Home Inspirasi Empati Saya kepada Korban

Empati Saya kepada Korban

Nama saya Kurnia Widodo. Saya mantan narapidana kasus terorisme asal Bandung. Dulu saya ditangkap karena terlibat dalam kelompok Cibiru (terkait rencana aksi teror di beberapa tempat serta pelatihan militer di Aceh pada 2010). Pada saat itu, saya mempunyai keahlian dalam membuat bahan peledak. Tahun 2014 saya bebas dari Lapas Cipinang setelah menjalani vonis penjara.
Setelah bebas, saya memulai kehidupan dari awal tetapi tidak lagi di jalan kekerasan. Saya telah mempunyai bekal yang lebih konstruktif dalam menjalani hidup. Pertemuan saya dengan ustaz-ustaz senior di Lapas yang lebih alim dalam ilmu agama membuat saya berpikir ulang tentang keyakinan yang dulu saya anut.
Saya banyak belajar selama berada di dalam Lapas. Saya merenungkan berbagai aspek kehidupan, di antaranya agama, sosial, budaya, kemanusiaan, dan sebagainya. Semua aspek itu harus berjalan paralel dan seimbang. Tidak baik bila hanya mementingkan satu aspek saja, misalnya aspek agama. Hal itu akan mendorong orang menjadi berlebih-lebihan dalam beragama, atau istilahnya ghuluw. Kekerasan dan ekstremisme menurut saya adalah manifestasi dari pandangan keagamaan yang ghuluw tersebut.
Bertemu AIDA dan korban
Saya bersyukur telah dilibatkan dalam kegiatan AIDA. Misalnya, dengan menjadi panitia/kontak lokal dalam kegiatan kampanye damai di sekolah-sekolah di Bandung, serta menjadi peserta observer dalam kegiatan Pelatihan Tim Perdamaian AIDA di Tasikmalaya pada September 2016. Sebelumnya juga, bersama mantan narapidana yang lain, saya membantu AIDA dalam Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme di Kalangan Petugas Pemasyarakatan. Sekarang, saya bangga bisa menjadi Tim Perdamaian AIDA bersama para korban untuk menyuarakan perdamaian di Indonesia.
Kegiatan AIDA sangat bagus terutama pendekatan mempertemukan korban dan mantan pelaku secara langsung. Menurut saya, mendatangkan korban dan mantan pelaku dalam kampanye perdamaian di sekolah efektif mengingatkan adik-adik pelajar SMA berpikir dua kali untuk ikut kelompok kekerasan. Minimal ada pertimbangan yang berat untuk ikut kegiatan radikal. Pendekatan AIDA dalam banyak kegiatan, yaitu menghadirkan korban-korban terorisme, memunculkan empati peserta termasuk saya sendiri juga mengalami hal itu.
Saya berani mengatakan para pelaku terorisme tidak punya empati kepada masyarakat. Sebab, saya dan teman-teman jaringan teroris dulu dididik secara eksklusif dengan istilah bahwa kami adalah ghuraba (merujuk pada sebuah hadis) atau orang yang asing, yang berbeda dari kebanyakan manusia namun diklaim golongan itu yang diridhai Allah karena berada di jalan kebenaran. Jadi, tidak mengherankan bila para pelaku tidak peduli dengan masyarakat sekitar.
Kebesaran hati korban
Saat dipertemukan dengan korban, terus terang saya larut dalam kesedihan. Saya mendengarkan secara langsung bagaimana penderitaan mereka yang ditimbulkan dari aksi terorisme. Saya sampai berkaca-kaca mendengar kisah mereka. Saya langsung meminta maaf kepada para korban yang saya temui meskipun saya sendiri tidak terlibat dalam aksi teror yang mengenai mereka.
Saya minta maaf karena pemikiran saya dulu memang ada rencana untuk ngebom. Meskipun saya belum sampai mengebom namun saya merasa seolah-olah sudah melakukan. Saya juga merasa bersalah seolah-olah ikut melakukan karena pemahaman saya dulu sama kaya begitu. Dalam kegiatan AIDA di Tasikmalaya, saya bertemu dengan korban  teror yang menurut saya mengalami luka bakar paling parah, yaitu Pak Didik Hariyono.
Saya melihat korban ini luar biasa karena bisa memaafkan apa yang terjadi pada dirinya. Suatu sikap yang di kalangan teroris sangat langka. Yang ada di kelompok saya dahulu jutsru sikap-sikap yang berkebalikan, seperti dendam atau keinginan yang kuat untuk membunuh atau melukai orang lain.
Saya merasa seolah-olah punya utang kepada para korban karena saya pernah mengajarkan orang-orang cara membuat bom. Orang-orang yang pernah saya latih itu saat ini atau suatu saat mungkin melakukan amaliyat atau aksi teror.
Gerakan perdamaian
Melalui kegiatan AIDA, saya belajar dari senior, mantan pelaku yang sudah insaf, seperti Pak Ali Fauzi. Saya terinspirasi dan senang mendengarkan pengalaman dia insaf, meninggalkan jaringan teroris internasional.
Saya katakan beliau dan saya serta beberapa mantan pelaku lain insaf, dalam arti menyadari apa yang diyakini dan dilakukan dulu adalah kesalahan besar. Itu merupakan paham atau aliran keagamaan yang menyesatkan. Ibarat orang shalat tapi shalatnya tidak sesuai dengan syarat dan rukunnya. Bayangkan, orang shalat subuh dengan tiga rakaat dan di waktu matahari telah terbit, apakah bisa dibenarkan? Tentu tidak. Demikian pula, menurut saya, pemahaman kami tentang jihad yang dahulu kami anut.
Dulu saya menyokong untuk membunuh polisi-aparat keamanan dan bergembira kalau ada yang meninggal. Kalau sipil yang meninggal, kami tidak peduli. Kalau saya mengingat aktivitas kelompok saya dulu, saya semakin menyadari betapa kacaunya pemikiran mereka.
Sekarang saya insaf, bahwa apa yang kami yakini dahulu, apa yang kami lakukan dahulu adalah sebuah kesesatan. Saya merasa punya tanggung jawab untuk mencegah penyebaran paham dan ajaran seperti yang saya yakini dahulu. Saya masih punya utang dan untuk menebusnya saya akan terlibat dalam gerakan perdamaian. Saya tidak mau lagi ada jatuh korban dan darah yang tertumpah. Inilah keyakinan saya saat ini.
Oleh Kurnia Widodo