Home Berita Kekerasan Jangan Dibalas dengan Kekerasan
Berita - 29/02/2016

Kekerasan Jangan Dibalas dengan Kekerasan

Matanya berbinar, kata-katanya tegas. Siswa berjilbab dari SMAN 1 Bolo, Kabupaten Bima, NTB itu mengakui kesalahannya berpandangan bahwa kekerasan yang mengatasnamakan agama adalah bagian dari jihad.

“Dulu saya berpikir orang yang bukan dari agama Islam harus dibunuh. Sekarang saya sadar, pemahaman itu salah,” ujarnya usai mengikuti Seminar dan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Bima, Kamis (17/12/2015).

Pandangannya kini berubah. Menurut dia, kekerasan bukanlah solusi dalam berdakwah. Ada jalan yang lebih layak ditempuh, yaitu perdamaian. Gadis remaja ini berpesan kepada para rekan sebayanya. “Kita ini semua saudara. Ketika teman kita bukan dari Islam, ayo kita mendakwahi mereka, bukan malah menyakiti mereka,” ucapnya.

Dalam acara seminar yang diikuti 95 siswa dari SMAN 1 Bolo, SMAN 2 Bolo, SMA Muhammadiyah Bima, dan MAN 3 Bima itu Sudirman A. Thalib sebagai narasumber menyampaikan pengalamannya tentang dampak kekerasan.

Dalam kegiatan AIDA yang didukung Direktorat Pembinaan SMA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu, Sudirman mengisahkan pengalaman hidupnya menjadi korban Bom Kuningan di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta sebelas tahun silam.

“Posisi saya sekitar 10 meter di depan mobil pembawa bom. Hanya mukjizat Allah yang bisa menyelamatkan saya. Saya terlempar beberapa meter, lalu spontan mengucapkan Allahu Akbar tiga kali dan membaca ayat-ayat Alquran. Takbir dan ayat Alquran itu memberikan ketenangan batin kepada saya,” ujarnya.

Belajar dari pengalamannya, Sudirman berpesan kepada para siswa yang hadir agar tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, karena hal itu pasti menimbulkan kebencian tak berujung.

Narasumber lain dari unsur mantan pelaku kekerasan, Iswanto, menyatakan bahwa mengidentikkan jihad dengan berperang adalah pemahaman sepenggal yang tidak sempurna. “Setelah saya mengkaji bermacam literatur, ternyata jihad bukan hanya perang, tapi juga menuntut ilmu dan mencari nafkah bagi keluarga,” ujarnya.

Iswanto mengakui dirinya pernah mendapatkan pemahaman jihad yang selalu identik dengan aksi kekerasan. Kala itu, ia berkeyakinan bahwa membunuh orang non-muslim adalah jihad. Kebenciannya pada umat agama lain sangat kuat. Pada saat bersamaan, ia didoktrin bahwa mencegah kemungkaran dan menyeru kebajikan boleh dilakukan dengan kekerasan.

Namun, pemahaman tersebut memudar seiring waktu. Iswanto memutuskan untuk meninggalkan kelompok kekerasan dan kembali pada kehidupan sosial yang normal. Is, sapaan akrabnya, menelaah kembali literatur Islam terutama yang berkaitan dengan jihad. Ia mendapatkan pemahaman bahwa amar ma’ruf nahi munkar tidak boleh dilaksanakan dengan cara kekerasan karena menimbulkan malapetaka baru.

Sejak berhenti dari dunia kekerasan, Is memutuskan melanjutkan jenjang pendidikan formalnya dan lantas menjadi guru di sebuah SMA swasta di Jawa Timur. Ia percaya, mengajar adalah bagian dari jihadnya. “Saya kembali ke dunia pulpen. Saya harus memintarkan anak bangsa agar mereka tidak terlibat jaringan ekstremisme,” ucapnya mantap.

Menurut dia, agama adalah ajaran perdamaian, bukan permusuhan. Ia pun berpesan kepada para siswa peserta seminar agar menjadi agen perdamaian yang mengantarkan negara menuju kemakmuran. Is juga meminta agar para remaja belajar agama secara mendalam.

“Adik-adik semua perlu berhati-hati. Ilmu kurang, semangat tinggi, mental yang labil akan mudah terpengaruh ajaran kekerasan atas nama agama. Maka perbanyak belajar, dalami ilmu agama, bersikaplah kritis saat diajak melakukan kekerasan,” katanya.

Pesan senada juga disampaikan oleh Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi. Menurut dia, memahami pesan Alquran tak bisa sepenggal, melainkan harus menyeluruh, dari ayat pertama hingga terakhir. Dalam penelitiannya, hanya ada sekira 300 ayat dalam Alquran yang berbicara tentang kekerasan. Itu pun harus ditafsirkan dalam implementasinya. Sementara di sisi lain, terdapat ribuan ayat yang berbicara tentang perdamaian. “Maka tidak adil meninggalkan sebagian ayat demi sebagian ayat yang lain karena Alquran satu kesatuan,” katanya.

Para guru dan kepala sekolah yang turut menghadiri seminar memberikan respons positif terhadap acara ini. Mereka menilai kegiatan ini sangat bermanfaat karena menghadirkan korban terorisme dan mantan pelaku kekerasan sehingga semua pihak bisa mempelajari ketangguhan yang dicontohkan Sudirman dan Iswanto saat bangkit dari keterpurukan masa lalu. (MSY)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *