3 weeks ago

Urgensi Pendidikan Perdamaian

Oleh: Muhammad Saiful Haq
Lulusan Fakultas Psikologi Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Salah satu metode paling efektif untuk menanamkan karakter damai adalah pendidikan. Kombinasi antara pengajaran teoretis dan keteladanan praktis yang berlangsung intensif memungkinkan munculnya pemahaman perdamaian yang melekat kuat dalam diri peserta didik.

Dalam situasi kebangsaan kita yang sangat majemuk, salah satu aspek penting dalam pendidikan perdamaian adalah tenggang rasa atau toleransi. Mengapa? Karena eskalasi polarisasi sosial dan konflik antarkelompok yang dipicu oleh beragam persoalan terus meningkat.

Tenggang rasa dan toleransi merupakan kemampuan untuk menerima perbedaan dengan cara-cara yang baik dan menghargai perbedaan itu sendiri. Metode pembelajaran yang sistematis dapat menanamkan dasar-dasar untuk membangun hubungan sosial yang harmonis.

Baca juga Narasi Sebuah Bangsa Hebat

Banyak penelitian yang menemukan bahwa pendidikan toleransi di sekolah membuat orang dapat mengembangkan sikap baik dalam merespons perbedaan budaya, agama dan pandangan hidup. Orang mampu memahami sudut padang orang lain, berempati, open minded terhadap ide-ide baru, dan menyelesaikan masalah dengan damai.

UNESCO melalui program Global Citizenship Education (GCED) melaporkan, pendidikan toleransi dapat membangun generasi muda yang memiliki kemampuan membawa masyarakat ke masa depan yang lebih baik.

Menurut laporan tersebut, pendidikan toleransi menggabungkan prinsip-prinsip universal untuk mengembangkan keterampilan, nilai, dan sikap yang akan memungkinkan peserta didik untuk menghormati orang lain, memiliki rasa kemanusiaan yang setara, mengambil peran menyelesaikan tantangan global, serta berkontribusi pada dunia yang lebih damai, toleran, dan inklusif.

Baca juga Di Balik Ambruknya Rezim Al-Assad di Suriah

Experiential learning ala AIDA

Pendekatan berbasis pengalaman (experiential learning) dapat digunakan sebagai metode pendekatan pendidikan toleransi. Dengan menggunakan cerita langsung dari korban kekerasan atau mantan anggota kelompok ekstremisme, misalnya. AIDA cukup lama mempraktikannya. Dalam safari perdamaiannya, AIDA senantiasa menghadirkan korban dan mantan pelaku terorisme yang telah Insaf untuk berbagi kisah pengalaman masa lalu hingga kehidupannya kini.

Kisah kedua sosok ini menjadi pemantik siapa pun untuk terlibat membangun masyarakat yang inklusif dan toleran. Hal ini bukan cita-cita semata, karena tidak jarang para peserta menyampaikan perasaan empati kemanusiannya setelah mendengarkan kisah korban dan mantan pelaku terorisme.

“Saya belajar untuk jangan menilai sesuatu dari luar saja, jangan menyerah, selalu berbuat baik terhadap sesama, dan terima segala cobaan yang ada,” ujar salah seorang peserta dalam kampanye perdamaian di SMAN 1 Terara, Lombok Timur.

Baca juga Pendidikan sebagai Seni Pembudayaan

Ungkapan di atas hanya salah satu contoh dari beberapa pemahaman baru yang tumbuh pada generasi muda setelah berpartisipasi dalam pendekatan experiential learning sebagai upaya pendidikan toleransi. Tidak hanya empati, peserta didik memahami tentang dampak negatif dari perilaku diskriminasi dan intoleransi kepada orang lain.

Tidak hanya dalam isu ekstremisme berbasis kekerasan, isu-isu lain juga yang dapat digunakan seperti hak asasi manusia, kemajemukan sosial, dan keadilan bagi semua. Syaratnya dalam pendidikan toleransi peserta didik mau untuk berpartisipasi aktif. Metode ini diharapkan menghilangkan prasangka yang sering kali menjadi penghalang utama untuk membangun hubungan yang sehat, serta meningkatnya respons positif terhadap keberagaman dan menyadari akan pentingnya penyelesaian konflik tanpa kekerasan.

Tripusat pendidikan toleransi

Ki Hajar Dewantara pernah menyebutkan istilah tripusat pendidikan. Menurut bapak pendidikan nasional tersebut, mendidik anak harus dilakukan secara integratif antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiga unsur inilah disebut sebagai tripusat pendidikan.

Sebagai pusat pendidikan utama, Ki Hajar menyatakan bahwa keluarga bertanggung jawab atas pembentukan etika, agama, dan perilaku sosial anak. Sekolah sebagai lingkungan pendidikan kedua memberikan pembinaan intelektual dan ilmu pengetahuan. Masyarakat sebagai lingkungan ketiga berperan dalam mengembangkan kecerdasan intelektual, budi pekerti, ilmu agama, dan sosial anak.

Baca juga Catatan Guru untuk Melajukan Pendidikan Indonesia

Penulis mengamini pandangan Ki Hajar. Pasalnya keberhasilan pendidikan toleransi tidak hanya bergantung pada kurikulum sekolah. Keluarga dan masyarakat juga berperan besar dalam menanamkan sikap toleran.

Banyak riset psikologi yang menunjukkan bahwa lingkungan masyarakat dan keluarga sebagai variabel penting dalam tumbuh kembang toleransi pada anak. Misal riset berjudul Raising Tolerant Attitude to Children yang dilakukan Daviq Chairilsyah pada tahun 2019. Riset ini menunjukkan bahwa pembentukan sikap toleransi sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga yang mendukung keberagaman dan pola asuh yang menekankan empati. Selain keluarga, ada juga teman sebaya dan lingkungan masyarakat yang mendukung sikap positif, memberikan dukungan aktualisasi diri, dan rasa aman.

Baca juga Trauma dan Potensi Kekerasan yang Meluas

Uraian di atas menunjukkan bahwa pendidikan toleransi harus menjadi usaha kolektif yang membutuhkan waktu yang panjang. Walhasil semua pihak, mulai dari pendidik, pembuat kebijakan, dan figur terdekat harus berkolaborasi dan berkomitmen mengajarkan nilai-nilai toleransi kepada generasi muda.

Kita tidak hanya membuat orang lebih berempati dan inklusif, tetapi juga membantu memperbaiki dunia. Tak sekadar melahirkan generasi yang mampu menghargai perbedaan, namun juga mendukung perdamaian dalam kehidupan bangsa dan dunia.

Baca juga ”Golden Period” Perang Israel-Iran

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *