Kepahlawanan Era Milenial
لـَيْـسَــتْ البُـطُـوْلَــةُ فِــْي هَــذَا الـزَمـَـانِ أَنْ يَـحْــمِـلَ اْلِإنْــسَــانُ سَــيْــفــاً
وَلَــكِــنَّ الـْـبُــطُــوْلـَـةَ الــحَــقِــيْــقـِـيَّــةَ أَنْ يَــحْــمِـــلَ الإِنْــسَــانُ ضَــمِــيْــراً
“Pahlawan masa kini bukanlah mereka yang mengangkat pedang. Pahlawan yang sejati ialah mereka yang memberikan jiwanya pada kemanusiaan.” Demikian bunyi sebuah pepatah Arab yang populer.
Bila dikaitkan dengan konteks keindonesiaan, kalimat bijak di atas mengingatkan kita akan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka, melepaskan diri dari jerat penjajahan asing. Perjuangan Bung Tomo bersama para pejuang dari berbagai elemen, termasuk kalangan santri, pada tanggal 10 November 1945 sering diimajinasikan sebagai puncak semangat kepahlawanan bangsa. Peristiwa yang disebut sejarawan MC Ricklefs dalam bukunya, The History of Modern Indonesia, sebagai the battle of Surabaya itu merupakan kulminasi dari keberanian bangsa menentang imperialisme asing, yang kemudian tanggal 10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan.
Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa di antara inspirasi arek-arek Suroboyo dalam pertempuran10 November adalah Resolusi Jihad, yang bersumber pada fatwa KH. Hasyim Asy’ari, Rais Akbar atau pemimpin tertinggi organisasi umat Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Dalam fatwanya, Kiai Hasyim menyebut wajib bagi bangsa Indonesia melakukan perlawanan demi mempertahankan daerah dan negara dari ancaman.
Sesuai bunyi pepatah Arab di atas, bahwa perjuangan pahlawan di masa lalu adalah dengan mengangkat senjata untuk mengusir penjajah, kini kita memasuki tantangan zaman yang berbeda. Tantangannya ke depan adalah bagaimana kita menjaga dan merawat perdamaian di tengah kebinekaan bangsa.
Tugas kepahlawanan masa kini ini tak kalah beratnya dibanding dengan pejuang-pejuang kita di masa lalu. Sebab, keutuhan kita sebagai sebuah bangsa diuji. Tidak jarang berbagai persoalan mengarahkan kita sesama anak bangsa saling berlawanan. Bila terlena hingga terjadi perpecahan, ancaman kehancuran ada di hadapan, dan bangsa asinglah yang diuntungkan dengan adanya situasi seperti itu.
Kebinekaan adalah yang mendasari kita, bahkan nenek moyang kita jauh sebelum Republik ini berdiri, untuk hidup bersama di wilayah Nusantara ini dengan saling menghormati, penuh kerukunan dan perdamaian. Nenek moyang kita menyadari bahwa kita adalah bangsa yang besar. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dicetuskan untuk menyatukan berbagai perbedaan yang melekat pada berbagai komunitas. Sikap penolakan (denial) terhadap perbedaan, oleh sebab itu, hanya akan membuat kita sengsara dan tidak membuat kita dewasa sebagai sebuah bangsa yang besar.
Membangun perdamaian di negara kita yang penuh kebinekaan ini oleh sebab itu, sesuai pepatah Arab di atas, adalah wujud nyata kepahlawanan di era milenial saat ini. Kesadaran akan pentingnya membangun perdamaian merupakan bagian dari membela hak-hak kemanusiaan. Karena, hanya melalui perdamaianlah hak-hak kemanusiaan bisa terwujud. Hal ini sejalan dengan pesan agama dan kitab suci, yaitu agar manusia menjadikan perdamaian sebagai prioritas utama dalam hidup.
Upaya membangun perdamaian dalam konteks masa kini telah dimulai oleh korban dan mantan pelaku terorisme yang berekonsiliasi. Berdasarkan pengalaman Aliansi Indonesia Damai (AIDA), mantan pelaku yang dahulu bergelut di dunia kekerasan kini telah menyadari kekeliruannya serta telah memohon maaf kepada korban. Para korban dengan segala kelapangan hati telah menghilangkan amarah, kebencian atau pun dendam, dan memilih untuk memaafkan mantan pelaku yang telah bertobat. Mereka, korban dan mantan pelaku, kini bersatu dan bersama-sama mengampanyekan perdamaian kepada khalayak luas.
Rekonsiliasi antara korban dan mantan pelaku terorisme bisa menjadi pembelajaran bagi kita betapa perdamaian tidak hanya kebutuhan setiap manusia, tetapi juga keniscayaan untuk membangun peradaban yang adihulung. Pahlawan perdamaian hari ini adalah mereka yang selalu mengajak kepada perdamaian dan upaya bina-damai yang berkelanjutan.
Ditulis oleh Fahmi Suhudi, mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta
Foto: Ilustrasi Muslim Milenial, Getty Images