Home Berita Mendorong Regulasi yang Memihak Korban
Berita - 01/04/2016

Mendorong Regulasi yang Memihak Korban

Wacana revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme telah bergulir. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini sedang menggodok regulasi tersebut agar menjadi lebih sempurna dalam memberantas terorisme, kejahatan luar biasa yang menjadi ancaman semua bangsa.

Berkaitan dengan hal itu, Aliansi Indonesia Damai (AIDA) menyelenggarakan diskusi kelompok terfokus bertajuk “Memperkuat Regulasi, Mendorong Pemenuhan Hak-hak Korban Terorisme” di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, pertengahan Februari lalu. Melalui kegiatan tersebut, AIDA mendorong semua pihak yang terkait dengan revisi UU No. 15 Tahun 2003 agar memasukkan unsur jaminan pemenuhan hak-hak korban terorisme.

Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mengatakan aksi teror di Jalan MH. Thamrin Jakarta 14 Januari 2016 menyisakan banyak evaluasi yang harus diperhatikan pemerintah. Seorang korban bernama Dwi Siti Romdhoni (Wiki) merasakan pengalaman kurang menyenangkan dalam masa penyembuhan akibat ledakan bom di Thamrin. Pemerintah menyatakan akan menanggung seluruh biaya layanan medis para korban, namun saat berobat ke rumah sakit ternyata Wiki dimintai pembayaran.

Hasibullah menyebut aturan tentang hak rehabilitasi medis korban terorisme telah tertera di UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, jaminan penanganan korban pada masa kritis belum diatur. Ia menilai keberadaan regulasi itu sangat urgen untuk mencegah korban terlunta-lunta mencari bantuan medis, seperti kasus Wiki. “Jangan sampai setiap ada kejadian, korban baru ditangani setelah ada pernyataan dari Presiden,” ujarnya.

Anggota Komisi III DPR yang diundang dalam kegiatan tersebut, Nasir Djamil, mendukung langkah AIDA. Ia berkomitmen, saat revisi UU  No. 15 Tahun 2003 dibahas di parlemen pihaknya akan mendorong penguatan perlindungan korban. Ia juga mendorong Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai representasi negara untuk memudahkan prosedur penanganan korban mendapatkan perawatan medis. “LPSK tak butuh surat keterangan korban dari kepolisian untuk mengeksekusi penanganan medis korban terorisme,” kata dia.

Komisioner LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, dalam diskusi itu menyadari tanggung jawab perawatan korban terorisme berada di pihaknya sesuai amanat UU No. 31 Tahun 2014. Menurutnya, LPSK telah melakukan terobosan menjamin biaya perawatan korban Bom Thamrin dengan menghubungi beberapa rumah sakit sesaat setelah para korban dievakuasi.

Dalam diskusi siang itu, AIDA juga mendorong Badan Nasional Penanggulangan Terorisme agar memperkuat fungsi koordinasi program pemulihan korban terorisme seperti diamanatkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 12 Tahun 2012, Pasal 13 huruf g. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu fungsi BNPT adalah mengoordinasikan pelaksanaan program pemulihan korban aksi terorisme.

Menjawab hal itu, Direktur Perlindungan BNPT, Brigjen Pol. Herwan Chaidir, meng-ungkapkan tugas perlindungan korban terorisme belum terwadahi. “Harusnya memang ada Subdit Perlindungan Korban sehingga BNPT dapat melakukan tugas koordinasi perlindungan dan pemulihan korban. Namun, harus dikoordinasikan dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan DPR dulu,” ujarnya.

Diskusi “Memperkuat Regulasi, Mendorong Pemenuhan Hak-hak Korban Terorisme” siang itu berlangsung hangat dan dinamis. Sejumlah pihak hadir. Tampak di antaranya adalah anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil; komisioner LPSK, Edwin Partogi; Direktur Perlindungan BNPT, Herwan Chaidir; Kabid Ban Ops Densus 88 Antiteror Polri, Nurwahid; dan pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Heru Susetya. Pengurus YPI, Tita Apriantini, Sudarsono Hadisiswoyo dan Sucipto Hari Wibowo juga hadir memberikan perspektif korban dalam diskusi tersebut. Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM turut diundang namun pihaknya berhalangan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *