Generasi Tangguh Itu Memaafkan dan Cinta Damai
Suasana menjadi hening. Seorang siswi tampak menahan tangis. Tetes air mata membasahi pipi, sesekali ia mengusapnya. Dia mengatakan, “Saya menangis karena membayangkan apabila musibah itu menimpa saya apakah saya bisa setangguh Pak Iwan dalam menghadapi dan melaluinya.”
Pelajar berkerudung itu mengungkapkannya setelah mendengarkan kisah Iwan Setiawan, penyintas aksi teror Bom Kuningan 2004, dalam kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di sekolahnya, SMAN 1 Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, akhir September lalu. Ia merasa bangga berkesempatan mengikuti kegiatan tersebut dan bertemu dengan Tim Perdamaian yang terdiri dari korban dan mantan pelaku aksi terorisme. Menurutnya, korban dan mantan pelaku memiliki pengalaman hidup luar biasa. “Dari kisah mereka saya mendapatkan pembelajaran berharga yaitu sebagai manusia harus saling memaafkan dan jangan membalas kekerasan dengan kekerasan,” tandasnya.
Sebelumnya, dalam kegiatan itu Iwan berbagi pengalaman hidupnya saat mengalami luka akibat ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta 12 tahun silam. Saat kejadian, dia sedang mengantar istrinya periksa kandungan ke sebuah klinik. Singkat cerita, sebuah mobil berisi bom meledak saat Iwan dan istri melintas. Akibat aksi teror itu dia kehilangan indra penglihatan sebelah kanan.
Dialog Interaktif di SMAN 1 adalah bagian dari rangkaian safari kampanye perdamaian Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Tasikmalaya. Kegiatan serupa juga diselenggarakan di empat sekolah lain di kota bordir ini. Selain Iwan, tiga penyintas terorisme lainnya turut berbagi semangat perdamaian kepada para tunas bangsa. Mereka adalah Didik Hariyono, Atot Ruhendar, keduanya korban Bom JW Marriott 2003, dan Sutarno, korban Bom Kuningan 2004. Di samping penyintas, hadir pula mantan pelaku aksi terorisme yang membagi pengalamannya, yaitu Iswanto.
Didik menceritakan dirinya terkena ledakan bom tatkala sedang berjalan kaki menuju tempatnya bekerja. Ia terhempas beberapa meter karena kuatnya ledakan. Dari peristiwa itu dia mengalami patah tulang dan luka bakar di hampir semua bagian tubuh. Dia terbaring selama 11 bulan menjalani pengobatan di rumah sakit. Ia pun harus kembali belajar berjalan, belajar makan, belajar berbicara, menulis dan menggeggam sesuatu. “Saya belajar kembali seperti bayi, akibat kelamaan terbaring di rumah sakit otot-otot saya jadi mengecil,” ujar Didik di SMAN 7 dan SMA Al-Muttaqin.
Dampak yang hampir sama dialami oleh Atot. Dia mengalami luka bakar 30 persen dan menjalani perawatan di rumah sakit selama enam bulan. Saat kejadian, dia sedang menjamu tamu rekanan tempatnya bekerja. “Ketika hendak duduk tiba-tiba terdengar ledakan keras dan kita tersambar api. Dengan kondisi tubuh terbakar dan berlumuran darah saya menuju lobi hotel untuk mencari pertolongan,” kisahnya di SMAN 2.
Sementara itu, Sutarno mengalami trauma karena terkena “hujan kaca” efek dari ledakan Bom Kuningan 2004. Akibat runtuhan kaca dari sebuah gedung, punggungnya terluka dan mendapatkan sejumlah jahitan. Meski cedera, Sutarno tak menyerah dengan keadaan. Dia selalu optimis menjalani tantangan hidup. Bahkan, kini di usianya yang tak lagi muda dia melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi untuk mengejar cita-cita, menjadi seorang guru. “Saya berusaha sebisa mungkin harus bisa kuliah. Adik-adik juga harus semangat belajar,” kata dia di SMAN 3.
Betapa pun besar musibah yang dialami, para korban tidak dendam dan larut dalam keterpurukan. Mereka sudah ikhlas menerima takdir Tuhan Yang Maha Kuasa, bangkit bahkan juga memaafkan mantan pelaku. “Kita jangan pernah membalas kekerasan dengan kekerasan karena tidak akan ada hentinya. Saya sudah memaafkan mantan pelaku dan berharap mereka kembali ke jalan perdamaian,” tutur Didik.
Melengkapi kisah korban, mantan pelaku aksi terorisme, Iswanto, juga berbagi pengalaman kepada para siswa peserta Dialog Interaktif tentang masa lalunya saat terjerumus ke dalam kelompok prokekerasan. Dia direkrut oleh gurunya kemudian didoktrin bahwa makna jihad hanya sebatas perang, amar makruf nahi mungkar ditegakkan dengan cara kekerasan, serta ditanamkan kebencian terhadap non-muslim.
“Namun, salah satu faktor yang menyadarkan saya untuk keluar dari kelompok ekstremisme juga guru saya. Jadi, dari guru saya ikut kelompok itu dan dari guru saya itu juga akhirnya saya tinggalkan jalan kekerasan,” ucapnya.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi, mengatakan kisah Tim Perdamaian diharapkan dapat menginspirasi generasi muda bangsa untuk tak membalas kekerasan dengan kekerasan, serta ketidakdilan tak semestinya dibalas dengan menciptakan ketidakadilan lainnya.
Seorang peserta Dialog Interaktif di SMAN 1 menyimpulkan makna generasi tangguh dari kisah Tim Perdamaian. “Sesungguhnya seorang yang tangguh adalah yang mau memaafkan kesalahan orang lain, dan mengakui kesalahan serta mencoba untuk memperbaikinya sehingga ke depan bisa menjadi pribadi yang lebih baik,” ujarnya. [AS]
*Artikel ini pernah dimuat di Newsletter AIDA “Suara Perdamaian” edisi XI Januari 2017.