Home Berita Sudut Pandang Korban dalam Liputan Isu Terorisme
Berita - 09/08/2018

Sudut Pandang Korban dalam Liputan Isu Terorisme

Wayan Leniasih, korban Bom Bali 2002, menyampaikan kisahnya dalam Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme Bagi Insan Media di Surabaya (10/7/2018).
Dok. AIDA – Wayan Leniasih, korban Bom Bali 2002, menyampaikan kisahnya dalam Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme Bagi Insan Media di Surabaya (10/7/2018).

 

Situasi keamanan mencekam sempat dirasakan warga Surabaya pada Mei lalu. Serentetan aksi bom bunuh diri meledak di beberapa sudut metropolitan terbesar kedua di Indonesia itu. Para wartawan lantas bergegas memberitakan informasi paling mutakhir seputar kejadian teror.

Sesaat setelah kejadian fokus kebanyakan jurnalis tertuju pada perspektif peristiwa, informasi dasar tentang apa, di mana, kapan, serta siapa terkait aksi teror itu. Acap kali pemberitaan isu terorisme di media memberikan porsi yang lebih banyak untuk ulasan mengenai pelaku, sementara sudut pandang korban minim dimunculkan.

Pertengahan Juli lalu puluhan wartawan media massa nasional dan lokal di Surabaya mengikuti Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme bagi Insan Media. Kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bertujuan untuk meningkatkan kesadaran bersama akan pentingnya pengarusutamaan sudut pandang korban dalam pemberitaan isu terorisme.

Hadir dalam kegiatan itu mantan anggota Dewan Pers dan pendiri Indonesia New Media Watch, Agus Sudibyo. Dia menyampaikan materi terkait pedoman peliputan isu terorisme. Bila kurang berhati-hati, kata dia, liputan media tentang aksi terorisme bisa memperbesar efek ketakutan yang ditimbulkan di masyarakat.

Selain itu, siaran langsung (live) aksi teror di televisi bisa dimanfaatkan oleh teroris untuk menggagalkan operasi kontrateror aparat keamanan. Agus mencontohkan kasus serangan teror di Mumbai pada 2008 di mana gerak gerik aparat saat mencoba melumpuhkan para teroris yang menyandera ratusan orang di dalam Hotel Taj Mahal Palace disiarkan secara real-time di televisi. Media televisi tidak menyadari bahwa siaran langsung mereka sangat membantu para teroris untuk mengantisipasi langkah aparat. Hasilnya, sejumlah aparat anggota squad antiteror India meregang nyawa sia-sia setelah berusaha memasuki hotel. Para teroris bahkan mampu bertahan menduduki hotel dan menyandera ratusan orang, puluhan di antaranya adalah warga negara asing, selama 4 hari sebelum akhirnya dilumpuhkan.

Insiden di Mumbai menurut Agus menjadi contoh terbaik bagaimana di antara media dan terorisme bisa terbentuk simbiosis mutualisme. Media membutuhkan peristiwa yang luar biasa, pada saat yang bersamaan kelompok teroris menginginkan publikasi yang luas. Dia menekankan kepada para peserta untuk memahami persoalan ini sehingga liputan berita yang dikerjakan tidak menguntungkan para pelaku teror.

Dosen ilmu komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Hanif Suranto, dalam kegiatan tersebut menunjukkan kepada peserta contoh-contoh pemberitaan isu terorisme di media televisi nasional. Pada awal tahun 2000-an, kata dia, liputan aksi teror di TV nasional bayak menampilkan sisi sadisme dari aksi teror yang terjadi. Liputan kasus bom buku di Jakarta pada Selasa (15/3/2011), misalnya, menampilkan saat-saat ketika tangan seorang polisi terluka dengan kondisi mengenaskan akibat ledakan bom. Pemberitaan insiden bom di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton Solo pada Minggu (25/9/2011) juga serupa. Media TV menampilkan ceceran darah di lokasi kejadian meskipun mengaburkan gambar jasad pelaku yang terburai isi perutnya.

Liputan-liputan tersebut, kata Hanif, kurang mengindahkan etika jurnalisme. Mantan wartawan tersebut juga menampilkan video liputan aksi terorisme yang memiliki perspektif lebih positif. Di antaranya adalah liputan aksi terorisme di Jl. MH Thamrin Jakarta Pusat pada Kamis (14/1/2016) yang dibuat oleh NET di mana perspektif korban mulai muncul. Dalam liputan itu seorang korban Bom Thamrin, Andi Dina Noviana, diwawancara terkait dampak fisik dan psikis dari aksi teror Bom Thamrin.

Memunculkan perspektif korban dalam peliputan isu terorisme, menurut Hanif, memiliki nilai lebih, tidak sekadar melaporkan fakta bahwa telah terjadi aksi teror bom. Dengan mengangkat perspektif korban liputan media dapat mendorong pemerintah untuk memenuhi hak-hak korban. “Kawan-kawan jurnalis juga bisa menyuarakan ke publik bahwa ternyata dari penelusuran AIDA ditemukan fakta sebagian besar korban bom di Indonesia belum mendapatkan kompensasi yang mestinya diberikan Negara,” ujarnya.

Selain materi tentang jurnalisme dari Agus dan Hanif, para peserta mendapatkan pengayaan pengetahuan tentang peta jaringan dan strategi media kelompok teroris yang disampaikan oleh peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Solahudin. Peserta juga menyimak kisah korban terorisme, yaitu Zaidin Zaenal (korban Bom Kuningan 2004) dan Wayan Leniasih (korban Bom Bali 2002). Tim Perdamaian AIDA, yaitu gabungan antara penyintas dan mantan pelaku terorisme yang telah menjalin rekonsiliasi, juga berbagi kisah dalam kegiatan. Mereka adalah Albert Christiono (penyintas Bom Kuningan 2004) dan Ali Fauzi Manzi (mantan anggota kelompok teroris). [MLM]