Korban Ujung Tombak Kampanye Perdamaian
Perjuangan dan gagasan KH. Abdurahman Wahid alias Gus Dur untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan berbangsa, beragama dan bernegara di Indonesia kini dilanjutkan oleh anak-anaknya, salah satunya Alissa Qotrunnada. Perempuan yang akrab disapa Alissa Wahid, ini menjadi Koordinator jaringan Gusdurian, sebuah komunitas yang melestarikan dan membumikan perjuangan dan pemikiran Gus Dur. Melalui sambungan telp ia menguraikan persoalan harmoni kehidupan dalam masyarakat majemuk yang belum sepenuhnya terwujud sebagaimana yang dicita-citakan Gus Dur. Berikut petikan wawancaranya.
Mengapa aksi kekerasan terus terjadi di akar rumput, padahal sudah banyak kalangan yang aktif mengkampanyekan perdamaian?
Ada banyak faktor. Pertama, globalisasi menyebabkan ideologi pro kekerasan dari luar masuk ke Indonesia. Orang-orang yang pro kekerasan di Indonesia seolah mendapatkan dukungan dari seluruh dunia yang juga pro kekerasan. Kedua, lemahnya penegakan hukum terutama UU No. 7 tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Implementasi UU itu lebih mengedepankan harmoni bukan penegakan hak-hak konstitusional warga.
Bagaimana membentengi anak muda agar tidak terlibat dalam aksi kekerasan?
Anak-anak muda harus kritis dan melakukan verifikasi ketika belajar konsep jihad. Di dalam Al Quran jihad yang bermakna perang hanya sepertiga saja, sementara dua pertiganya jihad diartikan melawan hawa nafsu dan membangun umat, agama dan negara. Penting juga belajar ilmu agama jangan hanya dari internet tetapi utamakan belajar kepada ulama dan guru yang berilmu luas dan bisa diajak diskusi/sharing. Selain itu, gerakan dan kampanye cinta damai juga perlu memenangi pertarungan di dunia maya, karena kelompok intoleran menggunakan internet dengan sangat efektif untuk menyebarkan ideologinya. Karena itu, kelompok moderat perlu serius melakukan gerakan cinta damai di internet.
Apa yang harus dilakukan kelompok moderat untuk menghalau gerakan radikal dan mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara?
Muhammadiyah dan NU sebagai ormas terbesar harus membekali umatnya dengan paham ahlussunnah waljamaah. Sikap moderat, toleran dan adil harus sudah ditanamkan sejak kecil bisa melalui pengajian, organisasi, atau lembaga pendidikan. Selain itu, kemaslahatan umat penting diperhatikan sehingga kemiskinan atau ketidakadilan tidak membuat seseorang lari ke gerakan terorisme. Ketidakadilan sosial bisa memengaruhi seseorang untuk berprilaku radikal.
Ada banyak korban bom terorisme di Indonesia, bagaimana menurut Ibu peran mereka dalam menciptakan Indonesia damai?
Korban bom harus diberikan pendampingan. Mereka adalah orang pertama yang bisa bicara dan merasakan dampak dan bahaya aksi terorisme. Jika yang bicara antiterorisme bukan korban bom, maka bicaranya hanya menggunakan logika dan emosi yang melekat tidak begitu besar. Tapi korban bom telah merasakan betapa hancurnya kehidupan mereka akibat terorisme. Jadi seharusnya mereka yang menjadi ujung tombak kampanye antiterorisme. Memang bukan perkara yang mudah bagi teman-teman korban untuk tampil di depan publik untuk menceritakan dampak terorisme yang dialaminya.
Bagaimana peran guru dalam mencetak generasi muda yang cinta damai?
Tanamkan Pancasila sejak dini, tapi bukan hafalan seperti yang dilakukan selama masa Orde Baru. Guru harus mendidik anak-anak untuk bersikap dan berlaku adil, menghargai persatuan, mampu hidup dan bekerja sama dengan orang lain, dan mampu bermusyawarah. Bila nilai-nilai Pancasila tumbuh di kalangan anak didik maka selaras dengan empat pilar pendidikan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life together.
Gus Dur sebagai bapak pluralis dan tokoh perdamaian di Indonesia menginginkan kehidupan yang rukun dan berdampingan, sejauh ini apakah cita-cita Gus Dur sudah terwujud?
Selama lima tahun terakhir kita melihat kualitas harmoni dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia mengalami penurunan. Indikasinya banyak insiden intoleransi dan peraturan daerah yang diskriminatif. Hal-hal itu menunjukkan negeri ini sedang berada di titik krusial. Gus Dur sejak awal menginginkan harmoni kehidupan antar umat beragama yang sesungguhnya bukan hanya di permukaan saja. Kita akan berusaha menghidupkan kembali semangat harmoni antar umat beragama di Indonesia karena negeri ini menjadi salah satu model multikulturalisme di dunia.
Apa saran Ibu kepada pemerintah untuk tetap berkomitmen melindungi warganya dari ancaman kekerasan?
Kepolisian harus membuat strategi komprehensif untuk menangani kelompok-kelompok yang intoleran. Kepolisian bukan hanya mencegah konflik memaksakan harmoni tetapi dengan menjamin hak-hak konstitusional warga. Kalau hak-hak konstitusional ini yang dipakai, maka kelompok intoleran tidak akan bisa menekan kelompok yang toleran. Sementara untuk BNPT harus memetakan ancaman-ancaman terorisme dan mengambil langkah-langkah preventif.
Apa pesan Ibu terhadap keluarga untuk membentengi putra-putrinya dari pengaruh radikalisme?
Orangtua perlu menjadi jenderal untuk perkembangan anak-anaknya, fokus menanamkan nilai-nilai kebaikan, keadilan, toleransi dan melatih kecakapan hidup mereka. Tanggung jawab kita mengembangkan karakter dan kecakapan hidup mereka, karena kecakapan hidup akan menentukan pada saat mereka berhadapan dengan dunia luar yang berebut pengaruh. Orang-orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya mudah sekali diajak terlibat dalam hal-hal yang radikal, karena sulit mengendalikan emosinya. Anak-anak yang tidak dilatih untuk mengambil keputusan akan mengikuti keputusan teman-temannya. Dengan nilai-nilai dan kecakapan yang ditanamkan orangtua maka anak-anak akan menjadi seseorang yang tanggap dan matang. [RKL]