majelis pengajian yang selama ini diampu Oman.
Pergulatannya dengan kelompok ekstrem mengantarkan Iskandar ke bilik jeruji besi pada akhir tahun 2013. Penjara tak membuatnya jera. Usai bebas pada 2016, ia kembali aktif di circle lamanya, bahkan langsung menempati posisi penting di JAD. Tak pelak pada pada tahun 2017 ia kembali ditangkap dan menjalani hukuman di Lapas Batu Nusakambangan (NK) yang berpengamanan supermaksimum.
Baca juga Sepekan Bersama Eks Napiter
Di sana masing-masing narapidana menghuni satu sel sendiri. Interaksi antarnapi sangat minim. Seluruh waktu Iskandar dihabiskan di bilik sel. Hanya jika ada urusan tertentu dan seizin lapas, ia bisa melangkah keluar sel. Sebagai pembelajar, Iskandar memanfaatkan situasi tersebut untuk memerkaya literasinya. Pihak lapas memberinya bahan-bahan bacaan yang relevan mendorong proses deekstremisasi.
Secara perlahan ia mengoreksi paham-paham yang sebelumnya ia yakini sebagai kebenaran tunggal. Puncaknya, ia memutuskan mengambil ikrar setia NKRI. Tak berhenti di situ, ia meminta kepada pihak lapas untuk diberikan kesempatan berdialog dengan sejumlah koleganya yang masih berpaham ekstrem. Ia merasa memanggul beban moral lantaran pernah mengajak mereka terlibat dalam ekstremisme kekerasan.
Baca juga Menuju Kedamaian yang Kafah
Saat berpindah ke Lapas Besi Nusakambangan. AIDA memfasilitasi Iskandar untuk bersilaturahmi dengan beberapa korban terorisme. Ia mengaku, batinnya tersayat kala menyimak kisah mereka yang terzalimi oleh aksi-aksi yang diklaim pelakunya sebagai jihad membela hak-hak umat Islam. Jihad disyariatkan dalam rangka menciptakan kemaslahatan. Jika salah implementasi maka yang terjadi adalah kerusakan di muka bumi. Aksi-aksi terorisme di bumi pertiwi adalah contoh riilnya.
Kisah korban terorisme semakin membarakan semangatnya dalam mengampanyekan perdamaian. Dengan cara itulah Iskandar bisa menebus dosa sekaligus memperbaiki kesalahannya di masa lalu. (bersambung-MSY)
Baca juga Tantangan Kembali ke Jalan Perdamaian