Berbagi Semangat Ketangguhan di SMK NU Sunan Giri Malang
“Semua terlihat putih, saya kehilangan kesadaran. Saya merasakan seperti terbang. Setelah saya buka mata, semua putih, seperti kabut.”
Sucipto Hari Wibowo, Penyintas Bom Kuningan 2004
Aliansi Indonesia Damai- Itulah kisah yang diceritakan Sucipto Hari Wibowo, seorang penyintas aksi bom terorisme di Jl. HR Rasuna Said Kuningan, Jakarta Selatan pada 9 September 2004 silam. Ia membagi kisahnya dalam kegiatan Dialog Interaktif bertema “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di SMK NU Sunan Giri, Kepanjen, Kabupaten Malang, Jum’at, (8/3/2019).
Sucipto bercerita bahwa ia tak pernah menyangka akan menjadi korban bom. Saat kejadian ia tengah mengambil berkas penting yang ditugaskan oleh salah seorang pimpinan di kantornya. Pagi itu ia berkendara di jalur lambat Jl. HR Rasuna Said. Tanpa firasat apa pun, tiba-tiba ledakan sangat keras terjadi. Laju motornya pun menjadi oleng hingga terjatuh akibat ledakan itu meskipun ia berjarak sekitar 50 meter dari sumber ledakan. Ia mengaku sempat kehilangan kesadaran selama beberapa saat.
Ketika kesadarannya kembali, ia saksikan kehancuran yang luar biasa menimpa gedung, kendaraan, dan orang-orang yang ada di sekitar lokasi. Ia melihat beberapa orang yang tampak mengenaskan mengalami luka dan mengharap pertolongan. Ingin hati membantu para korban namun apa daya, ia sendiri juga terluka dan butuh pertolongan.
Meskipun merasakan sakit, ia memaksakan diri untuk melanjutkan tugas yang diamanatkan oleh kantornya. Motornya yang ringsek ia naiki kembali walau hanya gigi satu dan gigi dua yang bisa difungsikan.
“Sambil kesakitan, saya coba berdiri lagi. Motor saya sempat jatuh, koplingnya patah. Saya coba ingat kembali tugas saya dari kantor harus terlaksana untuk mengambil sebuah dokumen perusahaan. Kopling yang patah saya coba masukkan, ternyata bisa hingga gigi dua sampai tujuan,” kenang Sucipto.
Profesionalisme yang ia tunjukkan berbuah hasil. Tugas kantor bisa terlaksana dengan baik dan sesuai harapan. Sesampai di kantor, ia baru menceritakan kejadian yang menimpanya. Ia pun meminta izin untuk pulang lebih awal agar bisa beristirahat. Ia khawatir ledakan bom menimbulkan sesuatu hal negatif terjadi di tubuhnya.
Dampak ledakan bom mengakibatkan Sucipto sering mengalami sakit kepala yang tiba-tiba datang, tak terduga. Keluarganya pun mendorongnya untuk memeriksakan diri ke rumah sakit. Keesokan harinya ia berobat ke rumah sakit, dan berdasarkan hasil pemeriksaan medis, pria asal Mojokerto itu mengalami pembengkakan di gendang telinga dan terdapat beberapa kerusakan dalam jaringan sarafnya.
Segala pengalaman pahit itu ia ceritakan kepada siswa-siswi SMK NU Sunan Giri Kepanjen dengan harapan generasi muda memahami dampak aksi terorisme serta paham-paham keagamaan yang menyimpang. Sesuai tema kegiatan “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh”, Sucipto mengharapkan agar generasi siswa di sekolah tersebut –dan pelajar Indonesia secara umum– memiliki ketangguhan yang baik sehingga mampu terhindar dari ajakan-ajakan ke arah kekerasan, apalagi terorisme.
Di samping itu, ia juga berpesan agar kekerasan yang ditimpakan orang lain tidak perlu dibalas dengan kekerasan lainnya. Generasi muda yang tangguh, menurut dia, mesti mampu menahan diri dari nafsu membalas dendam. Sebaliknya, generasi muda harus mampu menghargai dan menghormati orang lain. “Pesan saya untuk adik-adik semua, mari kita saling menghargai dan menghormati sesama. Damai itu tangguh, jangan suka membalas kekerasan dengan kekerasan,” ucap Sucipto.
Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” juga menghadirkan narasumber lain dari unsur mantan pelaku terorisme, yaitu Iswanto. Pemuda asal Lamongan ini pernah bergabung dalam kelompok teroris internasional, yakni Jemaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan Alqaeda. Ia hadir untuk berbagi pengalaman dengan para siswa SMK NU Sunan Giri, agar mereka tidak terjerumus ke dalam kelompok kekerasan. Menurutnya, masa muda rentan tersusupi paham-paham yang ekstrem serta menyimpang dari ajaran agama yang sesungguhnya. Karena itu, ia berharap generasi muda saat ini bisa menghindari bahaya ekstremisme.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mengatakan kegiatan ini merupakan upaya dan sumbangsih AIDA untuk mengampanyekan perdamaian bagi generasi muda. Menurutnya, di dalam hidup tidak ada orang yang tidak punya masalah. Setiap orang pasti punya salah, tetapi orang baik adalah yang bisa belajar dari kesalahannya, kemudian mengadakan perbaikan ke depannya.
“AIDA sebagai lembaga yang concern dalam kampanye perdamaian, merasa terpanggil untuk kita semua mengantisipasi era keterbukaan ini dengan belajar dari kisah orang yang telah mengalami musibah. Alasannya, karena qadarullah sudah pasti terjadi, tetapi kita bisa siap apa yang mesti dilakukan, bahkan musibah yang terjadi tidak harus melahirkan musibah berkelanjutan,” kata dia. [MSH]