Menguatkan Komitmen Dunia Digital Ramah Anak
Oleh Fadhil Muhammad Pradana
Direktur Bentalangit Institute
Artikel ini terbit di kompas.id, edisi 11 Februari 2025
Di era digital yang terus berkembang pesat, anak-anak menjadi salah satu kelompok yang paling rentan terhadap berbagai risiko di ruang digital. Akses internet yang semakin mudah, penggunaan perangkat digital sejak usia dini, dan ketergantungan pada media sosial telah membuka peluang besar bagi anak untuk belajar dan berkreasi.
Namun, di balik peluang tersebut, tersembunyi ancaman yang tidak bisa diabaikan. Ancaman itu mulai dari paparan konten tidak pantas, eksploitasi seksual daring, perundungan siber, dan pelanggaran privasi data pribadi.
Menanggapi hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) berupaya membangun ruang digital yang ramah anak melalui pembentukan Tim Regulasi Perlindungan Anak di Ranah Digital. Tiga fokus utama tim ini adalah perlindungan data pribadi anak, pengawasan konten digital, dan penguatan literasi digital.
Baca juga Krisis Literasi Digital
Dunia digital bergerak dengan kecepatan yang luar biasa, sering kali melampaui kemampuan regulasi untuk mengikutinya. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan adaptif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk anak-anak sebagai subyek utama perlindungan.
Saat ini, tantangan ruang digital anak bukan lagi sekadar soal akses internet, melainkan bagaimana mereka mengelola interaksi di dalamnya. Algoritma media sosial, misalnya, dirancang untuk meningkatkan keterlibatan pengguna tanpa mempertimbangkan dampak psikologisnya pada anak. Platform digital yang seharusnya menjadi ruang belajar dan berekspresi justru berpotensi menjadi sumber tekanan mental, adiksi, dan pelanggaran privasi.
Di sisi lain, peran keluarga dan sekolah dalam pengawasan digital anak kerap terbatas. Banyak orang tua tidak memiliki literasi digital yang memadai untuk memahami risiko dunia maya, sementara kurikulum pendidikan belum sepenuhnya responsif terhadap tantangan era digital. Anak-anak dibiarkan belajar secara otodidak di dunia yang tidak sepenuhnya mereka pahami.
Regulasi vs implementasi
Kedua, pengawasan konten digital menghadapi tantangan besar di era algoritma yang sulit dikendalikan. Anak-anak terpapar konten yang mengandung kekerasan, pornografi, dan ujaran kebencian hanya dalam beberapa klik.
Filter otomatis yang ada di berbagai platform terbukti belum efektif. Sayangnya, regulasi yang ada masih berorientasi pada pemblokiran semata, tanpa strategi yang komprehensif untuk mencegah produksi dan distribusi konten berbahaya.
Ketiga, penguatan literasi digital bagi anak sering kali hanya menjadi slogan. Program literasi digital yang ada lebih banyak bersifat seremonial dan belum menyentuh esensi: membangun pola pikir kritis anak dalam menghadapi informasi digital. Literasi digital seharusnya bukan sekadar ajang pelatihan sesaat, melainkan bagian dari kurikulum pendidikan yang terintegrasi, melibatkan guru, orangtua, dan ekosistem pendidikan secara menyeluruh.
Gagasan baru dan strategi inovatif
Mewujudkan ruang digital ramah anak memerlukan lebih dari sekadar regulasi. Dibutuhkan ekosistem yang mendukung perlindungan secara menyeluruh. Salah satu pendekatan inovatif yang dapat diterapkan adalah konsep Child Centric Digital Design yang harus menjadi landasan dalam pengembangan platform digital.
Baca juga Bahaya Mengancam Anak di Ranah Daring
Prinsip ini sejalan dengan Konvensi Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menegaskan bahwa setiap kebijakan dan produk yang berdampak pada anak harus mengutamakan kepentingan terbaik mereka. Dengan kata lain, teknologi tidak hanya harus ramah anak secara permukaan, tetapi juga benar-benar memahami bagaimana anak berinteraksi, belajar, dan berkembang di dunia digital.
Namun, implementasi Child-Centric Digital Design masih menghadapi tantangan besar, terutama karena sebagian besar perusahaan teknologi lebih berfokus pada metrik profitabilitas. Algoritma media sosial, misalnya, dirancang untuk memaksimalkan screen time tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan mental anak.
Oleh karena itu, regulasi perlu mendorong platform digital untuk menerapkan prinsip safety by design, di mana fitur perlindungan, seperti kontrol privasi yang mudah dipahami, sistem pelaporan yang responsif, dan perlindungan data pribadi anak, diintegrasikan secara menyeluruh. Selain itu, melibatkan anak dalam proses desain sebagai co-creator dapat menjadi strategi inovatif untuk memastikan pengalaman digital mereka benar-benar mencerminkan kebutuhan dan perspektif mereka.
Dengan pendekatan ini, kita tidak hanya melindungi anak dari risiko dunia digital, tetapi juga memberdayakan mereka untuk menjadi pengguna digital yang cerdas dan bertanggung jawab.
Pembatasan usia pengguna
Pembatasan usia pengguna media sosial sering kali dipandang sebagai solusi sederhana untuk melindungi anak dari risiko dunia digital. Namun, kebijakan ini justru berisiko menciptakan ilusi keamanan. Realitasnya, banyak anak di bawah usia yang ditentukan tetap dapat mengakses platform tersebut dengan mudah melalui manipulasi data pribadi.
Alih-alih hanya mengandalkan batasan usia yang sulit diawasi secara efektif, pendekatan yang lebih kritis dan berdampak adalah mendorong platform media sosial untuk menerapkan desain yang ramah anak, memperkuat literasi digital sejak dini, serta meningkatkan peran orangtua dan pendidik dalam mengawasi aktivitas daring anak. Tanpa ekosistem pengawasan yang kuat, pembatasan usia hanyalah solusi semu di tengah kompleksitas tantangan ruang digital masa kini.
Lebih jauh lagi, pendekatan yang dilakukan tidak boleh hanya bersifat reaktif terhadap risiko, tetapi juga proaktif dalam membangun budaya digital yang sehat. Ruang digital yang benar-benar ramah anak bukan hanya soal melindungi mereka dari bahaya, melainkan juga memberdayakan mereka untuk menjadi warga digital yang cerdas, kritis, dan bertanggung jawab.
Baca juga Urgensi Pendidikan Perdamaian
Di era yang terus berubah ini, ketahanan anak adalah bentuk perlindungan terbaik. Dengan strategi yang komprehensif, inovatif, dan berbasis pada partisipasi aktif semua pihak, kita bisa memastikan bahwa ruang digital menjadi tempat yang aman, mendukung, dan memberdayakan bagi setiap anak Indonesia.