Home Opini Perlindungan HAM Korban Terorisme
Opini - 18/05/2017

Perlindungan HAM Korban Terorisme

Bicara soal hak asasi manusia (HAM) hampir semua orang sepakat bahwa aksi terorisme merupakan salah satu bentuk pelanggaran berat di samping kejahatan perang, pembasmian etnis, atau juga penggunaan senjata kimia. Di Indonesia, rentetan aksi terorisme yang telah terjadi sejak tahun 2000 hingga kasus-kasus terbaru seperti teror Bom Thamrin dan Bom Samarinda tahun lalu sejatinya juga merupakan kasus pelanggaran HAM. Kelompok teroris begitu tega meledakkan bom di jalan raya, hotel, kawasan wisata, kafe, bahkan tempat ibadah, demi kepentingan politik mereka.

Aksi terorisme melahirkan para korban, yaitu masyarakat sipil yang tak tahu menahu tentang konflik yang dipersoalkan kelompok teroris. Di antara para korban ada yang sekadar lewat, nongkrong, mampir makan, atau sedang bekerja mencari nafkah di lokasi-lokasi kejadian teror. Ratusan korban telah meninggal dunia akibat serangan terorisme sementara ratusan lainnya mengalami penderitaan menahun akibat kejahatan luar biasa itu. Sebagian mereka mengalami cacat seumur hidup karena kehilangan anggota tubuh, sebagian lainnya mengalami luka psikologis yang hingga kini belum sepenuhnya dapat dipulihkan.

Derita akibat serangan teror tak berhenti di situ. Ketika serangan terorisme berhasil membunuh nyawa manusia, pada saat yang sama tercipta anak-anak yatim atau piatu yang kehilangan orang tuanya, tercipta keluarga yang kehilangan tulang punggungnya, tercipta kemiskinan -atau setidaknya ancaman kemiskinan- yang tersistem. Dari alasan ini kita mengetahui betapa terorisme adalah kezaliman dan merupakan bentuk pelanggaran HAM yang nyata.

Dalam perspektif Islam, manusia digambarkan oleh Al-Quran sebagai makhluk yang paling sempurna, mulia, serta terhormat. Bersandar dari pandangan kitab suci ini, perlindungan dan penghormatan terhadap HAM tidak lain merupakan tuntutan Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap pemeluknya. Dalam Islam, sebagaimana dinyatakan oleh pemikir muslim Abu al-A’la al-Maududi (1967), HAM adalah hak kodrati yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan atau pihak mana pun. Hak-hak yang diberikan tersebut bersifat permanen atau kekal.

Gagasan Islam tentang HAM berpijak pada konsep tauhid, yaitu pengakuan keesaan Allah yang tergambar dari ungkapan syahadat, la ilaha illa Allah, tiada tuhan/sesembahan selain Allah. Konsep ketauhidan mengandung inti persamaan dan persaudaraan seluruh manusia. Tauhid juga mencakup ide persamaan dan persatuan semua makhluk, benda tak bernyawa, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia. HAM merupakan standar normatif yang ditetapkan Allah atau dibuat manusia berdasarkan firman Allah untuk mengatur hubungan sesama manusia baik antarindividu, antarmasyarakat, maupun antarnegara. Pengakuan adanya hak asasi yang melekat pada diri setiap manusia bermakna pengakuan adanya kewajiban yang harus ditunaikan terhadap umat manusia.

Akan tetapi, dengan lihai para teroris justru mengklaim bahwa aksi teror yang mereka lakukan adalah tuntunan yang diajarkan dalam Islam. Mereka mengesampingkan fakta betapa Islam menganjurkan pemeluknya untuk menghormati umat agama lain. Yang mereka tonjolkan adalah ayat Alquran yang menganjurkan untuk membunuh kaum di luar Islam. Padahal, ayat-ayat suci Alquran selalu terkait dengan konteks sosial yang membingkai wacana tentang sebab ayat tersebut turun. Kelompok teroris tak pernah peduli akan aspek sosial kemasyarakatan setiap melancarkan serangan. Belakangan ini bahkan umat muslim yang berseberangan dengan pemahaman keagamaan mereka pun juga menjadi sasaran teror karena dinilai telah kafir.

Menimbang kekejaman terorisme yang melahirkan berbagai penderitaan korban mestinya membuat negara menyadari bahwa aspek perlindungan HAM korban teror wajib diperkuat. Memperkuat perlindungan HAM korban terorisme menurut hemat penulis adalah dengan menjamin hak-hak mereka sebagai korban aksi terorisme, yang diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, terpenuhi.

Dalam UU No. 15/2003, disebutkan bahwa korban terorisme berhak mendapatkan hak restitusi dan kompensasi. Restitusi, ganti rugi kepada korban yang dibayarkan oleh pelaku, hampir pasti tak dapat diharapkan. Mirisnya, hak kompensasi atau ganti rugi negara kepada korban karena gagal memberikan rasa aman, juga tak pernah terbayarkan sebab pemberian kompensasi menurut UU tersebut mensyaratkan adanya putusan pengadilan. Berdasarkan pengalaman Aliansi Indonesia Damai (AIDA), lembaga yang beperhatian terhadap korban terorisme, dari ratusan korban terorisme yang ada di Indonesia, mulai korban Bom Bali 2002 hingga korban Bom Thamrin 2016, belum ada satu pun yang mendapatkan kompensasi dari negara.

Hak-hak korban terorisme dalam UU No. 15/2003 yang terabaikan ini harus menjadi perhatian bersama seiring dengan adanya rencana revisi UU tersebut yang kini tengah digodok pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Selama hak kompensasi belum terbayarkan, selama itu pula negara menanggung hutang kepada para korban terorisme.

Sementara itu, hak-hak korban terorisme yang diatur dalam UU No. 31/2014 mencakup bantuan rehabilitasi medis, psikologis, dan psikososial. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU tersebut, telah mulai memberikan hak-hak kepada sebagian korban. Dari ratusan korban terorisme yang ada di Indonesia, LPSK baru dapat menjangkau puluhan di antara mereka disebabkan bermacam kendala, termasuk tentang assessment korban.

Menangani korban terorisme memang hal baru bagi LPSK mengingat selama ini lembaga tersebut lebih banyak mengurusi korban pelanggaran HAM berat. Dalam memberikan hak-hak kepada korban pelanggaran HAM berat, LPSK berdasarkan pada surat keterangan korban yang didapat dari Komnas HAM. Sementara itu, menghadapi korban terorisme LPSK terkesan kebingungan tentang siapa yang berwenang menentukan korban. Lembaga tersebut mengambil langkah hati-hati dalam melakukan penelusuran tentang korban sebab tak mau disalahkan dalam membelanjakan anggaran negara. Menurut hemat penulis, ke depan LPSK harus didukung untuk dapat menjangkau lebih banyak lagi korban terorisme sehingga negara benar-benar bekerja konstitusional dengan melaksanakan amanat UU.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *