Mendorong Media Menyuarakan Korban dan Perdamaian
Pemberitaan media massa dalam isu terorisme selama ini dirasa kurang mencakup sudut pandang korban. Padahal, sebagai pihak yang paling merasakan dampak aksi teror, korban berpotensi besar mengambil peran dalam menyadarkan masyarakat serta membangun perdamaian. Dibutuhkan kerja-kerja yang dapat menjembatani media dengan korban untuk mengampanyekan perdamaian. Terkait hal itu redaksi Suara Perdamaian mewawancara anggota Dewan Pers, Nezar Patria, melalui sambungan telepon dua pekan lalu. Berikut petikannya:
Bagaimana realitas pemberitaan media massa tentang korban terorisme selama ini?
Kita harus historis melihatnya untuk bisa memahami bagaimana media melaporkan isu terorisme, termasuk bagaimana posisi korban. Pertama, kita mendapatkan kebebasan pers baru setelah Reformasi bergulir. Di awal Reformasi kita mengalami shock saat dihadapkan pada konflik komunal di beberapa daerah. Saya kira pers masa itu belum cukup bijak dalam memberitakan konflik. Baru setelah melihat bahwa ekspos terhadap konflik tanpa perspektif ternyata berdampak besar di masyarakat, pekerja media sadar tentang perspektif yang lain, termasuk bagaimana meliput konflik kekerasan tidak semata-mata dari sudut dua pihak yang bertikai sebagai pertarungan kalah menang, tetapi juga ada pihak lain yang menjadi korban dari kejadian itu. Jadi, ada semacam perimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab sosial. Dengan gerakan yang dibuat asosiasi wartawan, termasuk Aliansi Jurnalis Independen, memprakarsai jurnalisme damai, mulailah ada perspektif terhadap korban dalam liputan-liputan.
Kedua, terorisme adalah hal baru bagi kita. Media dikejutkan dengan aksi yang sangat besar di tengah kebebasan pers yang baru didapat, yaitu Bom Bali 2002 lalu disusul aksi-aksi lain tahun-tahun setelahnya. Dalam hal ini media sering terjebak mewartakan aksi teror sebagai suatu pertunjukan, bagaimana pelaku merakit bom, meledakkan, yang sebetulnya info ini memang dibutuhkan publik untuk menjelaskan ada apa dan kenapa mereka bergerak, tetapi ada yang dilupakan yaitu korban-korban dari aksi-aksi ini sebetulnya yang paling menderita.
Seperti apa idealnya media memberitakan isu terorisme dengan perspektif korban?
Saya pikir semestinya yang dikemukakan bukanlah suatu kegagahan dari aksi terorisme: bagaimana si pelaku menyelinap di keramaian, bisa menyamar, membawa tas tanpa diketahui lalu meledak, seakan-akan ini adalah aksi yang heroik. Media lupa bahwa dengan aksi itu ada ratusan orang kehilangan ayahnya, ibunya, saudaranya, menjadi yatim piatu dan membuat hidup mereka susah, dan sepanjang peristiwa itu dikenang pasti menimbulkan luka yang dalam. Ini mestinya yang juga diekspos dan diberi tempat oleh media sehingga ada satu perspektif lain dari aksi-aksi terorisme, bahwa sebetulnya apa yang mereka lakukan justru membawa mudarat yang banyak bagi para korban.
Jadi, media mesti memperluas cakrawalanya sehingga me-nempatkan isu terorisme sebagai sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan demikian, mungkin media bisa lebih memainkan peran untuk melakukan edukasi kepada publik bahwa gerakan-gerakan terorisme tidak patut untuk didukung. Gerakan-gerakan seperti itu jangan diberikan tempat. Di negara demokratis, meledakkan bom di tengah masyarakat yang tidak berdosa, di tengah kaum sipil yang tidak bersenjata, ini bukanlah suatu perang, ini adalah tindakan pengecut yang membuat korban demi korban berjatuhan.
Sejauh mana signifikansi peran media dalam menyuarakan pemenuhan hak-hak korban terorisme?
Saya lihat ada dua hal di sini. Pertama, bagaimana media melakukan ekspos terhadap korban dan bagaimana media juga menyelamatkan masa depan korban. Misalnya, korbannya perempuan atau anak-anak, itu ada panduan baik dari kode etik jurnalistik maupun dari standar penyiaran bahwa mereka tidak boleh diekspos, tidak boleh diungkapkan identitasnya, kemudian juga harus dilindungi masa depannya. Yang kedua adalah bagaimana menyuarakan suara korban terkait dengan hak-hak mereka yang wajib dipenuhi negara. Dalam hal ini cerita tentang tuntutan hak kompensasi atau rehabilitasi memang tidak seseksi bagaimana seorang teroris melakukan aksinya. Tetapi, sebetulnya jauh lebih penting mewartakan hak-hak korban ini ketimbang menyorot kegagahan pelaku teror.
Saya kira dibutuhkan satu paradigma bagaimana media melihat sebuah peristiwa teror sebagai peristiwa sosial, politik, ekonomi sehingga dimensinya bisa lebih luas. Jadi, tidak menyorot aksi itu sendiri tapi ditekankan pada aspek why, mengapa ini bisa terjadi. Media juga perlu melakukan riset lebih dalam dan menyajikan berita-berita yang mencerahkan ke publik. Kalau aksi teror meledak, selain menelusuri aspek pelaku, penting juga hak-hak korban mendapat konteksnya. Saya menyarankan media melakukan liputan yang komprehensif supaya diketahui kenapa masyarakat begitu gampang diprovokasi hingga melakukan teror, sekaligus media melakukan advokasi agar para korban mendapatkan haknya secara utuh, termasuk kompensasi.
Apa yang dibutuhkan untuk menumbuhkan kesadaran perspektif korban di kalangan jurnalis?
Yang paling penting adalah adanya komitmen media untuk menempatkan korban sebagai hal yang pokok dalam pemberitaan. Misalnya, kalau ada aksi teror korban harus didahulukan. Berapa banyak korbannya, siapa mereka, bagaimana penanganan terhadap korban. Agar, pertama, publik menjadi sadar bahwa aksi terorisme sangat mengancam kemanusiaan. Kedua, bagaimana korban-korban ditangani sebagaimana mestinya, termasuk bagaimana tanggung jawab negara dalam melindungi warganya. Ini yang harus dijaga sebab kadang-kadang perspektif korban ini hilang dengan banyaknya disinformasi, fake news (berita palsu). [MLM] (SWD)