Home Suara Korban Jangan Menyerah dari Musibah
Suara Korban - 13/06/2017

Jangan Menyerah dari Musibah

Peristiwa kelam itu terjadi ketika Eko Sahriyono berumur 19 tahun. Malam itu, 12 Oktober 2002, saat sedang bertugas sebagai teknisi di Jalan Legian Kuta Bali, dia menjadi korban serangan teror bom bunuh diri.

Selepas lulus sekolah teknik menengah (STM) anak pertama dan satu-satunya anak lelaki dari tiga bersaudara ini terjun ke dunia kerja untuk membantu orang tua. Dia urungkan mimpi melanjutkan studi ke bangku kuliah seperti teman-teman sebayanya demi mencari nafkah. Dia sedih dan kecewa ada kelompok orang yang berniat menghancurkan dunia pariwisata Bali dengan membuat aksi teror hingga membuat orang kecil seperti dirinya kehilangan pekerjaan dan mengalami penderitaan yang luar biasa.

Pada malam kejadian Eko mendengar dua ledakan besar. Ledakan pertama terjadi di Paddy’s Club. Dia mengira ledakan pertama itu suara gardu listrik atau suatu benda elektronik yang terbakar. Tak menyaksikan sesuatu yang janggal, dia kembali ke pekerjaannya, memperbaiki sound system yang rusak. Tak berselang lama ledakan kedua terjadi. Kali ini kekuatan dan daya ledaknya berkali-kali lipat dari ledakan sebelumnya hingga meluluhlantakkan Sari Club, tempatnya bekerja.

Menurutnya, ledakan bom kedua tersebut seperti halilintar dan diikuti nyala api yang sangat besar. Eko tak sadarkan diri setelah menyaksikan ledakan yang begitu ngeri itu. Dia baru sadar ketika ada yang memanggil namanya tiga kali dengan suara yang terdengar samar-samar. Setelah sadar, ia tidak kuat bangun, tangan kirinya tidak berfungsi, mata sebelah kiri juga tidak bisa melihat dan badannya tertimpa rak besi.

“Di sana saya sudah pasrah terhadap apa yang akan terjadi, tapi kemudian saya berpikir bahwa saya ini anak laki-laki yang menjadi tulang punggung keluarga, maka di sana saya harus bangkit,” ujarnya.

Eko berusaha untuk mengangkat rak besi yang menimpanya, lalu bangun menyelamatkan diri dari kafe yang hampir ludes terbakar. Dari balkon kafe dia melompat ke genteng rumah warga. Dari satu atap rumah ke atap rumah lainnya dia terus melompat. Yang di pikirannya cuma satu, menjauh dari lokasi ledakan. Dia melewati atap rumah warga hingga akhirnya menemukan sebuah penginapan. Di penginapan itu ia ditolong oleh seorang wisatawan asing.

Dalam kondisi masih luka-luka, Eko teringat akan motornya yang masih berada di kafe tempatnya bekerja. Dia merasa harus kembali lagi ke tempatya bekerja untuk mengambil motor sebab kendaraan tersebut ia pinjam dari tetangganya. Saat berjalan menuju tempat kerjanya dia melihat banyak sekali mayat yang bergelimpangan di jalanan. Beberapa kali dia yang berjalan sempoyongan tersandung potongan tubuh manusia.

Eko tak bisa menjangkau tempat kerjanya untuk mengambil motor sebab kondisi di sana sudah porak poranda. Situasi semakin genting setelah tersiar desas-desus akan ada ledakan lagi. Orang-orang berlarian penuh ketakutan sibuk menyelamatkan diri. “Seandainya waktu itu saya pingsan, pasti saya sudah terinjak-injak karena ada yang bilang akan ada bom susulan dan semua orang berlari,” kata dia.

Saat sudah hampir pingsan akhirnya ada seseorang yang menolong dan mengantarnya ke rumah sakit. Setelah sampai di rumah sakit dia tak sadarkan diri. Setelah sadar kepalanya sudah diperban dan tanganya dipasang gips.

Dampak atau trauma yang ditimbulkan dari tragedi Bom Bali 2002 membuat kehidupan Eko terpuruk. Selain kehilangan pekerjaan, dia selalu teringat kengerian peristiwa teror itu. Hal itu mempengaruhinya menjadi mudah marah. Dia mengaku satu waktu pernah melampiaskan kemarahannya kepada anak kecil. Dia sungguh menyesal bila teringat masa lalunya yang terpuruk akibat bom.

Selain itu, hal paling berat yang Eko alami adalah saat berpikir untuk keluar dari agama Islam. Pascatragedi dia menyaksikan banyak warga Bali yang menyindir bahwa Bali hancur karena orang luar, karena orang Islam. Sindiran tersebut muncul setelah investigasi polisi mengungkap pelaku Bom Bali 2002 adalah kelompok teroris yang menyebut diri sebagai Jamaah Islamiyah. Niatan untuk meninggalkan agama Islam urung dia lakukan setelah merenungkan bahwa ajaran Islam tak pernah menganjurkan umat Muslim untuk melakukan aksi teror atau kekerasan lainnya.

Eko mengisahkan bagaimana dia selamat dari aksi Bom Bali 2002 tersebut dalam satu kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di SMAN 4 Malang Jawa Timur, Agustus 2015. Dalam kesempatan tersebut Eko mengajak para pelajar Indonesia agar menanamkan semangat pantang menyerah dari berbagai tantangan kehidupan. Dia juga berharap pengalamannya sebagai korban aksi teror dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat luas bahwa menjaga perdamaian dalam kehidupan yang penuh perbedaan ini sangatlah penting. [F]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *