Home Inspirasi Aspirasi Damai Belajar Perdamaian dari Shinjuku
Aspirasi Damai - Inspirasi - 19/01/2017

Belajar Perdamaian dari Shinjuku

Shinjuku kala itu dingin, di malam pengujung pergantian musim gugur menuju musim salju (November 2016). Terlintas dibenak saya dan beberapa teman dari Indonesia untuk mencicipi salah satu makanan favorit dari Negeri Sakura, ramen. Semangkuk mie diseduh dengan bumbu kaldu yang lezat dan disajikan dengan potongan ayam, sayuran, khas cita rasa Jepang. Rasanya sangat pas untuk menghangatkan perut kami dikala udara dingin menyergap.

Sebetulnya banyak sekali restoran di Jepang yang menyajikan hidangan ramen, tetapi karena kami muslim maka harus sedikit lebih teliti mencari ramen yang halal. Kami memutuskan untuk mencoba salah satu restoran halal di Shinjuku, satu kawasan di sudut kota Tokyo. Menurut beberapa teman yang pernah berkunjung kesana, warung bernama Shinjyukugyoen Ramen Ouka cukup laris dan terkenal terutama bagi wisatawan muslim. Tak jarang pembeli rela menunggu hingga dua jam lamanya demi mencicipi ramen halal. Benar saja, setibanya kami disana terlihat beberapa pengunjung sedang antre, banyak dari mereka adalah wisatawan muslim asalIndonesia.

Restoran tersebut tidak terlalu besar, kapasitas yang bisa masuk sekitar 10 sampai 15 orang. Untuk bisa makan ramen kami harus antre menunggu giliran sampai pengunjung lainnya selesai makan. Setelah menunggu sekitar satu jam, kami diperbolehkan masuk dan memesan. Tak ingin membuang waktu karena perut semakin lapar,juga menghormati pengunjung lain yang masih menunggu di luar, saya segera memesan menu favorit di restoran tersebut,Spicy Ramen Set.

Pembuatan ramen itu sendiri cukup lama, sekitar 45 menit. Sementara menunggu ramen dimasak dandihidangkan, saya melihat-lihat ke sekeliling restoran. Ternyata tidak semua pengunjungnya muslim. Saya lihat ada juga wisatawan nonmuslim yang berasal dari Eropa danAmerika. Sungguh menarik, ternyata menyediakan makanan halal tidak membuat restoran ini dihindari oleh pengunjung nonmuslim, atau dengan kata lain makanan halal tidak menghalangi umat nonmuslim untuk menikmatinya.

Pemilik restoran tersebut sepasang suami istri asli Jepang.Yang menarikdari pasangan usahawan ramen itu adalahsang istri yangmengenakan hijab. Ya, mereka telah memeluk agama Islam sekitar satu tahun yang lalu. Sebelumnyamereka membuka restoran ramen nonhalal selama 15 tahun di daerah Yokohama. Setelah memeluk agama Islam, mereka memutuskan menutup usaha yang lama dan membuka restoran halal di daerah Shinjuku.

Sang suami adalah juru masak utama di restoran tersebut. Mereka mempekerjakan 5 pegawai dengan jadwal kerja atau shift yang berbeda setiap harinya. Karyawannya berasal dari Jepang, Indonesia dan Malaysia .Keyakinan mereka beragam, ada yang muslim, ada juga yang nonmuslim. Meskipun demikian, perbedaan keyakinan tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk menyediakan makanan halal.

Selain soal ramennya yang halal, ada hal lain yang menarik dan terkenang dipikiran saya. Senang memang rasanya menemukan restoran halal yang dikelola pasangan pribumi muslim di negeri sakura, tetapi kemudian banyak pertanyaan muncul di benak saya. Bagaimana dan seperti apa ya kehidupan sosial mereka? Mengapa begitu berani meninggalkan langganan di restoran yang terdahulu dan memulai dari awal di tempat baru?Apa suka duka menjadi muslim di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim, apalagi dengan penampilan sang istri yang mengenakan hijab? Tidakkah mendapat perhatian dan perlakuan yang berbeda dari lingkungan sekitarnya?

Saat sang istri menghidangkan ramen pesanan kami, saya memberanikan diri untuk mengobrol dengannya. Menjawab keingintahuan saya, perempuan berhijab itu bercerita panjang lebar sembari melakukan pekerjaannya. Dia mengatakan tidak ada gangguan atau perlakuan berbeda dari warga sama sekali, termasuk dari pemerintah Jepang sekali pun. Ia dan suami dengan bebas melakukan ibadah sesuai agama yang diyakini tanpa ada kecaman dari pihak lain. Memang, tak jarang apabila bepergian dengan transportasi umum banyak yang melihat kearahnya kemudian bertanya tentang pakaian yang dikenakannya (hijab), mengapa memilih memeluk agama Islam dan sebagainya. Tetapi, gangguan yang membuat dia dan suami tidak nyaman beribadah tak pernah dialami.

Dia juga menceritakan bahwa keluarga besar baik dari pihak suami maupun istri tidak mempermasalahkan keyakinan yang mereka pilih. Justru menurutnya, dukungan untuk tidak perlu khawatir menjadi minoritas banyak datang dari keluarga dan orang-orang dekat di lingkungan mereka tinggal. Sejumlah teman mendukung mereka membuka restoran makanan Jepang yang bisa dinikmati siapa saja, termasuk umat muslim. Semua orang harus mencicipi cita rasa masakan Jepang berikut cerita di balik pembuatannya. Filosofi itu yang semakin memantapkan hati mereka berbisnis ramen halal. Dia menambahkan, para pelanggan dan penikmat ramen baik lokal maupun manca, dengan berbagai macam agama yang diyakini, yang setia berkunjung menjadi penyemangat tersendiri bagi pasangan mualaf itu.

“Banyak sekali yang datang kembali, rela antre berjam-jam, dari tempat jauh di luar Tokyo, hanya untuk mencicipi ramen halal kami. Memang ada rasa yang berbeda dibandingkan dengan ramen nonhalal, tapi pelanggan tetap ingin mencicipi ramen halal yang menurut mereka memiliki cita rasa yang khas. Jadi, tak hanya mereka yang muslim saja yang ingin datang kesini, orang nonmuslim dari Jepang dan luar Jepang juga datang,” kata dia. Padahal,awalnya dia dan suamisempat meragukan jika membuka restoran ramen halal tidak akan ada pengunjung lokal yang datang. “Ternyata mendapat tanggapan yang baik, di luar ekspektasi,” imbuhnya.

Saya tersenyum mendengar kisahnya. Di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim itu orang-orang saling menghormati, menghargai dan mendukung pilihan orang lain. Terbangun kehidupan yang toleran dan harmonis di sana. Saya belajar satu hal bahwa kehidupan yang damai tercipta bukan karena kesamaan melainkandari ketidaksamaan. Manusia diciptakan berbeda secara ras, suku, agama dan faktor lainnya. Dari perbedaan itulahmanusia dituntut untuk mengupayakan perdamaian, bukan membuat semua menjadi sama agar tercipta perdamaian.

Lama mengobrol, aroma sedap ramen yang telah tersaji menggoda penciuman saya. Sambil menikmati hangatnya masakan, terlintas kepuasan tiada tara dalam pikiran. Saya puas mendapatkan pengalaman baru serta merasa beruntung mendengarkan kisah inspiratif tentang perdamaian dari saudara sesama muslim di negeri sakura. Dari perjalanan ke Shinjuku saya menyimpulkan, kita umat manusia ini harus bisa menerima perbedaan bukan menolaknya, menjaga perbedaan bukan merusaknya, mendukung perbedaan bukan menjatuhkannya, sehingga kehidupan damai yang kita inginkan di dunia ini dapat terwujud.

 

 

*Oleh Intan Ryzki Dewi

Staff AIDA (Aliansi Indonesia Damai)

[SWD]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *