Mensyukuri Kesempatan Hidup Kedua
Dengan gayanya yang khas, Suyanto menceritakan pengalaman hidupnya kepada para pelajar di SMAN 1 Padalarang Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ayah dua anak yang berprofesi sebagai pemborong proyek bangunan itu berkisah tentang saat-saat sulit dalam hidupnya ketika menjadi korban serangan teror bom di Legian, Bali pada tahun 2002.
Pria paruh baya kelahiran Surabaya, 4 November 1963 saat ini tinggal di Denpasar, Bali bersama keluarga tercinta. Dia sangat bersyukur bisa menjalani kehidupan dengan cukup baik, bisa bekerja untuk menyekolahkan anak-anak dan bisa merasakan sejumput kebahagiaan. Dalam kehidupannya setelah terkena ledakan Bom Bali 2002 ini, Suyanto mengaku sebagai orang yang menjalani kehidupan kedua.
Masa mudanya dia sebut sebagai masa lalu yang kelam. Dia pernah hidup berkelana mengadu nasib dengan hidup di jalanan selama dua tahun. Dia bahkan pernah mencoba mencari peruntungan hingga ke Papua, wilayah paling ujung timur Indonesia. Petualangan hidupnya berlabuh di Pulau Dewata setelah bertemu dengan gadis Bali yang memikat hatinya.
Suyanto dan tambatan hati pun akhirnya memutuskan untuk menikah pada tahun 1984. Setahun kemudian keluarganya dikaruniai seorang anak. Pada tahun 1991 dia kembali ke Surabaya untuk bekerja di bidang percetakan. Bertahan dua tahun di tanah kelahiran, Suyanto akhirnya berhijrah ke Denpasar dan mencari pekerjaan di sana agar dekat dengan keluarga. Dia tak khawatir meninggalkan pekerjaan lama dan mencari penghidupan baru karena percaya bahwa rezeki setiap hamba sudah diatur oleh Tuhan.
Di Denpasar Suyanto bekerja di Sari Club. Tugasnya sehari-hari adalah mengantarkan para wisatawan yang hendak menikmati keindahan alam Pulau Dewata. Bertahun-tahun bekerja di sana, pada suatu malam dia mengalami musibah yang luar biasa, yaitu tragedi teror Bom Bali.
Tidak ada tanda-tanda sebelum kejadian yang menggemparkan Indonesia dan seluruh dunia pada 12 Oktober 2002 malam itu. Keceriaan wisatawan yang berkunjung ke Legian berubah histeris saat dua ledakan bom bunuh diri mengguncang hebat. Semua benda dan bangunan di sekitar kawasan rusak dan hancur setelah ledakan kedua yang berasal dari sebuah minibus berisi 1,5 ton bahan peledak.
Efek ledakan yang besar membuat Suyanto terlempar sejauh 10 meter dari posisinya semula. Kakinya tertusuk bambu sepanjang 1,5 meter dan dia merasa sangat lemah hingga tak dapat menggerakkan tubuhnya. Mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi, dia mulai gelisah saat melihat api membakar bangunan dan dia mendengar wisatawan asing meminta pertolongan, “Please help me, help me!”
Suyanto ingin berjalan keluar tetapi tidak bisa. Kakinya cedera dan dia rasakan pinggulnya terkilir. Sekuat tenaga dia berusaha merangkak keluar dari bangunan di mana dia terlempar. Dia merangkak di atas tubuh orang-orang yang bergelimpangan dan banyak potongan tubuh manusia yang hancur akibat bom. Suyanto terus merangkak hingga ada seorang wisatawan berkulit putih membantunya keluar ke tempat lapang. Sesudah terbebas dari bangunan yang hancur itu dia hanya bergeming merenungkan kejadian yang baru saja menimpanya serta ratusan orang yang ada di Legian.
“Akhirnya saya pasrah, ya Tuhan, kalau saya memang mati di sini, beritahukanlah kepada keluarga saya. Lalu saya tidur di jalan, enak sekali. Selang tidak berapa lama ada orang baik hati, tukang ojek, yang menolong saya, membawa saya ke rumah sakit,” ungkap Suyanto dalam kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di SMAN 1 Padalarang, Senin (23/1/2017).
Semangatnya untuk tak menyerah dan bangkit dari cobaan muncul ketika dia teringat akan dua buah hatinya yang masih kecil ketika itu. Suyanto tak ingin anak-anaknya tumbuh besar tanpa asuhan kasih sayang seorang ayah. Saat ada lembaga yang menawarkan bantuan pengobatan di luar negeri, dia pun bersedia. Harapannya satu, sembuh dari luka akibat bom sehingga dapat kembali bekerja untuk menafkahi keluarga.
Suyanto menjalani pengobatan di Australia selama 3 bulan dengan beberapa kali proses operasi. Jaringan tulang di kedua telinganya rusak, sehingga untuk dapat mendengar ditanam alat bantu dengar di dalam telinganya. Selain itu, dia juga harus menjalani operasi pengangkatan benda asing yang menancap di lengan serta beberapa bagian tubuhnya saat terjadi ledakan.
Dia mengaku sangat bersyukur kepada Tuhan karena berhasil sembuh dan bisa kembali bekerja untuk menyekolahkan dua anaknya. Selamat dari peristiwa tragis yang merenggut nyawa ratusan orang bagi Suyanto adalah sebuah kenikmatan yang besar. Dia menyebut nikmat tersebut dengan kesempatan hidup kedua yang diberikan Tuhan. Dari kerja kerasnya setelah sembuh dari cedera akibat bom, dia sukses menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang perguruan tinggi.
Dalam kegiatan di SMAN 1 Padalarang, Suyanto berpesan kepada para siswa agar tidak mudah menyerah menghadapi tantangan hidup, serta tidak takut untuk bermimpi atau bercita-cita setinggi-tingginya. Baginya, dengan cita-cita manusia akan terdorong untuk giat bekerja agar bisa mencapainya. (AM) [SWD]