Meneladani Nabi: Memaafkan Kesalahan Manusia
Oleh: Ahmad Hifni, alumnus Pascasarjana UIN Jakarta
إِنَّ اللَّهَ وَ مَلَئكتَهُ يُصلُّونَ عَلى النَّبىّ ِ يَأَيهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صلُّوا عَلَيْهِ وَ سلِّمُوا تَسلِيماً
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatNya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya” (QS. Al-Azhab: 56).
Ayat di atas merupakan anjuran bagi umat Islam agar senantiasa mengagungkan Nabi Muhammad Saw. Secara eksplisit ayat di atas merupakan landasan kita sebagai umat Nabi untuk senantiasa berselawat kepada beliau, utusan Allah Swt. yang membawa misi untuk membangun peradaban adiluhung, yaitu suatu peradaban yang mencita-citakan umat yang ber-akhlaq al-karimah, berilmu pengetahuan luas, dan menebarkan cinta-kasih serta kedamaian bagi sesama.
Sifat cinta-kasih Nabi itu tecermin dalam kepribadiannya yang tidak segan memberikan maaf kepada pihak-pihak yang pernah menyakiti, bahkan berniat membunuhnya. Dalam berdakwah beliau Saw. mengajarkan untuk senantiasa menghindari kekerasan dan mengedepankan perdamaian. Bahkan dalam keadaan sedang berperang sekalipun, menurut ulama tafsir Imam Fakhruddin al-Razi dalam kitab Mafātih al-Ghayb, Nabi mengatakan, “Aku tidak akan menggerakkan tanganku untuk tujuan membunuhmu, aku menggerakkan tanganku hanya sebatas melindungi diri dari ancamanmu.”
Dalam sejarahnya, Nabi kerap kali memperoleh perlakuan buruk dan ancaman dari pihak-pihak yang tidak menyukainya. Tak jarang cacian dan hinaan bahkan ancaman pembunuhan ditujukan kepada Nabi. Namun demikian, Nabi tidak pernah tebersit dendam di dalam hatinya untuk membalas perbuatan-perbuatan itu. Nabi lebih memilih memaafkan karena hanya melalui sikap lapang dada suatu perdamaian akan tercapai.
Dalam sebuah hadis disebutkan, Abdullah al-Jadali berkata,”Aku bertanya kepada Aisyah RA tentang akhlak Rasulullah Saw., lalu ia menjawab, ‘Beliau bukanlah orang yang keji (dalam perkataan maupun perbuatan), suka kekejian, suka berteriak di pasar-pasar atau membalas kejahatan dengan kejahatan, melainkan orang yang suka memaafkan” (HR Tirmidzi).
Dalam hadis lain, Hisyam bin Zaid bin Anas meriwayatkan: “Saya mendengar Anas bin Malik berkata, ‘Suatu kali seorang Yahudi lewat di dekat Rasulullah Saw. dan bukannya mengucapkan Assalamu’alaika, malahan mengucapkan asaamu’alaika, yakni ‘kebinasaan atas engkau’. Melihat perbuatan Yahudi itu, para sahabat bertanya kepada Rasulullah, ‘Haruskan kami membunuhnya ya Rasul? Beliau bersabda, “Tidak, jangan membunuhnya” (HR. Bukhari, Kitab Istitābatul Murtadin, hadis nomor 1269).
Sungguh Nabi Muhammad Saw. telah diberkati Allah Swt. untuk mengabdikan dirinya kepada umat manusia sebagai manusia yang menebarkan cinta kasih, sekali pun terhadap pihak yang membencinya.
Dalam Al-Quran Allah Swt. berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf, 7: 199)
Secara eksplisit ayat di atas menunjukkan bahwa menjadi pribadi pemaaf merupakan perintah Allah Swt kepada hamba-hambaNya. Maka dari itulah sikap dan perilaku Nabi mencerminkan seorang pemaaf sejati. Sikap memaafkan itu selain dapat mengosongkan diri dari rasa benci dan dendam, juga membebaskan pelaku dari perilaku buruknya sekalian mengajaknya memulai hidup tanpa dendam.
Dalam konteks mutakhir, keteladanan Nabi sebagai pribadi pemaaf tampak dalam spirit rekonsiliasi antara korban terorisme dan mantan pelakunya. Sebagai misal, Ni Kadek Ardani, seorang yang menjadi korban dalam Bom Bali II tahun 2005 silam, memilih memaafkan mantan pelaku teror meskipun harus kehilangan pekerjaan dan menderita luka di beberapa bagian tubuhnya. Begitu halnya dengan Sucipto Hari Wibowo, penyintas Bom Kuningan tahun 2004, Ni Luh Erniati, penyintas Bom Bali I tahun 2002, dan penyintas lainnya yang memilih memaafkan mantan pelaku terorisme daripada memendam rasa dendam.
Sikap memaafkan mantan pelaku teror yang ditunjukkan para penyintas patut diapresiasi setinggi-tingginya. Alasannya jelas, tidak hanya memaklumi kesalahan para pelaku dalam kasus terorisme, pemaafan sejatinya mengeyahkan rasa benci bahkan dendam atas kesalahan yang pernah dilakukan orang lain. Memelihara rasa benci atau dendam, apalagi diikuti hasrat membalas dendam berdampak tidak hanya akan menjauhkan kedamaian atau suasana harmoni, tetapi juga membuat pribadi menjadi lemah, payah, gelisah dan berpengaruh pada kondisi kejiwaan.
Ketika uluran tangan meminta maaf dan kelapangan dada untuk memberi maaf bertemu, maka yang terjadi ketika itu sesungguhnya dua pihak sedang mengulurkan cinta dan kasih. Maaf adalah cara luhur Nabi Muhammad untuk memulai kedamaian atau suasana harmoni dengan menguburkan rasa benci dan dendam. Maka dalam suasana Maulid Nabi ini, kita mendapatkan pembelajaran berharga dari Nabi, bahwa saling memaafkan dalam selimut cinta, sungguh merupakan sikap luhur menguburkan rasa dendam menuju suasana harmoni.