Kurikulum yang Dimakan Usia
Oleh Saifur Rohman
(Pengajar Filsafat di Program Doktor Universitas Negeri Jakarta)
Artikel ini terbit di laman Kompas.id edisi 09 Jun 2025
Seorang pejabat menyerukan agar memecat bagian sumber daya manusia di sebuah perusahaan karena menyatakan lowongan pekerjaan dalam bursa kerja adalah formalitas.
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi menyelenggarakan ”Job Fair Bekasi Pasti Kerja” di Jababeka Convention Center, Selasa, 27 Mei 2025. Pemkab menyatakan terdapat 2.557 lowongan kerja yang ditawarkan oleh 64 perusahaan.
Acara ini berakhir ricuh karena peserta membeludak menjadi 25.000 orang. Pengunjung berdesakan, saling dorong, dan situasi sesak mengakibatkan 37 orang luka-luka dan sebagian lagi pingsan.
Belum lama ini sejumlah video yang beredar di dunia maya memperlihatkan sejumlah pelamar kerja yang terjatuh ke parit dan lumpur. Diduga mereka berdesak-desakan saat melamar kerja ke PT Let Solar Energy Batam di Horizon Industrial Park, Pulau Batam, Sabtu (19/4/2025).
Laporan Kompas bertajuk ”Pengangguran Muda dan Tantangan Penguatan Pendidikan Vokasi” (11/5/2025) melaporkan, hingga Februari 2025 jumlah pengangguran absolut mengalami peningkatan sebesar 1,11 persen. Dari latar belakang pendidikan, lulusan SMK/SMA sebesar 14,35 persen, dan diploma hingga doktor sebesar 11,07 persen.
Baca juga Pendidikan Kita Memang Telah Usang
Ketika pemerintah menekankan hasil pendidikan pada kompetensi yang bisa diterapkan pada perusahaan, benarkah pendidikan vokasi adalah solusi terbaik? Pertanyaan yang lebih mendasar, masih relevankah kurikulum pendidikan masa kini untuk mengantisipasi perkembangan tersebut?
Sekolah bukan jaminan kerja
Kasus kericuhan dan kecelakaan akibat memperebutkan kesempatan kerja di sebuah perusahaan adalah implikasi dari fakta bahwa jumlah pekerjaan jauh lebih kecil dari jumlah sumber daya manusia (SDM).
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik 2025, sebesar 153,05 juta SDM adalah pencari kerja. Apabila mengacu pada data Kompas (2025), peningkatan jumlah pengangguran absolut berbanding lurus dengan jumlah lulusan dari sekolah menengah maupun universitas.
Logikanya, universitas dan sekolah terus meluluskan peserta didik, sementara pada saat yang sama pekerjaan tidak juga bertambah. Jika rata-rata pelamar berumur 20-25 tahun dan lulusan S-1 atau SMA, lima tahun lalu mereka melaksanakan kurikulum yang sekarang masih diterapkan.
Sebagai gambaran, pada tahun 2020-an, penerapan Kurikulum Merdeka merupakan perpanjangan tangan dari pragmatisme yang menjiwai semangat Kurikulum 2013. Pragmatisme-liberal yang berorientasi pada hasil-hasil kreatif itu kemudian diperbaiki dengan Kurikulum 2024 yang menekankan pada orientasi hasil kreativitas pada nilai-nilai Pancasila.
Baca juga Sasaran Kemarahan Itu Bernama Sekolah
Dalam Pasal 17 dari Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No 12/2024 tentang Kurikulum Merdeka telah termaktub tentang amanat tentang profil pelajar Pancasila, yakni beriman, bergotong royong, bernalar kritis, berkebinekaan global, mandiri, dan kreatif.
Prinsipnya, mengacu pada pembelajaran yang berdampak, relevan, dan bermakna.
Kesulitan yang dihadapi, karakter yang dirumuskan dalam profil pelajar Pancasila hanya sebagai pelengkap dari materi pembelajaran. Karena hanya menjadi pelengkap, tuntutan terhadap pemenuhan kompetensi pun tidak terjadi.
Kasus kericuhan dan membeludaknya angkatan kerja di sebuah acara bursa lowongan kerja adalah bukti ketidakmampuan individu untuk mengembangkan potensi diri dan lingkungan sebagaimana amanat dari Kurikulum Merdeka.
Dengan kata lain, perlunya sikap mandiri sebagai salah satu ciri pelajar Pancasila tidak ditemukan ketika di luar institusi pendidikan ternyata mereka sangat bergantung pada perusahaan. Tidak sulit ditemukan bukti, setiap acara bursa kerja akan mendapatkan perhatian luas dari publik, terutama mereka yang berusia produktif. Harapan mereka adalah bekerja di sebuah perusahaan dengan gaji yang layak.
Kurikulum untuk pengangguran
Hal itu memberikan pesan penting bahwa kurikulum pendidikan ternyata makin menciptakan pengangguran. Karena itu, tak sulit kiranya untuk menyatakan bahwa ada tiga konsep tentang pendidikan yang tidak lagi relevan dengan zaman.
Pertama, kurikulum pendidikan yang mengarahkan pada permintaan swasta hanya menghasilkan orang-orang yang berorientasi pada dunia kerja. Pendeknya, kurikulum link and match sudah tidak relevan karena pendidikan mestinya menghasilkan karakter yang selaras dengan cita-cita nasional.
Hal itu beranjak dari konsep lama yang masih dipercayai dalam perspektif sosiologi ilmu pengetahuan. Konon, praktik ilmu pengetahuan dapat dilihat dari struktur ilmu, kompetensi, dan pengakuan yang bisa dimanfaatkan swasta.
Inilah prinsip usang itu: kalau sudah bekerja, berarti pendidikannya berhasil.
Baca juga Memperhatikan Ruang Aktual Pendidikan
Kedua, ijazah bukanlah jaminan untuk memperoleh posisi pekerjaan yang lebih baik. Pekerjaan formal memang butuh ijazah, tetapi itu bukanlah satu-satunya syarat yang diperlukan dalam dunia kerja. Faktanya, kompetensi seseorang tidak selalu hanya bisa diperoleh dari pendidikan formal.
Ketiga, jenjang pendidikan yang makin tinggi tidak menjamin besarnya peluang pekerjaan. Konsep ”semakin tinggi kuliah semakin tinggi peluang jabatan” sudah tidak relevan.
Jenjang pendidikan hanya menandai adanya tradisi dalam mengembangkan disiplin ilmiah. Suka atau tidak, gelar akademik tinggi pada masa kini hanya menjadi status sosial yang bermanfaat untuk membangun citra diri.
Baca juga Bahasa Berdaulat, Pendidikan Bermutu
Atas dasar alasan itu, jelaslah kurikulum nasional memerlukan pembenahan. Paradigma pendidikan, teori ilmu pengetahuan, dan struktur masyarakat telah berubah. Peraturan Mendikbudristek No 12/2024 tentang Kurikulum Merdeka yang disahkan 6 Maret 2024 seketika kuno karena belum menjawab persoalan hari ini.
Pemerintah perlu merefleksikan kembali konsep-konsep pendidikan yang dipercayai kebenarannya karena ternyata perangkat pendidikan yang sedang diterapkan pada masa kini sudah tidak bisa dipakai lagi.