Home Berita Korban Bom: Saya dan Anak-anak Telah Memaafkan Pelaku
Berita - 20/08/2018

Korban Bom: Saya dan Anak-anak Telah Memaafkan Pelaku

Para peserta mengikuti sesi permainan di sela kegiatan Dialog Interaktif di SMAN 13 Bandar Lampung (16/11/2017)
Para peserta mengikuti sesi permainan di sela kegiatan Dialog Interaktif di SMAN 13 Bandar Lampung (16/11/2017).

 

Dengan lirih perempuan berkerudung itu menceritakan kehidupan diri dan keluarganya yang berubah drastis sepeninggal suami.Ia kehilangan tulang punggung keluarga sekaligus ayah bagi dua buah hatinya. Sang suami pergi untuk selamanya setelah menjadi korban aksi teror Bom Bali, lima belas tahun silam.

Namanya Hayati Eka Laksmi. Suami Eka, Imawan Sardjono, adalah satu dari 202 korban jiwa akibat teror bom di kawasan Legian, Bali 12 Oktober 2002. Menurut Eka saat kejadian suaminya sedang melintas mengendarai mobil di Jalan Legian yang selalu ramai dipadati wisatawan. Sepeninggal suami, ia harus menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya.

Setelah lama berlalu, kini Eka dan anak-anaknya telah melangkah ke depan melampaui peristiwa itu. “Saya dan anak-anak telah memaafkan pelaku.Anak saya sempat bertemu dengan anaknya salah seorang pelaku Bom Bali.Setelah pertemuan itu anak saya bisa ikhlas menerima keadaan yang menimpa bapaknya dan memaafkan pelaku,” ujarnya.

Eka menuturkan kisahnya tersebut dalam kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Bandar Lampung pertengahan November lalu. Kegiatan tersebut diselenggarakan di SMAN 5, SMAN 7, SMAN 10, SMAN 12, dan SMAN 13 Bandar Lampung dengan tujuan untuk menanamkan semangat perdamaian di kalangan pelajar.

Selain Eka, seorang penyintas aksi teror bom di Hotel JW Marriott Jakarta, Vivi Normasari, juga turut membagi kisahnya dalam safari Dialog Interaktif di ibu kota Provinsi Lampung. Di samping Eka dan Vivi sebagai penyintas, dalam Dialog Interaktif juga dihadirkan mantan pelaku terorisme, Ali Fauzi. Eka, Vivi, dan Ali Fauzi telah berekonsiliasi dan kini bersatu mengampanyekan perdamaian di masyarakat.

Setelah mendengarkan kisah Eka, salah satu siswa SMAN 12 bertanya, “Mengapa Ibu bisa memaafkan seseorang yang telah merenggut nyawa suami Ibu?” Menanggapi pertanyaan itu, Eka menjelaskan bahwa jika dirinya selalu menyimpan dendam dan amarah maka tidak akan ada kedamaian. Selain itu dendam dan amarah juga tidak akan menyelesaikan masalah.

“Untuk apa menyimpan dendam? Tidak akan membangkitkan yang sudah mati menjadi hidup kembali. Ikhlaskan saja karena hidup harus terus berjalan,” kata dia.

Pada kesempatan terpisah Vivi membagi pengalamannya yang sempat kehilangan rasa percaya diri untuk menghadapi pernikahan akibat terdampak ledakan bom di Hotel JW Marriott Jakarta 5 Agustus 2003.Akibat ledakan itu tangan kanannya mengalami cacat permanen dan tidak bisa lagi berfungsi secara normal.Ia mengaku malu dan tak percaya diri bila berjabat tangan dengan orang lain.

“Padahal saya dan calon suami sudah merencanakan menikah pada November 2003, namun akibat ledakan bom, saya harus mengubur impian untuk melangsungkan pernikahan karena kehilangan rasa percaya diri,” ucapnya.

Vivi menjelaskan kala peristiwa teror terjadi dia sedang duduk di Restoran Syailendra di Hotel JW Marriott Jakarta.“Tiba-tiba saya mendengar bunyi ledakan.Saya refleks menoleh ke sumber asal ledakan dan seketika ada ledakan kedua yang sangat dahsyat. Kobaran api dari ledakan itu menyambar saya. Seketika saya tak sadarkan diri,” kata dia mengenang peristiwa.

Anggota Tim Perdamaian dari unsur mantan pelaku, Ali Fauzi, berbagi pengalaman masa lalunya saat tergabung dalam jaringan terorisme sebelum akhirnya meninggalkan dunia kekerasan.Keputusannya keluar dari kelompok teroris menuai kecaman dan ancaman dari rekan-rekannya dahulu.Menurut dia ada beberapa faktor yang mendorongnya untuk bertekad keluar dari jaringan ekstremisme.Salah satunya adalah pertemuannya dengan korban.

“Mendengarkan kisah korban, saya menangis dan hati saya tersayat. Betapa beratnya penderitaan yang dialami mereka.Mereka tidak tahu apa-apa, ada yang sedang melintas di jalan raya atau makan siang di hotel tiba-tiba kena bom,” ujarnya.Dalam kesempatan itu, Ali menyampaikan permohonan maaf kepada para korban.

Ia mengajak para siswa peserta Dialog Interaktif untuk tidak terjerumus dalam jaringan ekstremisme. Menurut dia generasi muda bisa melindungi diri dari pengaruh kelompok ekstrem dengan cara mengetahui ciri-cirinya.

“Kita harus tahu ciri-ciri mereka. Jika tidak, maka akan mudah dipengaruhi dan direkrut. Di antara ciri mereka yaitu selalu mengusung permusuhan dan kebencian terhadap pemerintah dan orang-orang yang berbeda pemikiran dengan mereka.Selain itu mereka juga menganggap sesat peraturan atau undang-undang yang dibuat pemerintah,” kata dia.

Salah seorang siswa SMAN 5 mengaku setelah mengikuti kegiatan Dialog Interaktif dirinya semakin mencintai Indonesia dan ingin menjaga perdamaian di negeri ini.Ia berharap ke depan tidak ada lagi masyarakat yang menjadi pelaku atau pun korban terorisme. [AS]