Ni Kadek Ardani, Bangkit dari Keterpurukan
ALIANSI INDONESIA DAMAI – Tragedi Bom Bali II yang terjadi pada 1 Oktober 2005 silam, menyisakan pilu bagi korbannya. Ni Kadek Ardani, salah seorang korban Bom Bali II mempunyai kenangan pahit yang tak pernah terlupakan. Dia tidak hanya mengalami luka berat di sebagian anggota tubuhnya, tetapi juga harus rela kehilangan pekerjaan, sumbernya menafkahi keluarga. Meskipun demikian, dengan semangat hidup yang tersisa, dia terus berjuang untuk bangkit dari keterpurukan.
Kadek menceritakan kisahnya itu pada kegiatan Dialog Interaktif bertema “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di SMAN 1 Sukoharjo Kabupaten Pringsewu, Lampung pada Kamis (8/11/2018). Kegiatan itu diselenggarakan oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Selain Kadek, pembicara dalam kegiatan itu adalah penyintas Bom Kuningan 2004, Sucipto Hari Wibowo, dan seorang mantan pelaku terorisme, Iswanto.

Dengan terbata-bata, Kadek menceritakan kepada para siswa peserta Dialog Interaktif ketika terdampak ledakan bom di tempatnya bekerja, sebuah restoran di tepi Pantai Jimbaran. Ledakan keras disertai serpihan logam itu mengakibatkan luka di beberapa bagian tubuhnya, di antaranya pipi, tangan, kaki, dan badan bagian belakang. Dia mengingat luka robek yang cukup lebar di bagian paha membuat darahnya bercucuran. Luka bakar di sebagian besar tubunya harus mendapatkan perawatan intensif selama berbulan-bulan.
“Saat kejadian, saya sedang bekerja melayani tamu di Menega Cafe. Begitu terjadi bom, saya kaget. Saya pegang pipi kiri saya sudah berdarah dan robek. Tubuh saya sebelah kiri juga berlumuran darah, tangan kiri juga berlumuran darah, kaki dan paha saya robek, saya masih dalam keadaan berdiri ketika itu,” tuturnya mengenang peristiwa.
Pasca peristiwa itu, berbulan-bulan Kadek merasa takut dan mengurung diri karena trauma yang amat dalam. “Setelah kejadian teror bom itu, saya mengurung diri, tidak mudah bergaul, tidak terbuka sama orang, takut keramaian, takut bepergian. Setiap pagi saya merasa ketakutan meskipun berada di dalam rumah,” jelasnya.
Kesedihan muncul saat Kadek menuturkan kisahnya. Suaranya terdengar lirih dan ucapannya terbata-bata. Sesekali ia menunda ceritanya untuk meredam kepedihan atau menyeka air mata. Sebagian siswa yang mendengar kisah itu menundukkan kepala. Kadek mengatakan, akibat peristiwa bom itu ia tidak bisa lagi bekerja untuk menafkahi keluarganya.
“Saya tidak bisa bekerja selama delapan bulan karena saya harus fokus dengan perawatan. Selama delapan bulan itu saya tanpa penghasilan. Tetapi, bagaimana pun juga saya harus menghidupi keluarga saya,” ucapnya.
Tak hanya itu, menurut Kadek, kehidupannya makin sulit ketika harus pulang-pergi ke rumah sakit dan mengonsumsi obat setiap hari. “Sepuluh bulan saya menjalani rawat jalan, lima bulan pulang-pergi rumah sakit, setiap hari minum obat. Saya juga menjalani konseling-konseling juga,” tutur Kadek.
Seiring waktu berlalu dan berkat dukungan keluarga serta orang-orang terdekatnya, Kadek berjuang untuk bangkit melawan keterpurukan akibat bom. Dia mengaku sempat takut bila mendatangi tempat kejadian Bom Bali II yang telah membuatnya terluka. Namun, tekadnya kuat untuk bangkit melanjutkan kehidupan dengan penuh optimisme. Ia kembali bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya. “Berkat dukungan keluarga dan rekan kerja, saya bisa kembali bekerja di Menega Cafe,” katanya.
Kadek menjadikan peristiwa itu sebagai pengalaman untuk bangkit dan berjuang menjalani kehidupan sebagaimana umumnya. Saat ini dia telah membuka usaha sendiri sebagai mata pencaharian. Ia berusaha semaksimal mungkin mencari nafkah dengan membangun warung kecil-kecilan. “Aktivitas saya saat ini, saya membuka sebuah warung kecil, warung sembako,” jelasnya.
Kadek tidak ingin kekerasan yang menimpa dirinya terjadi terhadap orang lain. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk bergabung menjadi Tim Perdamaian AIDA untuk kepentingan Indonesia yang lebih baik di masa depan. “Selain itu saya juga bergabung di Tim Perdamaian bersama AIDA menjadi duta perdamaian,” ujarnya mantap.
Kadek berpesan kepada siswa-siswa yang hadir dalam Dialog Interaktif, bahwa generasi muda bangsa harus menanamkan semangat ketangguhan. Karakter tangguh dalam diri pemudalah yang dapat membentuk mereka menjadi generasi yang berguna bagi bangsa dan negara. Selain itu Kadek juga menekankan agar jangan sampai setiap perbuatan kekerasan dibalas dengan kekerasan lainnya. Hal itu bukan saja bisa membuat kekerasan baru muncul, tetapi juga bisa menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
“Pesan saya kepada adik-adik semua, jadilah anak-anak yang tangguh, kuat, dan berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Jangan pernah membalas kekerasan dengan kekerasan,” pungkasnya.
Bersama AIDA, Kadek Ardani telah beberapa kali mengampanyekan perdamaian ke kalangan pelajar di sejumlah daerah di Tanah Air untuk berbagi inspirasi dan motivasi ketangguhan. Hal itu ia lakukan demi terciptanya tata kehidupan yang damai, aman dan tenteram di Indonesia. [AH]