JI Kembali ke NKRI: Menyimak Penuturan Mantan Petingginya (Bag. 1)
Aliansi Indonesia Damai-Setahun silam, tepatnya 30 Juni 2024, ratusan mantan pegiat Jamaah Islamiyah (JI) meriung di salah satu hotel di kawasan Bogor Jawa Barat. Usai bermusyawarah mereka mencapai rmufakat, JI harus dibubarkan. Tak butuh tempo lama, saat itu pula deklarasi pembubaran JI langsung dibacakan oleh salah satu pendiri JI. Di antara poin penting yang diikrarkan adalah kembalinya JI ke pangkuan NKRI.
Sejak akhir tahun 2000, beberapa anggota JI terlibat dalam perencanaan dan eksekusi teror-teror bom mematikan yang merenggut ratusan nyawa manusia tak bersalah, meninggalkan duka dan kesengsaraan di kalangan korbannya. Bom Natal 2000, Bom Bali 2002, Bom JW Marriott 2003, Bom Kuningan 2004, Bom Bali 2005, Bom Pasar Tentena Poso 2005, Bom Pasar Maesa Palu 2005, dan Bom Marriott 2009 merupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang diorkestrasi oleh sejumlah anggota JI.
Lantaran sepak terjangnya yang membahayakan kemanusiaan, negara menetapkan JI sebagai korporasi terorisme. Amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 2191/PID.B/2007/PN.JKT.Sel atas nama Zuhroni butir kedua dan ketujuh secara tegas menyatakan bahwa JI terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana terorisme dan menetapkannya sebagai korporasi yang terlarang. Siapa saja yang terbukti menjadi anggota apalagi pengurus JI dapat dijerat pidana terorisme.
Beberapa waktu silam, Arif Siswanto, mantan Ahlu Syuro (penasehat) JI, dalam salah satu kegiatan yang diselenggarakan AIDA di Jakarta menuturkan panjang lebar alasan pembubaran organisasi yang telah digelutinya selama puluhan tahun.
Baca juga Liputan Terorisme Jangan Jadikan Korban Sebagai Komoditas
Arif menuturkan, negara memang telah melarang keberadaan JI sejak 2008. Pun banyak elitnya yang tertangkap dan menjalani hukuman penjara. Namun secara klandestin, para pegiatnya yang tersisa, termasuk Siswanto, terus membangun JI. Mereka bahkan berhasil menyusun pedoman dan struktur organisasi yang lebih kuat, jaringan, sistem sel, pendanaan yang lebih melimpah, dan kaderisasi yang mumpuni. Walhasil, aparat keamanan kembali “menggulung” JI secara masif sejak tahun 2020.
“Saat saya menjalani hukuman antara tahun 2020-2023 itu ada 620-an orang JI yang ditahan. Itu meliputi para anggota yang levelnya tinggi-tinggi sampai menengah,” ujar Siswanto mengawali kisah saat awal terbersit keinginan membubarkan JI.
Penangkapan tersebut berdampak terhadap kelangsungan organisasi dan kehidupan keluarga mereka, yakni istri dan anak-anak. Secara organisatoris, hal itu benar-benar melumpuhkan organisasi. Saat bersamaan, berapa ribu jiwa yang kehilangan tulang punggung keluarga akibat pemenjaraan.
“Bapak-bapak bisa bayangkan, 600-an itu kepala keluarga. Kalau satu kepala keluarga ini menanggung beban, setidaknya 4 atau 5 berarti yang ikut menderita berapa sudah, 3000 orang. Belum lagi yang harus lari-lari dari kejaran aparat lantaran 600 orang yang ditangkap, khawatir terkena pengembangan kasus,” ujar penasehat mantan Amir JI terakhir ini.
Baca juga Mencermati Pemantik Terorisme
Keprihatinan itu menjadi pemantik Siswanto. Baginya, mustahil jamaah “sekecil” JI yang tidak didesain untuk melawan negara tiba-tiba harus menanggung beban yang seperti ini. Selama dalam masa penahanan, Siswanto kerap berdialog dengan banyak tokoh dan anggota JI. Ia mencoba untuk menyadarkan rekan-rekannya bahwa apa pun pekerjaan dan tugas mereka yang terkait dengan organisasi JI akan membuat mereka terus berposisi via a vis dengan negara.
Baca juga Seluruh Ideologi Dapat Melahirkan Terorisme
Bahkan meski pekerjaan itu bermanfaat bagi umat, seperti mengajar di pondok pesantren, mengisi pengajian-pengajian di masyarakat, atau taklim-taklim yang bersifat terbatas. Pasalnya semua tugas tersebut merupakan bagian dari aktivitas organisasi JI yang pada dasarnya tetap ingin mengubah ideologi negara. (bersambung-LA-MSY)