Korban Terorisme Terabaikan
Mata Mulyono Sutrisman tampak meneteskan air mata ketika ia mulai mengingat kembali proses operasi perbaikan rahangnya yang rusak akibat bom teroris di depan Kedutaan Besar Australia, 13 tahun lalu.
Mulyono berkata, dia harus menunggu selama beberapa jam di rumah sakit lantaran para perawat di sana menolak untuk melakukan pembedahan langsung sebab dia tidak memiliki asuransi. Dia akhirnya dirawat ketika perusahaan tempatnya bekerja menyetujui untuk menanggung biayanya.
Karena cederanya parah, pihak rumah sakit Jakarta mengirimnya ke Singapura, lalu ke Australia untuk mengoperasi konstruk dagunya.
Operasi itu menghabiskan biaya lebih dari 2 miliar rupiah. Semua biaya itu ditanggung oleh perusahaannya dan pemerintah Australia, sementara pihak pemerintah Indonesia hanya menanggung 5 juta.
Sari Puspita, korban dari bom mematikan tahun 2003 di hotel J.W. Marriott di Jakarta, mengatakan telah menghabiskan waktu 1,5 bulan untuk perawatan medis. Biaya perawatannya ditangani oleh perusahaannya. Pemerintah telah mengabaikan korban serangan teroris.
Mulyono dan Sari hanyalah dua dari ratusan korban serangan teroris yang berjuang untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan agar luka-luka mereka bisa diobati.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai, mengatakan bahwa pemberian ganti rugi untuk para korban didasarkan pada peraturan yang menetapkan bahwa ganti rugi ditentukan oleh keputusan pengadilan. Meski begitu, dalam beberapa kasus, termasuk kasus Jakarta pada Januari 2016, permintaan ganti rugi yang mencapai 1.3 miliar telah diajukan oleh 9 korban dalam dakwaan, namun para hakim mengabaikan tuntutan.
Para pengacara kemudian mengeluarkan surat edaran kepada para penuntut atau jaksa di seluruh Indonesia terkait kompensasi untuk korban serangan teroris. Meskipun demikian, Abdul Haris mengatakan, peraturan kompensasi lebih lanjut harus dinyatakan dalam bentuk tuntutan hukum.
“Peraturannya ini bermasalah, sebab jika para pelaku kejahatan teroris mati dan tak ada upaya proses pengadilan, maka kompensasi untuk para korban tak dapat diurus,†kata Abdul Haris.
Kantor PBB untuk Urusan Kriminal dan Obat-obat Terlarang (UNODC) dan Kementerian Luar Negeri telah mengadakan workshop tentang pemberian kompensasi kepada korban kejahatan teroris, belajar dari pengalaman berbagai negara. Ikut hadir di dalamnya utusan dari Prancis, Spanyol, Inggris dan Amerika Serikat. Workshop itu diadakan untuk membantu parlemen menyelesaikan pembahasan revisi Undang-Undang Antiterorisme.
Philip Divett (staf program UNODC) mengatakan bahwa pemerintah harus menyelesaikan tugas kemanusiaan dengan menjamin kompensasi para korban dan mendukung gerakan deradikalisasi. Korban sebagai penyintas memiliki suara yang kuat untuk melawan ekstremis dan radikalisme.
“Mereka adalah pembawa pesan yang kuat dan orang-orang akan memperhatikan apa yang dikatakan mereka. Ketika para korban terorisme bersuara, orang-orang akan menyimaknya,†katanya. (AM)
Diterjemahkan dari artikel berita The Jakarta Post edisi 31 Maret 2017