Refleksi Idul Fitri: Belajar Pemaafan dari Korban Terorisme
Suara Pembaruan – Hari raya Idul Fitri senantiasa dirayakan secara gegap-gempita oleh seluruh umat Islam. Tidak hanya karena momen ini menempati posisi puncak peribadatan penuh makna dan sarat perjuangan panjang; berpuasa selama satu bulan penuh. Lebih daripada itu karena Idul Fitri identik dengan tradisi saling memaafkan di antara seluruh umat manusia, halal bihalal.
Pada tahap tertentu, bulan puasa dapat disebut sebagai pengantar menuju momen puncak ini yang juga dikenal dengan sebutan hari kemenangan. Mengingat bulan puasa identik dengan ampunan dan pemaafan. Barangsiapa berpuasa di Bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni segala dosanya yangterdahulu (man shama ramadhan imanan wah tisaban ghufira lahu ma taqaddama min zanbihi), demikian bunyi salah satu Hadis Nabi yang sering kita temukan pada bulan puasa.
Oleh karenanya, dimensi kemenangan yang tersemat dalam Hari Raya Idul Fitri sesungguhnya tak tak dapat dilepaskan dari kelapangan jiwa untuk saling memaafkan yang membutuhkan adanya pengakuan dosa di satu sisi, dan pemaafan atas dosa-dosa yang ada di sisi yang lain. Dengan kata lain, kemenangan yang dirayakan pada Hari Raya Idul Fitri adalah kememnangan budaya saling memaafkan dan kasin sayang di atas budaya kekerasan dan saling bermusuhan.
Proses pemaafan
Setidaknya ada tiga tahapan yang ditekankan oleh para ulama untuk mendapatkan ampunan dan pemaafan, baik dalam konteks dosa-dosa kepada Allah maupun kepada manusia. Pertama, proses pengakuan dosa. Tahapan ini sangat mendasar karena pengakuan dosa akan menuntun yang bersangkutan untuk melakukan tahapan-tahapan berikutnya. Barangsiapa yang tidak mengalami tahapan ini hampir dipastikan tidak akan maju ke tahap berikutnya.
Pengakuan akan dosa adalah kesadaran dari seseorang akan kesalahan-kesalahan yang dilakukan. Dengan adanya kesadaran ini, seseorang dengan sendirinya akan terdorong untuk maju ke tahap-tahap berikutnya.
Oleh karenanya, tahapan pertama ini dapat disebut sebagai garis insaf. Mereka yang berada di balik garis ini adalah orang-orang yang terus melakukan dosa-dosanya. Sedangkan orang yang berada di depan garis ini bisa jadi masih dalam keadaan penuh dosa, tapi kesadaran yang ada akan dosa-dosanya terus membawa yang bersangkutan maju menuju pertaubatan dan mendapatkan ampunan.
Kedua,proses permohonan maaf. Tahapan ini selangkah lebih tinggi dibanding tahapan pertama di atas. Dengan adanya pengakuan dan kesadaran akan dosa, seseorang akan meminta maaf atas dosa-dosa yang dilakukan.
Dalam konteks dosa sesama manusia, permohonan maaf bisa dilakukan secara langsung kepada pihak yang telah dizalimi atau diambil hak-haknya. Sedangkan dalam konteks dosa kepada Allah, permohonan maaf dilakukan dengan membaca kalimat istighfar (astaghfirullah) yang berarti meminta ampunan kepada Allah.
Ketiga,mendapatkan ampunan ataupun pemafaan. Ini adalah tahapan vonis bagi seseorang yang mempunyai dosa, baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia. Disebut vonis, karena orang yang telah mengakui akan dosa-dosanya dan meminta maaf bisa mendapatkan ampunan, tapi juga bisa sebaliknya; tidak mendapatkan ampunan. Dalam konteks dosa-dosa antara sesama manusia, orang yang telah dizalimi mempunyai hak prerogatif apakah akan memberikan ampunan ataupun tidak. Begitu juga dengan dosa-dosa kepada Allah.
Mediasi dan Rekonsiliasi
Dalam beberapa tahun terakhir, Aliansi Indonesia Damai (AIDA) sebagai lembaga yang konsern dengan kampanye perdamaian melalui kisah korban aksi terorisme dan mantan pelaku terorisme melakukan penempaan hubungan antara keduanya. Dari penempaan hubungan yang ada, AIDA melakukan langkah-langkah mediasi dan rekonsiliasi. Hingga akhirnya mereka sampai pada tahap saling memaafkan dan menjadi satu tim yang disebut dengan istilah Tim Perdamaian.
Dari kalangan korban, sebagian dari mereka adalah korban Bom Bali pada tahun 2002 dan 2005, sebagian lainnya dari korban aksi ledakan bom di depan kedutaan Australia di Jakarta (disebut Bom Kuningan) pada tahun 2004 dan sebagian lagi dari korban bom di hotel JW Marriott pada tahun 2003 dan 2009. Sedangkan dari mantan pelaku, sebagian dari mereka pernah terlibat dalam jaringan terorisme di tingkat Asia dan konflik lokal di Indonesia.
Persis sebagaimana tahapan pemaafan di atas, proses saling memaafkan di antara korban aksi terorisme dan mantan pelaku terorisme membutuhkan proses dan hal-hal strategis lain yang tak mungkin disampaikan di sini semua. Salah satunya adalah adanya keberanian untuk mengakui dosa-dosanya (bagi mantan pelaku), walaupun dosa-dosa tersebut tidak bersifat langsung terhadap korban yang sedang dihadapi dalam proses rekonsiliasi.
Pun demikian dari kalangan korban. Proses pemaafan membutuhkan keberanian untuk menerima permohonan maaf dari mantan pelaku. Proses ini tidaklah mudah mengingat para korban harus mengalami pelbagai macam penderitaan akibat aksi terorisme yang ada, mulai dari cidera permanen, luka-luka hingga kehilangan orang-orang tercinta yang menjadi korban meninggal akibat aksi terorisme yang ada.
Ada beberapa pengakuan yang penting diperhatikan terkait proses pemaafan yang terjadi. Salah satunya adalah pengakuan dari sebagian mantan pelaku yang menegaskan bahwa upaya rekonsiliasi seperti dilakukan AIDA sejatinya dilakukan secara langsung oleh para mantan pelaku itu sendiri. Mengingat rekonsiliasi dan permohonan maaf secara langsung kepada para korban adalah kepentingan mereka sendiri untuk mendapatkan pemaafan dari para korban. Pernyataan seperti ini menunjukkan adanya kesadaran yang sangat kuat dari mantan pelaku tersebut akan dosa-dosanya sekaligus pengetahuan terkait tahapan-tahapan pemaafan yang harus dilalui, sebagaimana di atas.
Sedangkan dari kalangan korban ada yang mengakui bahwa mereka bisa memaafkan mantan pelaku karena memaafkan adalah hal yang sangat manusiawi. Sebagai manusia, seseorang pasti pernah melakukan dosa. Dosa membutuhkan pemaafan dan ampunan. Maka memaafkan adalah hal yang manusiawi dilakukan. Bahkan ada korban yang menyatakan sudah memaafkan mantan pelaku sejak beberapa saat setelah dirinya menjadi korban aksi terorisme dansiap melakukan penempaan hubungan maupun rekonsiliasi dengan matan-mantan pelaku yang lain.
Belajar dari proses pemaafan antara korban aksi terorisme dan mantan pelaku terorisme yang masuk dalam Tim Permdamian AIDA, dosa adalah beban yang sangat berat, baik bagi pelaku maupun orang yang menjadi korbannya. Proses pemaafan membantu kedua belah pihak untuk terbebas dari beban-beban yang ada. Hingga setelah melalui proses pemaafan yang ada, para korban aksi terorisme dan mantan pelaku yang masuk dalam Tim Perdamian AIDA pada umumnya merasa hidupnya lebih tenang, nyaman dan ringan.
Banyak pihak di republik ini yang sampai sekarang belum terbebas dari beban-beban berat akibat konflik ataupun aksi kekerasan di masa lalu. Semoga momen Idul Fitri saat ini bisa memberikan inspirasi positif bagi lapangnya jiwa-jiwa pemaaf, khususnya melalui pengalaman proses pemafaan antara korban aksi terorisme dan mantan pelaku terorisme yang tergabung dalam Tim Perdamaian AIDA. Hingga semua pihak terbebas (setidaknya terkurangi) dari beban-beban konflik di masa lalu.
Sumber: Suara Pembaruan Edisi Senin 4 Juli 2016