Home Opini Dari Korban Menjadi Penyintas
Opini - 11/10/2016

Dari Korban Menjadi Penyintas

Apa yang kurang dari upaya penanganan dan pencegahan terorisme di republik ini? Itulah pertanyaan yang belakangan banyak ditemukan di ruang-ruang publik. Setidaknya berdasarkan pengalaman sempit penulis mengisi beberapa acara terkait dengan persoalan terorisme mutakhir.

Pertanyaan seperti di atas muncul karena di satu sisi, aparat dan lembaga terkait terorisme tampak telah melakukan pelbagai macam kegiatan pencegahan bahkan juga penindakan terhadap pihak-pihak yang diduga terkait dengan jaringan terorisme. Tapi di sisi lain, jaringan terorisme seakan tidak terpengaruh oleh kegiatan-kegiatan antiterorisme yang ada. Bahkan jaringan terorisme justru semakin liar dan acap tak terkendali.

Kontroversi penyebaran gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS/ISIL/IS) di negeri ini menjadi salah satu contoh mutakhir terkait dengan “kekebalan” jaringan terorisme dari upaya penanggulangan yang telah dilakukan. Tak seperti kelompok teroris yang kerap melakukan gerakan bawah tanah dengan identitas yang tertutup rapat, ISIS bahkan sempat tampil melakukan deklarasi di mana-mana dan melakukan kampanye visual dengan muka yang terbuka!

Pemberdayaan korban

Harus diakui bersama, selama ini ada satu elemen yang kurang diberdayakan dan diberikan peran secara optimal dalam upaya menghadapi ancaman terorisme. Yaitu komunitas-komunitas korban bom terorisme. Kalaupun ada sebagian dari korban yang dilibatkan, hal itu lebih bersifat personal dan cenderung “itu-itu saja”.

Padahal korban terorisme di negeri ini berjumlah ratusan orang dan tersebar di banyak komunitas. Sebagai contoh, saat ini ada sekitar 200-an korban bom yang masuk dalam databaseAliansi Indonesia Damai (AIDA) dan sudah diverifikasi. Di luar sana, masih banyak lagi korban bom yang masih dalam tahapan verifikasi.

Secara teori, masing-masing korban mempunyai potensi yang sama untuk menyadarkan semua pihak terkait dampak aksi terorisme. Mengingat mereka menjadi korban dari kejahatan yang kurang lebih sama.

Oleh karenanya, sejatinya bangsa ini mempunyai ratusan “pasukan perdamaian” untuk menghadapi ancaman terorisme di pelbagai macam bentuknya. Sangat disayangkan, pasukan ini acap terabaikan. Dan hanya segelintir dari mereka yang diberdayakan untuk menyadarkan masyarakat luas terkait dampak terorisme.

Setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan secara bersama-sama ke depan untuk mengoptimalkan peran korban terorisme. Pertama, memberdayakan para korban, baik secara mental, semangat maupun wawasan, termasuk membekali mereka dengan teknik-teknik komunikasi dan presentasi.

Pemberdayaan seperti di atas teramat sangat penting untuk dilakukan. Di satu sisi, karena para korban mempunyai pengalaman dan kisah yang akan sangat strategis bila digunakan untuk menyadarkan semua pihak dari ancaman terorisme. Khususnya para korban yang sudah bisa “berdamai” dengan tragedi yang dialami atau bahkan sampai pada tahap memaafkan para pelaku terorisme.

Di sisi lain, karena para korban terdiri dari latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan dan profesi yang berbeda-beda. Bagi para korban dari kalangan aktivis, contohnya, berbicara di ruang publik sebagai narasumber mungkin tidak menjadi persoalan. Tapi kondisi ini akan sangat berbeda dengan para korban yang sebelumnya tidak biasa berbicara di ruang publik dan formal. Ditambah lagi mungkin sebagian dari korban ada yang masih bermasalah secara psikis akibat tragedi yang dialami.

Oleh karenanya, pemberdayaan para korban dimaksudkan untuk membekali mereka dengan teknik-teknik komunikasi dan presentasi. Hingga para korban mempunyai kemampuan yang sama untuk mengambil peranan strategis dalam upaya menghadapi ancaman terorisme melalui kisah-kisah mereka.

Pada akhir tahun 2013 lalu, AIDA pernah melakukan pemberdayaan seperti di atas. Para korban diberikan pelatihan khusus terkait teknik komunikasi dan presentasi sebelum mereka membagikan kisahnya kepada anak-anak siswa di sejumlah sekolah. Sebagian dari mereka ada yang dari latar belakang aktivis, ibu rumah tangga, buruh bangunan dan juru parkir. Pada tahap selanjutnya para korban diberi kesempatan sebagai narasumber untuk membagikan kisahnya kepada para siswa.

Hasilnya sangat menggembirakan dan sungguh luar biasa; para korban yang awalnya tidak biasa berbicara di depan umum sebagai narasumber secara perlahan mulai terbiasa. Bahkan presentasi para korban dari latar belakang yang berbeda-beda seperti di atas mempunyai kekhasan tersendiri yang tak dapat dihakimi oleh pemilihan diksi dan struktur pembahasan terkait “pembicara yang baik” secara intelektual. Karena bahasa tubuh mereka yang natural tak jarang mampu memberikan pesan yang lebih jelas dan lebih mudah dipahami.

Hal ini terlihat jelas dari kesaksian sebagian siswa pasca-acara berlangsung. Sejumlah siswa mengatakan bahwa mereka baru menyadari kesalahan para teroris setelah bertemu dan mendengar langsung kisah yang diberikan oleh para korban. Padahal sebelum mendengarkan presentasi para korban, sebagian siswa mengaku memaklumi apa yang dilakukan oleh para teroris sebagai balasan atas ketidakadilan global terhadap umat Islam.

Namun setelah bertemu dan mendengar kisah korban secara langsung, logika “ketidakadilan (global) yang dibalas dengan ketidakadilan (terorisme)” ini tidak bisa dibenarkan. Mengingat yang menjadi korban adalah orang-orang yang tidak terkait dengan tata-politik global. Bahkan di antara para korban mayoritas memeluk agama yang sama dengan agama para pelaku terorisme.

Kedua,memenuhi hak-hak korban. Sesuai dengan ketentuan konstitusi, negara berkewajiban melindungi warganya dan mencukupi kebutuhan mereka yang tidak mampu. Terlebih lagi bagi warga negara yang menjadi korban aksi kejahatan seperti terorisme.

Namun demikian, sejauh ini para korban terorisme acap tidak mendapatkan hak-haknya. Bahkan menurut pengakuan dari sebagian korban, pada waktu kejadian bom, tak sedikit dari mereka yang harus menunggu selama berjam-jam untuk mendapatkan layanan medis karena menunggu jaminan pembiayaan dari pemerintah.

Dalam konteks seperti ini, pengesahan terhadap Revisi Undang-Undang (RUU) No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi sebuah keterdesakan yang semestinya mendapatkan dukungan dari semua pihak. RUU ini menjamin adanya bantuan medis, bantuan rehabitilitasi psikososial dan psikologis bagi para korban terorisme dan korban pelanggaran HAM berat (Pasal 6).

Tentu RUU ini tidak akan mampu menyelesaikan semua masalah yang harus dihadapi oleh para korban terorisme, termasuk pemenuhan hak-haknya. Namun demikian, RUU ini setidaknya bisa memberikan jaminan medis bagi para korban, khususnya pada saat-saat baru terjadi sebuah ledakan bom. Hingga tidak perlu ada korban bom lagi yang harus menunggu berjam-jam untuk mendapatkan layanan medis.

Menjadi penyintas

Pemberdayaan dan pemenuhan hak korban sebagaimana di atas menjadi sebuah keharusan untuk mendorong para korban menjadi penyintas. Hingga para korban dapat secara optimal berperan (dan bisa diperankan) dalam upaya menghadapi persoalan terorisme ke depan.

Meminjam kaidah hukum Islam yang sangat kesohor, faqidus syai’i la yu’thihi (orang yang tidak memiliki sesuatu tak mungkin bisa memberikan sesuatu tersebut kepada pihak lain). Kaidah hukum ini sedikit banyak relevan dengan sejumlah persoalan internal korban yang ada saat ini. Selama persoalan internal yang ada belum terselesaikan, hampir mustahil mereka dapat berperan secara optimal dalam upaya menghadapi ancaman terorisme.

Semua ini tentu membutuhkan kerjasama dari semua pihak, khususnya pemerintah. Hingga para korban tidak terlalu disibukkan dengan persoalan “internal” mereka. Dengan demikian, para korban bisa melangkah maju keluar untuk mengambil peranan dalam upaya membangun Indonesia yang damai dari terorisme.

Keterlibatan para penyintas dalam menghadapi ancaman terorisme ke depan teramat sangat penting. Selain karena korban bisa membagikan kisahnya, sebagaimana di atas, juga karena jaringan terorisme seakan tidak pernah mau hengkang dari bumi Indonesia. Bahkan jaringan ini semakin intens menjadikan anak-anak muda sebagai target regenerasi.

Para penyintas bisa menjadi “pasukan alternatif” dalam perang panjang melawan jaringan terorisme, khususnya di saat negara seakan mati kutu dalam menghadapi jaringan kejahatan ini. Dengan keterlibatan dan peran dari para penyintas, bangsa ini diharapkan mampu memukul mundur sekaligus mengusir terorisme keluar dari teritori Indonesia. Bukan justru Indonesia yang terus terdesak oleh ancaman terorisme di pelbagai macam bentuk dan kelompoknya! (SWD)

 

Oleh: Hasibullah Satrawi

Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA)

 

Tulisan ini pernah dimuat di harian Media Indonesia, Edisi 06 September 2014.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *