Mengelola Perasaan untuk Memaafkan
Aliansi Indonesia Damai- Budijono, salah seorang korban aksi serangan terorisme di Gereja St. Lidwina Bedog Sleman, Yogyakarta pada 11 Februari 2018 lalu, mengaku hal yang paling sulit dihadapi dirinya adalah mengelola perasaan. Namun, ia terus berusaha untuk mengobati perasaannya, salah satunya dengan mendatangi lokasi kejadian untuk melawan rasa takut dan trauma.
Pria berkacamata itu menceritakan kisahnya di hadapan 25 petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di wilayah Jabodetabek, Bandung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera, dan Makassar dalam Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme bagi Petugas Pemasyarakatan di Yogyakarta pada 11-12 Juni lalu.
“Dulu saya ingin balas dendam terhadap pelaku terorisme saat menjalani rekonstruksi di lokasi kejadian. Kala itu, saya sangat emosi dan ingin menyerang pelakunya. Namun, saya mengurungkan niat balas dendam. Saat menjalani rekonstruksi tersebut, justru menjadi titik balik bagi saya untuk memaafkan pelaku,” tutur dia.
Dia berpikir, sebagai korban sangat penting untuk bisa menerima keadaan yang menimpa dan memaafkan pelakunya. Sebab, menyimpan dendam bagaikan mengendapkan sampah, kata dia. Lebih baik dibuang agar tidak membuat hati sakit terus. Ia pun menegaskan sudah tak mendendam. Dia memilih untuk memaafkan pelaku atau mantan pelaku terorisme.
Budijono mengaku beruntung komunitas gerejanya tanggap menyediakan layanan trauma healing bagi dirinya dan seluruh jemaah. Alhasil setahun pascakejadian, jemaah gerejanya tidak lagi ketakutan untuk beribadah. Selain itu, kata dia, komunitas penyintas pun sangat penting untuk berbagi pengalaman dan saling menguatkan.
Ia pun merasa bersyukur dan beruntung masih selamat dari aksi pembacokan enam tahun silam meski ia mengalami luka di punggung dan lehernya akibat sabetan parang pelaku. Saat kejadian, ia bersama jemaah gereja lainnya sedang melaksanakan ibadah misa pagi.
“Saat itu saya sempat melihat pelaku berjalan santai di depan pagar gereja seperti orang pada umumnya. Bahkan jarak saya dengan pelaku berhadapan sekitar lima meter. Tiba-tiba pelaku melepas jaket lalu dengan parangnya membacok kepala saya,” ujar Budijono.
Budijono seketika tidak sadarkan diri atau pingsan di lokasi kejadian. Tak berapa lama kemudian ia tersadar dan menggendong buah hatinya, yang kala itu sedang bermain di halaman gereja, lalu menitipkannya ke jemaah lain. Sependek ingatannya, ia melihat ekspresi wajah para jemaah gereja yang sangat terkejut atas kejadian yang mereka saksikan.
Ia meminta jemaah untuk membawa dirinya ke rumah sakit. Budi pun dilarikan ke rumah sakit menggunakan mobil. Di tengah perjalanan menuju rumah sakit, ia terus berusaha agar tidak pingsan atau tak sadarkan diri. Ia selalu teringat istrinya yang tengah mengandung empat bulan dan buah hatinya yang masih kecil.
Namun, rumah sakit yang dituju ternyata tidak bisa menangani karena luka yang dialaminya terlalu parah, sehingga ia pun harus dirujuk ke Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada. “Di rumah sakit ini dokter berusaha cepat melakukan tindakan dan menjahit luka dan melakukan CT scan ke kepala saya. Bersyukur luka saya bisa segera diatasi karena jika terlambat bisa meninggal dunia,” tuturnya. [F]