Home Berita Negara Urus Korban Sekadarnya
Berita - 25/04/2017

Negara Urus Korban Sekadarnya

PARA korban aksi tindak pidana terorisme kerap dilupakan masyarakat bahkan negara. Korban dalam proses pemulihan justru dibiayai swasta, LSM termasuk Aliansi Indonesia Damai (Aida), hingga kedutaan besar asing.
Peran negara selama ini sekadar uang kerahiman yang seadanya.
Melihat kenyataan tersebut dan seiring dengan momentum revisi Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Direktur Aida Hasibullah Sastrawi meminta penguatan terhadap hak-hak korban dimasukkan ke revisi.
Selama ini pemberian kompensasi, yakni sesuai dengan Pasal 36 UU Terorisme, harus berdasarkan putusan pengadilan. Praktis, sejak UU Terorisme berlaku hingga 2014, tidak ada korban yang mendapatkan kompensasi.
“Persoalannya (kompensasi di) UU ini juga tidak pernah diimplementasikan dan diberikan ke korban. Aida ­sudah ta­nya ke korban, mereka (korban) tidak pernah dapat kompensasi, yang mereka terima ialah bantuan kemanusiaan atau uang kerahim­an,” ujar Hasibullah dalam pelatihan bertema Penguatan perspektif korban dalam peliputan isu terorisme bagi insan media, di Jakarta, kemarin.
Harapan sempat muncul dari pengesahan UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada 2014. Menurut Pasal 6 ayat 1, korban berhak mendapatkan bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. Akan tetapi, baru sekitar 40 korban terorisme dari 300 korban yang mendapat hak tersebut. Untuk mendapatkan hak itu, korban harus mendapatkan surat keterangan korban yang tidak jelas siapa yang mengeluarkan.
Hasibullah meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memudahkan korban mendapat status korban. Caranya, LPSK mengambil alih sebagai lembaga yang me­ngeluarkan surat keterangan korban dengan verifikasi-­verifikasi yang bisa ditentukan LPSK sendiri.
Lebih lanjut, Hasibullah mengusulkan tiga penguatan untuk korban dalam revisi UU Terorisme. Pertama, merumuskan ulang penetapan kompensasi tanpa melalui vonis peng­adilan. Cukup melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) atau LPSK.
Kedua, revisi UU Terorisme memberi norma bahwa negara menjamin seluruh kebutuhan medis korban terorisme dari masa-masa kritis. Ketiga, dalam revisi UU Terorisme perlu dibedakan antara korban atau tidak. Hasibullah menilai selama ini terjadi salah kaprah dan menganggap keluarga pelaku juga sebagai korban. Padahal, korban adalah warga sipil yang terkena dampak terorisme, sedangkan keluarga pelaku merupakan korban penanganan terorisme yang hak rehabilitasinya sudah diatur dalam UU Terorisme.
Pilih yang memanusiakan
Pada kesempatan yang sama, korban teror bom kuningan 2004 Iwan Setiawan mengaku yang memberi bantuan medis hingga pulih adalah Kedutaan Besar Australia. Pemerintah Indonesia memberikan bantuan medis selama dua minggu, tetapi ia lebih memilih bantuan dari Kedubes Australia karena lebih ‘memanusiakan’. “Berobat ke mana saja ditanggung.”
Sri Hesti, ibu dari korban bom Hotel JW Marriot 2003 Rudi Dwilaksono yang berprofesi sebagai satpam, mengaku bantuan dari negara hanyalah uang kerahiman dari Kapolri Da’i Bachtiar. Untuk pemakaman pun Sri hanya mendapat Rp5 juta dari manajemen Hotel JW Marriot.
“Boro-boro (ada dari pemerintah), cuma cerita tidak ada ininya (realisasi),” ungkapnya sedih. (P-1)
*Artikel pernah dimuat di Harian Media Indonesia edisi 7 April 2017.
(SWD)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *