Home Opini Mengingat yang Lupa
Opini - 22/02/2017

Mengingat yang Lupa

KALAU ditanya anak-anak kita atau mereka yang sekarang ini sudah duduk di kelas sekolah menengah atas (SMA), kapankah terjadinya Bom Kuningan? Pasti kebanyakan mereka pada lupa atau memang tidak pernah mencoba mengingat hal itu. Mereka pasti akan bertanya, kapan itu, di mana dan tahun berapa?

Ya, rata-rata kita sekarang sudah mulai lupa dengan apa yang terjadi di masa lalu. Jangankan Bom Kuningan, ditanya siapa kakek buyut kita saja sudah pasti kepala kita akan menggeleng tanda tidak tahu.

Berawal dari undangan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) terhadap para jurnalis yang ada di Medan, maka saya pun hadir di sana. Salah satu agenda dari kegiatan tersebut adalah mendengar kisah tragis para korban bom. Sebenarnya ada tiga korban yang ditampilkan, namun dalam tulisan saya ini saya mencoba menghadirkan salah satu kisah tersebut.

Mulyono (33) ia merupakan salah satu korban Bom Kuningan di depan Kedutaan Australia di Jakarta. Sepintas tidak ada perbedaan antara saya dan Mas Mul, namun ada sedikit yang mengganggu penglihatan saya karena saya melihat dagunya berbeda dengan kebanyakan orang. Awalnya saya menganggap bahwa itu hanya cacat bawaan. Namun setelah ia menceritakan kisahnya, barulah saya paham, apa yang terjadi padanya.

Waktu itu katanya, tanggal 9 September 2004, sekitar pukul 10.00 Mulyono yang saat itu baru keluar dari kantor dan sedang berada di Jalan Kuningan tepatnya. Menurut keterangannya dia berada di jalur ke enam agak jauh dari Kedutaan Australia, namun entah kenapa suara ledakan yang cukup dahsyat terdengar dan tiba-tiba penuh dengan asap. Entah bagaimana ceritanya, ia merasakan ada darah yang keluar dari tubuhnya dan ia tidak mampu berkata-kata. Lalu ia mencoba keluar dari mobil yang ia kendarai karena suasana jalan waktu itu sudah tidak karuan lagi. Asap putih yang sangat pekat lambat laun mulai hilang, dia lalu berusaha meminta orang untuk menolongnya. Namun orang begitu melihatnya tampak mulai menjauh dan terlihat dari wajah mereka penuh dengan ketakutan.

“Saya terus terang tidak tahu apa yang terjadi pada diri saya. Tetapi saya masih sadar waktu itu, lalu saya mengambil uang di dompet dan melambai-lambaikan uang Rp50 ribu agar ada orang yang membantu saya untuk mengantarkan saya ke rumah sakit.”

Lalu apa yang terjadi pada dirinya? Katanya, dia baru tahu kalau kondisi rahangnya hancur setelah berada di rumah sakit. Sebelumnya ia tidak tahu bahwa lidahnya sudah menjulur-julur karena tidak ada lagi penopangnya.

Entah kenapa serpihan bom tersebut mengenai rahangnya dan dengan sekejap rahangnya habis terbakar, bagaikan besi yang dipanasi hingga meleleh.

“Ya kalau ditanya kok bisa itu terjadi karena lokasi saya agak jauh dari TKP, tetapi itulah yang namanya takdir jadi akal sehat terkadang tidak bisa sampai ke sana,” ujarnya.

Singkat cerita, ia ditolong dan dibawa ke salah satu rumah sakit. Namun karena rumah sakit itu rumah sakit mata, maka ia lalu dibawa ke rumah sakit yang lebih besar. Tiba di sana katanya, ia kurang dilayani dengan baik karena belum ada yang menjamin. Namun akhirnya perusahaan lah yang menjamin setelah salah seorang tim medis berhubungan dengan perusahaan di mana dia bekerja.

Baru satu hari di rumah sakit tersebut, akhirnya perusahaan membawanya ke rumah sakit di Singapura. Di sana sekitar 2 bulan ia koma. Di rumah sakit inilah ia melakukan recovery, rahangnya dicoba untuk digantikan dengan rahang buatan yang diambil dari tulang kakinya.

“Sehebat apa pun manusia, maka ia tidak akan bisa menggantikannya yang sama dengan buatan Allah,” ujarnya.

Walaupun saat itu sudah boleh kembali ke Jakarta tetapi ia diwajibkan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit tersebut, tetapi rupanya terjadi kesalahan medis, karena antara mulut dan dagu yang terlalu panjang.

Pengobatannya berjalan dua tahun empat bulan di Singapura, Namun hasilnya kurang memuaskan dan akhirnya pihak Kedutaan Australia membawanya ke rumah sakit di Australia untuk kembali diobati dan biayanya semua ditanggung pihak kedutaan.

“Bayangkan bagaimana sakitnya, rahang buatan tersebut akhirnya harus dilepas untuk digantikan dengan rahang buatan yang lain,” kata Mulyono.

Mulyono mengaku, setahun lebih setelah kejadian naas tersebut, dia hanya bisa makan melalui selang yang langsung dimasukkan ke lambungnya. Bahkan, hingga hari ini implan di kepalanya masih sering terasa sangat menyakitkan, terutama saat bangun tidur di pagi hari.

Saat ia berkisah, ada kalimat yang menurut saya sangat luar biasa yang diucapkan Mas Mul yaitu: “Allah masih baik sama saya. Saya yakin di balik kesusahan ada kemudahan bahkan di Alquran ayat ini diulang dua kali. Dan saya percaya bila saya sabar menerima semua ini, Allah pasti akan menggugurkan dosa-dosa saya, dan itu ada di dalam hadist Rasulullah Saw,” ujarnya dengan penuh keyakinan.

Bahkan ia mengatakan, “Sampai saat ini saya masih sakit, karena tubuh saya sudah tidak sempurna. Saya hanya berdoa kepada Allah agar saya selalu diberi ketabahan dan ketegaran hati untuk menerima ini semua. Pasti ada hikmah di balik peristiwa ini, peristiwa tragis ini baru bisa saya ceritakan setelah bergabung dengan Aliansi Indonesia Damai (AIDA),” ujarnya.

Sebelumnya ia sangat tertutup. Bahkan sampai saat ini ia tidak ingin ada cermin di depannya. Ia tidak mau melihat wajahnya kembali.

“Awalnya saya berpikir untuk apa menceritakan kepada orang lain, toh boleh jadi orang tidak ada yang berempati kepada saya. Namun setelah adanya dialog yang cukup panjang dengan AIDA, akhirnya saya mencoba membuka diri dengan harapan tidak ada lagi korban bom yang dialami oleh saya dan saudara-saudara saya yang lain. Kami mencoba mengkampanyekan Suara Korban, Suara Perdamaian. Boleh jadi menurut pemerintah dan masyarakat kasus itu sudah berlangsung puluhan tahun. Namun sampai saat ini kami tetap merasakannya,” ujarnya sambil berharap agar tidak ada lagi bom di tanah air khususnya dan di negara-negara lain umumnya.

Kisah ini saya tuliskan, tidak bermaksud menjadikannya hanya sebagai obyek tulisan. Namun saya ini mencoba membagi penderitaan yang dialami para korban bom baik Bom Kuningan, Bom Bali dan lain-lain yang mungkin sudah kita lupakan. Padahal merekalah yang sampai saat ini masih menderita. Kasus atau pelakunya mungkin saja sudah dihukum, tetapi pernahkah kita berpikir bagaimana korbannya? Apakah pemerintah sudah hadir di tengah-tengah mereka? Atau pemerintah juga lupa dengan mereka?

Dari cerita yang disampaikan, ada pelajaran penting yang bisa kita dapatkan, di antaranya mereka memiliki ketegaran yang boleh jadi kita tidak memilikinya. Bahkan ada kalimat yang sempat saya garisbawahi yaitu: Allah masih baik sama saya. Sebuah kalimat yang agak sulit hari ini kita dapatkan di saat orang pada lupa kepada perintah dan larangan Allah.

Sakit yang mereka derita sampai saat ini, bukanlah menjadikan mereka benci dengan takdir yang mereka terima, tetapi mereka tetap bersyukur karena yakin bahwa Allah akan menggugurkan dosa-dosa mereka jika mereka sabar dengan apa yang mereka alami.

Lalu pertanyaan kepada kita, apakah kita sanggup mengalami apa yang mereka alami. Allahu Akbar. Hanya Allah yang tahu siapa hamba-Nya yang mampu menerima cobaan-Nya dan yang tidak.

Mudahan-mudahan kisah ini mengingatkan kita bagi yang lupa bahwa masih banyak korban yang sampai saat ini masih trauma akibat bom.

 

H. Ali Murthado

Redaktur Harian Analisa

 

*Artikel ini pernah dimuat di Harian Analisa edisi 17 Februari 2017.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *