Ini Universitas Kehidupan
Sebelumnya aku akan memperkenalkan diri. Namaku, Endang Isnanik, saat ini berusia 43 tahun, aku adalah seorang ibu dari Garil Arnandha (saat ini berusia 22 tahun), Dwiga Meyza Arnandha (berusia 17 tahun), Izzulhaq Trigi Arnandha (15 tahun). Suamiku bernama Aris Munandar, salah satu korban meninggal dunia saat tragedi bom Bali I di Legian, Kuta, Bali.
Akhir dari kehidupan adalah kematian; sesuatu yang dekat dan pasti, walau terkadang kita melupakan atau pura-pura lupa akan saat itu tiba. Tapi sangat menyakitkan ketika ditinggalkan dengan tiba-tiba karena ulah manusia yang bertindak seakan mereka manusia paling benar.
Perbuatan dan akibat para pelaku bom ini membuat seorang isteri yang sedang sakit semakin sulit. Saat itu, untuk sekedar berjalan menjadi sesuatu hal yang berat karena menderita peradangan lutut kaki sebelah kanan sejak tahun 2000 silam. Belum lagi ketiga anakku yang masih sangat belia, saat itu umurnya si sisulung (anak pertama) masih 10 tahun, anak yang kedua berumur 5 tahun, dan yang paling bungsu (anak terakhir) berusia 2 tahun. Kejadian itu membuatku harus kehilangan suami, menjadi tulang punggung, ayah sekaligus ibu yang jadi tumpuan hidup mereka.
Hidup seketika gelap dimataku, sakit dan luka begitu sulit diobati. Akhirnya air mata menemani hari-hariku. Awal-awal kejadian itu air yang kuminum terasa duri di tenggorokan apalagi untuk sekedar makan sama sekali aku tidak bisa. Sementara dua dari anakku tidak mengerti apa yang terjadi. Mereka masih terlalu dini untuk memahami kejadian itu. Namun lain dengan anak sulungku. Ia sangat terluka dan sampai sekarang. Ia tidak mau makan ayam taliwang karena jasad ayahnya saat itu masih dalam kondisi utuh, hitam terbakar seperti ayam taliwang. Suamiku ditemukan dalam posisi tidur di bagian depan dalam mobil, saat itu ketika menunggu antrian untuk mengantar tamu yang hendak kembali ke hotel. Karena memang tiap malam ia bekerja sebagai driver (sopir) transportasi di depan Sari Club. Ya, itu kejadian 12 tahun yang lalu.
Bagaimana kami bisa melewati semua proses itu? Tentunya sangat tidak mudah. Tahun-tahun pertama yang aku lakukan adalah berusaha untuk belajar memaafkan. Memotivasi diri, bahwa hidup harus terus berjalan. Suamiku sudah pergi dan tidak akan pernah kembali lagi.
Kami harus berjuang meraih masa depan. Hari-hari kulewati dengan mendekatkan diri pada Allah SWT, untuk memohon kekuatan. Sebagai manusia yang penuh kekurangan aku percaya Allah SWT, tidak akan menguji di luar batas kemampuan yang ada. Dibalik musibah pasti ada kebaikan yang tersembunyi pikirku. Allah SWT, tempat bergantung. Tuhan menginginkan kita untuk shalat dan bersabar selebihnya biarlah mengalir apa adanya.
Itu yang kulakukan. Aku harus bisa memaafkan dan percaya bahwa yang terjadi adalah takdir Tuhan. Justeru ketika aku mampu memaafkan dan bersahabat dengan sakit yang kuderita, disitulah aku merasa lebih tenang dan lebih tegar.
Dalam meneruskan hidup ini. Aku sedang berusaha mengantarkan anak-anak menuju kedewasaan. Namun terkadang ada hal yang membuatku kaget, pasang surut dan jatuh bangun terutama saat kelelahan, merasa sangat drop, bahkan sekedar berjalan aku tidak bisa sama sekali, secara total hanya beristitahat di kamar. Alhamdulillah, kehadiran anak-anak menjadi motivasi terbesar yang membuatku selalu bangkit dan tersenyum menjalani kehidupan kami yang sulit.
Allah SWT melihat proses bukan hasil; Bersyukur adalah kuncinya. Alhamdulillah, saat ini aku bisa bekerja sebagai penjahit walau kondisi kakiku lagi sakit. Perjalanan kami cukup terjal, berliku penuh air mata. Sesungguhnya iman dan taqwalah yang membantu untuk tetap kuat melewati pahitnya cobaan dunia ini.
Apa yang kualami adalah cara Allah SWT, menjadikanku lebih bijak, tegar dan ikhlas dengan apapun yang terjadi. Inilah universitas kehidupan yang banyak melahirkan orang-orang hebat, yang ditempah dari kesulitan, kehilangan, dan air mata.
Semoga anak-anak kami yang besar dari banyak air mata. Membuat mereka sebagai orang yang luar biasa dan bermanfaat suatu saat nanti, Amin. Terakhir, terima kasih untuk keluarga kecilku, ibu, sahabat, yang selalu ada untukku. Tidak lupa kepada semua pihak yang membantu melewati semua ini.