Home Inspirasi Aspirasi Damai Rahmat Bagi Seluruh Alam
Aspirasi Damai - 08/08/2018

Rahmat Bagi Seluruh Alam

Dok. Pribadi

 

Kemajuan peradaban bangsa yang majemuk, seperti Indonesia, akan terwujud bila kekayaan budayanya dipertahankan. Itulah yang saya yakini sebagai sebuah prinsip kehidupan. Indonesia adalah bangsa yang besar dengan beragam suku, bahasa, agama, dan adat istiadat. Kebinekaan budaya tersebut bisa menjadi anugerah bila bangsa Indonesia menyikapinya secara positif. Sebaliknya, itu akan menjadi sumber perpecahan jika tidak dipelihara dengan baik.

Saya merasa ditakdirkan untuk menyaksikan fakta keberagaman bangsa Indonesia itu. Saya lahir di Medan, Sumatera Utara dengan latar belakang kesukuan Batak serta nama marga Simatupang. Meskipun kebanyakan orang bermarga Simatupang adalah nonmuslim, saya sendiri meyakini Islam sebagai agama yang menuntun saya ke jalan kebenaran. Secara rutin dalam periode waktu tertentu keluarga besar kami berkumpul untuk merekatkan silaturahmi dengan suasana yang rukun dan damai.

Sejak kecil saya dididik oleh orang tua untuk menghormati keyakinan serta menghargai peribadatan umat agama lain, baik dalam keluarga besar Simatupang maupun di masyarakat secara umum. Secara bersamaan orang tua menekankan kepada saya untuk selalu mengingat kewajiban sebagai seorang muslim, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan amalan peribadatan lainnya. Pada intinya yang saya resapi dari didikan orang tua saya adalah bahwa menjadi seorang muslim tidak lantas membatasi diri saya untuk bersikap baik kepada orang yang memeluk agama lain.

Di bangku sekolah saya diajarkan oleh guru saya bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, artinya menjadi rahmat atau kasih sayang bagi semua penghuni alam semesta. Dari banyak nasihat yang ditanamkan oleh orang tua dan guru, saya belajar untuk menerapkan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan saya agar bisa dirasakan juga oleh orang yang belum mengenal Islam.

Ketika masih bersekolah di SMA Negeri 5 Medan saya bergaul dengan teman-teman dari beragam agama. Perbedaan agama tidak membatasi saya untuk menjalin pertemanan. Selama teman itu baik, saya juga selalu bersikap baik kepada dia. Saya ingat hadis Nabi yang pernah disampaikan oleh guru saya, yang menyebutkan bahwa seorang muslim yang baik adalah yang tidak menimpakan gangguan kepada orang lain baik dengan lisan maupun tangannya.

Saya punya pengalaman menginap di rumah seorang teman nonmuslim saat SMA. Di sana saya disambut dengan baik oleh keluarganya. Tidak saya sangka bahkan keluarga teman tersebut menyiapkan tempat yang cukup baik bagi saya untuk shalat. Waktu itu saya merasa terhormat sebagai seorang muslim diperlakukan sangat baik di rumah seorang nonmuslim. Di lain kesempatan saat ada teman nonmuslim yang menginap di rumah saya, keluarga saya juga memperlakukan teman saya itu dengan baik. Saat bertepatan dengan hari Minggu, saya mengingatkan dia untuk beribadah ke gereja.

Kini, ketika saya kuliah di Universitas Brawijaya (UB) di Malang, Jawa Timur, saya berusaha melanjutkan tradisi hidup rukun dan damai dengan orang lain meskipun berlainan agama. Saya ingin menunjukkan bahwa Islam itu rahmat bagi semesta alam kepada teman-teman saya di kampus. Saya menekankan prinsip seperti yang disebutkan dalam Alquran, “bagimu agamamu dan bagiku agamaku sendiri” dalam masalah keyakinan. Di luar itu dalam urusan sosial saya menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan sesama mahasiswa UB.

Saya pernah mengontrak rumah bersama teman-teman sekampus di mana sebagiannya adalah nonmuslim. Baik kami yang muslim maupun beberapa teman yang nonmuslim sama-sama saling menghormati keyakinan masing-masing. Di antara kami tidak pernah terjadi perselisihan yang diakibatkan dari perbedaan agama.

Kami juga beberapa kali berdiskusi tentang isu-isu keagamaan yang menghangat belakangan. Di situ kami membahas maraknya ujaran kebencian terhadap umat agama tertentu di media sosial dengan memakai ayat-ayat dalam kitab suci. Saya mencoba menjelaskan semampu saya kepada teman-teman saya yang nonmuslim bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan, justru sebaliknya agama ini menganjurkan perdamaian di antara umat manusia. Saya menekankan kepada teman-teman saya untuk tidak mudah terprovokasi dan terpecah belah oleh orang yang tidak senang dengan persatuan.

Negara kita, Indonesia, berdiri kokoh dari Sabang sampai Merauke sampai saat ini karena adanya persatuan di antara bangsanya. Persatuan dalam arti semangat seluruh warga dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Perbedaan memang suatu keniscayaan dalam bangsa yang besar ini, dan itu harus kita pandang sebagai kekayaan budaya, bukan sebaliknya, sumber konflik dan perpecahan.

Saya bersyukur bisa beranjak dewasa hingga menginjak 21 tahun saat ini dan merasakan nikmat kebahagiaan. Bahagia karena saya tumbuh besar di lingkungan masyarakat yang plural di mana warganya hidup rukun berdampingan. Saya yakin setiap orang di lingkungan saya tinggal –baik di Medan maupun Malang- pasti menyadari bahwa ada beberapa hal yang secara tegas sangat bertolak belakang dalam urusan agama. Akan tetapi, kami menyikapinya dengan mengungkapkan, “Kita boleh saja tidak bersaudara di dalam satu akidah tapi kita tetaplah bersaudara di dalam kemajemukan bangsa ini”. Dengan penyikapan seperti itu sehingga terbentuklah nilai toleransi di antara saya, dia, mereka, hingga menjadi KITA.

Sebagai generasi muda saya mengajak kepada teman-teman sesama muslim untuk merenungi makna agama kita yang rahmatan lil alamin. Allah SWT bersabda dalam Surat Al-Anbiya ayat 107, “Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.” Nabi Muhammad SAW, panutan kita dalam memeluk agama ini, dihadirkan di dunia ini untuk menebarkan kasih sayang kepada semua makhluk.

Setelah berhijrah dari Mekah ke Madinah, beliau memimpin masyarakat untuk membangun peradaban. Di sana tidak hanya umat muslim yang beliau libatkan tetapi umat agama lain yang minoritas juga diikutkan untuk bersama-sama membangun Madinah agar peradabannya menjadi maju. Saat terjadi penaklukan kota Mekah, Nabi Muhammad tidak menganjurkan umatnya untuk membantai orang-orang kafir yang ada di Mekah. Beliau malah mengampuni dan menjamin keselamatan warga Mekah. Artinya, agama kita secara tegas menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian dan toleransi. Semangat rahmatan lil alamin seperti inilah yang harus kita tanamkan dalam diri kita sebagai generasi muda yang menjadi tumpuan masa depan Indonesia.

 

 

Oleh: Muammar Sazaly Simatupang, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Brawijaya