Home Wawancara Strategi Soft Approach Harapan Penyelesaian Akar Terorisme di Indonesia
Wawancara - 03/05/2016

Strategi Soft Approach Harapan Penyelesaian Akar Terorisme di Indonesia

Bapak Solahudin adalah seorang peneliti di The Indonesian Strategic Policy Institute/CTSC-UI, wartawan senior,  penulis buku “NII sampai JI: Salafi Jihadisme di Indonesia”, dan anggota Dewan Pembina Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Dalam edisi ini, Suara Perdamaian bercakap-cakap dengan beliau mengenai topik yang kini tengah ramai dibicarakan publik dan media massa, yaitu tentang Negara Islam di Suriah dan Irak, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Islamic State/Islamic State of Iraq and Syria (IS/ISIS). Aktivitasnya sebagai peneliti juga mengharuskan beliau untuk berinteraksi dengan narapidana terorisme dan mantan pelaku kekerasan ekstrem yang telah menyesali perbuatan mereka dan menjalani masa hukuman.Berikut petikan wawancara Suara Perdamaian dengan beliau.

Dalam kurun dua bulan terakhir ini kita memperingati 11 tahun tragedi Bom Marriott I dan Satu Dekade Bom Kuningan. Seperti apakah situasi/kondisi terakhir kontra-terorisme di Indonesia?

Pemerintah Indonesia melakukan penanggulangan terorisme di Indonesia ini kan melalui dua strategi. Strategi hard approach melalui pendekatan penegakan hukum dan yang kedua strategi soft approach melalui pendekatan seperti deradikalisasi atau kontra-radikalisme. Strategi hard approach ini saya kira sangat berhasil.

Polisi sebagai ujung tombak penegakan hukum  berhasil mengungkap hampir semua kasus terorisme di Indonesia yang terjadi pada kurun 2002 hingga sekarang. Hampir semua pelakunya berhasil ditangkap. Dari 2002 hingga 2013 lebih dari 900 orang tersangka teroris yang ditangkap. Namun sayangnya keberhasilan strategi hard approach ini belum dibarengi dengan keberhasilan soft approach. Padahal ini penting, soalnya pendekatan soft approach ini kan harapannya menyelesaikan akar masalah terorisme. Kalau akar masalah bisa diselesaikan, kita bisa berharap bahwa terorisme di Indonesia akan menurun signifikan. Namun menurut saya pendekatan hard approach melalui program deradikalisasi atau kontra-radikalisme belum maksimal.

Sebagai bukti, begitu banyak para tersangka teroris yang ditangkap bahkan ditembak mati, tapi kasus terorisme terus terjadi.

Bahkan dalam periode 2010-2013 sempat meningkat. Dalam hitungan saya selama periode itu ada lebih dari 85 kasus terorisme. Meningkatnya angka terorisme ini menunjukan bahwa pendekatan soft approach masih belum berhasil dan perlu ditingkatkan.

Meski banyak pihak termasuk pemuka-pemuka Islam di dalam dan di luar negeri yang menentang IS, kehadiran mereka masih merisaukan.  Apakah IS itu sebenarnya, ajaran mereka, dan apakah warga negara dan pemerintah Indonesia patut resah atas kehadiran kelompok ini?

IS (Islamic State) didirikan pada 1 Ramadhan 2014 sebagai transformasi dari ISIS (Islamic State of Iraq and Syam atau Islamic State of Iraq and Suriafi) yang dideklarasikan pada April 2013. Sementara ISIS sendiri adalah tranformasi dari ISI (Islamic State of Iraq). ISI yang didirikan pada 2006 oleh berbagai kelompok jihad di Irak. Kemudian pada 2013 ISI masuk ke Suriah dan kemudian mendeklarasikan ISIS. Paham ajaran utama mereka adalah pentingnya penegakan sebuah Khilafah. Khilafah menjadi syarat bagi tegaknya syariat Islam.

Pasalnya syariat Islam itu terbagi jadi dua.Syariat yang bersifat individu seperti shalat, puasa, dan syariat Islam yang bersifat sosial seperti hudud (hukum pidana) dan lain-lain.Untuk bisa menegakan syariat Islam yang sosial diperlukan yang namanya institusi negara.Dalam pandangan ISIS institusi negara yang paling tepat adalah Khilafah Islamiyah. Sebenarnya paham seperti ini bukan monopoli ISIS atau IS. Banyak kelompok punya pemahaman yang sama, contohnya Hizbut Tahrir. Namun IS menjadi kontroversial karena aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan dengan cara yang kejam seperti pembunuhan dengan cara pemenggalan kepala dan lain-lain.

Sebagian besar korbannya adalah orang-orang Islam yang menolak bergabung dengan mereka. Orang-orang Islam yang menolak bergabung dihukum tak ubahnya kaum riddah (murtad) serta bughot (kaum pemberontak) yang, menurut paham mereka, adalah orang-orang yang halal daralmya untuk dibunuh. Itu sebabnya sebagian ulama, termasuk tokoh-tokoh jihad memandang IS/ISIS sebagai kelompok khawarij alias kaum ekstrimis yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam.

Pemerintah dan masyarakat Islam di Indonesia memang banyak yang cemas dengan kehadiran IS karena beberapa alasan. Pertama, IS/ISIS mendefinisikan diri sebagai khilafah atau pemerintah Islam sedunia yang saat ini menguasai beberapa wilayah di Suriah dan Irak. Tapi IS/ISIS punya agenda untuk meluaskan wilayahnya ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia. Jadi muncul kecemasan bahwa ISIS mengancam NKRI.

Kedua, kecemasan terhadap IS/ISIS ini muncuL karena di Indonesia mereka sudah punya relatif cukup banyak pengikut. Kita bisa lihat saat bulan Ramadhan lalu (2014) terjadi aksi bai ‘at (janji setia) kesetiaan kepada IS di berbagai kota seperti di Tangerang, Bekasi, Solo, Malang, Ujung Pandang, Ambon dan lain-lain. Diperkirakan sudah lebih dari 2000 orang yang berbaiat kepada IS/ISIS. Dikhawatirkan ke depan makin banyak yang mendukung IS/ISIS.

Sebagai pakar, Anda juga berinteraksi dengan para mantan pelaku yang sudah melewati/sedang menjalani masa hukuman. Apa yang bisa Anda ceritakan mengenai para pelaku ini?

Sebagian pelaku atau mantan pelaku yang saya ketahui bisa dikategorikan menjadi tiga. Pertama, yang masih radikal, mereka-mereka ini tak menyesali apa yang sudah diperbuat. Mereka masih yakin bahwa tindakan teror yang dilakukan memang sesuai dengan tuntutan syariat. Mereka yang radikal ini ketika di dalam penjara juga rata-rata non kooperatif, misalnya mereka tak mau ikut program pembinaan yang diadakan oleh Lembaga Permasyarakatan (Lapas). Mereka bahkan tak mau shalat di masjid yang ada di Lapas karena memandang masjid itu masuk dalam kategori masjid dhirar (masjid yang dibangun oleh kaum munafik pada masa Nabi Muhammad SAW), alias masjid yang bathil karena dibangun oleh thaghut dan haram hukumnya shalat disana.

Kedua, mereka yang sudah disengagement (proses pelepasan dari kelompok). Mereka adalah orang-orang yang untuk sementara tidak lagi mendukung kekerasan. Namun sifatnya sementara, mereka sangat memperhitungkan situasi dan kondisi serta manfaat dan mudharat dari aksi-aksi terorisme. Umumnya mereka memandang bahwa saat ini bukan saat yang baik untuk melakukan aksi teror karena lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Mereka yang sudah terlepas dari kelompoknya ini rata-rata kooperatif. Kalau di penjara mereka mau ikut pembinaan, mau ikut shalat di masjid milik Lapas dan lain-lain.

Ketiga,  orang yang telah bertobat. Dia meninggalkan paham kekerasan yang sebelumnya mereka anut. Orang-orang seperti ini jumlahnya tidak banyak. Ada sebagian dari mereka yang sekarang juga aktif melawan terorisme. Proses pertobatan itu biasanya terjadi setelah mereka melakukan pengkajian kembali paham-paham mereka, setelah itu mereka mengkritisi paham tersebut dan kemudian pandangannya jadi berubah. Namun biasanya tak hanya revisi atas paham mereka saja, tapi juga mereka berdiskusi dengan orang-orang terdekat seperti keluarga yang tidak menyetujui mereka terlibat kasus teror. Selain itu juga ada yang makin yakin mereka harus bertobat setelah bertemu dengan para korban, terutama korban Muslim. Mereka mulai mempertanyakan kembali paham mereka apakah benar mereka membela umat Islam, kok yang terjadi malah korbannya orang Islam sendiri. Proses perubahan ini saya kira perlu diteliti lagi lebih jauh agar kita bisa menemukan pola moderasi yang terjadi.

Sebagai pakar, apa seruan/himbauan Anda bagi komunitas korban dalam hal mengambil peran sebagai agents of peace (agen-agen perdamaian) dalam masyarakat Indonesia sekarang ini?

Saya kira posisi korban sebagai agen perdamaian mempunyai peran yang sangat penting. Kenapa? Merekalah orang yang paling punya otoritas dalam memberikan kesaksian bahwa jalan kekerasan bukan sebuah solusi.

Penderitaan mereka sebagai korban adalah sebuah narasi yang sangat kuat, bukan hanya buat masyarakat tapi juga bahkan buat para pelaku. Saya pemah ketemu dengan mantan pelaku yang stres bertemu dengan korban yang Muslim, yang hidupnya menjadi begitu menderita akibat menjadi korban bom.

Si mantan pelaku mengaku stres karena tak pemah membayangkan bahwa kekerasan yang dilakukan menyebabkan sesama Muslim ikut menderita. Selain itu dia stres karena dia ingat apa yang disebut sebagai dosa jariyah, dosa yang terus berkepanjangan selama si korban hidupnya menderita.

Ilustrasinya bila ada korban yang hidupnya jadi berantakan dan juga kehidupan ekonomi keluarganya pun ikut berantakan hingga ada anggota keluarga si korban terlibat dalam berbagai tindakan kriminal, misalkan jadi penjual narkoba karena harus menghidupi keluarganya, maka dalam konsep dosa jariyah selama si orang tersebut jadi penjual narkoba, akan turut ditanggung si pelaku yang telah membuat kehidupan korban (termasuk kehidupan ekonomi keluarganya) berantakan. Tak hanya itu, semakin banyak orang yang mengkonsumsi narkoba tersebut maka semakin banyak dosa yang harus ditanggung oleh si pelaku tersebut.

Dari cerita ini kita bisa melihat bahwa betapa kuatnya narasi para korban. Karenanya buat saya para korban adalah agen perdamaian yang paling kuat dan tak boleh diabaikan jika kita menginginkan berkurangnya kekerasan di Indonesia. (JC) ***[SWD]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *