Menghadirkan Negara bagi Korban Terorisme
Bunyi ayat 1 Pasal 34 UUD 1945 tentang fakir miskin dan anak telantar yang dipelihara oleh negara nyaris tak terdengar dalam kesaksian mereka. Justru yang sangat keras terdengar adalah teriakan para korban bom yang harus diabaikan di sejumlah rumah sakit selama berjam-jam bahkan berhari-hari karena belum ada pihak yang menjamin, khususnya dari pemerintah.
Padahal, pada saat-saat kritis seperti ini, mereka yang terluka bahkan terbakar akibat ledakan bom harus segera mendapatkan penanganan medis. Tak cukup hanya sampai di situ, pelbagai macam derita yang dialami oleh para korban bom terorisme terus berkepanjangan seiring dengan terus berlanjutnya dampak fisik dan psikis yang mereka alami pascaledakan bom.
Sedangkan, pelbagai macam bantuan dari banyak pihak, termasuk dari pemerintah, hanya berlangsung sampai pada waktu-waktu tertentu. Padahal bermacam dampak fisik dan psikis dari ledakan bom tersebut banyak yang terus berkelanjutan, bahkan hingga hari ini.
Bahaya Laten
Ditinjau dari perspektif ketahanan nasional, Indonesia sangat rentan terhadap ancaman terorisme maupun aksi-aksi kekerasan lainnya. Tidak sematamata karena ketahanan nasional berpijak pada aspek-aspek yang bersifat alamiah maupun kemasyarakatan seperti tesisnya Hendropriyono (Terorisme: Fundamentalisme Kristen, Yahudi, dan Islam , 2009).
Melainkan juga karena pilihan sistem demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan kemudian melahirkan revolusi dunia maya atau revolusi sosial media. Dalam semangat revolusi dunia maya, nyaris tak ada bedanya antara dunia maya dan dunia nyata.
Semua pihak mempunyai kesempatan yang sama untuk menyatakan pendapat, memperjuangkan, bahkan meneguhkan dirinya sebagai kebenaran, termasuk di dalamnya adalah kelompok teroris dan saudara-saudaranya.
Dalam kajian terorisme mutakhir, dunia maya atau sosial media bahkan telah dijadikan sebagai salah satu strategi utama oleh jaringan yang sarat dengan aksi kekerasan ini, baik untuk berkomunikasi dengan sesama mereka, merekrut pengikut baru bahkan menyerang dan mengancam para lawannya.
Pelbagai macam ancaman yang disampaikan oleh orang-orang NIIS terhadap aparat keamanan Indonesia beserta pihak-pihak yang kerap mendukung NKRI secara konsisten (seperti NU dan lainnya) bisa dijadikan sebagai salah satu contoh dari yang telah disampaikan. Di sinilah titik rawan demokrasi dengan kebebasan yang dijunjungnya.
Persis seperti pernah disampaikan oleh filsuf muslim dan pemikir kenegaraan terkemuka, Ibnu Sina (980- 1037), karena demokrasi memberikan ruang yang sama bagi elite dan masyarakat biasa (fadiluhum wa danihim ), termasuk bagi mereka yang menolak bahkan memusuhi sistem demokrasi sekali pun.
Menghadirkan Negara
Apa pun yang terjadi atau yang sedang direncanakan ke depan, faktanya Indonesia telah berkalikali menjadi saksi bisu bagi berbagai macam serangan dan ledakan bom terorisme, mulai dari Bom Bali I, Bom Bali II, Bom JW Marriot I, Bom JW Marriot II, Bom Kuningan di depan Kedutaan Australia, dan sejumlah aksi terorisme lainnya.
Dan sejauh ini telah ada ratusan bahkan ribuan masyarakat tak berdosa yang harus menjadi korban kekerasan terorisme yang ada. Bahkan, kebanyakan dari para korban harus mengalami pelbagai macam ketidakadilan hidup, sebagaimana telah disampaikan di atas. Oleh karenanya, dibutuhkan adanya komitmen bersama, khususnya dari pemerintah dan segenap elite bangsa ini, untuk menghadirkan negara bagi masyarakat, utamanya bagi mereka yang menjadi korban kekerasan aksi terorisme.
Dalam hemat penulis, kehadiran negara seperti ini bisa diwujudkan melalui tiga hal utama berikut. Pertama, memberlakukan regulasi khusus terkait dengan korban terorisme, baik regulasi terkait dengan masa-masa kritis/pada saat baru terjadi kekerasan t e r o r i s m e ataupun regulasi terkait kehidupan korban terorisme setelah kejadian. Regulasi ini sangat dibutuhkan untuk memastikan (kalau terjadi aksi terorisme) tidak ada lagi korban yang diabaikan di sejumlah rumah sakit hanya karena belum ada jaminan dari pemerintah.
Sebagaimana regulasi ini juga dibutuhkan untuk memastikan para korban bom terorisme mendapatkan semua haknya sampai mereka benar-benar sembuh, baik secara fisik maupun psikis. Toh, apa pun alasannya, pada akhirnya aksi terorisme terjadi karena kelalaian negara.
Maka, sudah sewajibnya negara untuk menanggung seluruh akibat yang terjadi akibat kelalaiannya tersebut, khususnya akibat-akibat yang dialami oleh para korban bom. Setahu penulis, hingga hari ini belum ada regulasi khusus yang mengatur tentang korban terorisme dengan semua haknya.
Ketentuan tentang korban beserta hak-haknya hanyalah bersifat â€dititipkan†dalam sejumlah perundang-undangan maupun peraturan yang lain, seperti dalam Undang-Undang (UU) terkait Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) No 31 Tahun 2014, UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Perpres No 46 tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Kedua, penguatan perundang- undangan terkait dengan upaya pemberantasan dan pencegahan terorisme dan radikalisme, mencakup ujaran kebencian seperti pengkafiran, pemurtadan dan ujaran kebencian lainnya. Perundang- undangan harus sedini mungkin bisa mencegah terjadinya terorisme, seperti gejala radikalisme dalam bentuk pengkafiran ataupun pemurtadan pihak lain secara tidak bertanggung jawab.
Begitu juga dengan tindakan anarkistis seperti melakukan perusakan dan main hakim sendiri, walaupun hal itu dilakukan atas nama ajaran tertentu. Karena pada umumnya, radikalisme dan anarkisme kerap berkembang menjadi terorisme. Ketiga, koordinasi dan sinergi di antara lembaga-lembaga yang bersifat antiterorisme, baik lembaga pemerintahan maupun non-pemerintah.
Koordinasi dan sinergi ini sangat penting dilakukan mengingat terorisme bersifat multifaktor. Oleh karenanya, penanganannya pun membutuhkan kebersamaan dari semua pihak. Menghadirkan negara melalui tiga hal di atas sangatlah penting sebagai langkah konkret agar tidak ada lagi masyarakat yang menjadi korban kekerasan terorisme.
Melalui kehadiran negara, mereka yang sudah menjadi korban terorisme pun bisa mendapatkan semua haknya. Hingga para korban terorisme juga bisa bekerja sama untuk memastikan tidak ada lagi pihak mana pun yang melakukan aksi terorisme, khususnya di Indonesia.
Sumber : http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=3&date=2016-01-02