Jihad Bukan Teror
Radikalisme dan terorisme telah menjadi persoalan yang begitu menakutkan dalam masyarakat modern. Munculnya beragam aksi teror yang notabene dilakukan orang beragama seakan melemahkan peran agama dalam segenap aspek kehidupan. Dari aksi teror, ajaran luhur agama terlihat seakan menjadi pusat konservatisme, fundamentalisme dan ekstremisme. Agama seolah terpinggirkan, bukan lagi sebagai sumber inspirasi perubahan dan kemajuan umat. Dikotomi menjadi liar tak terkendali di mana orang yang dianggap berhaluan kanan sering diidentikkan sebagai teroris dan yang berhaluan kiri sebagai komunis. Sungguh dilema yang tak berkesudahan.
Mewabahnya terorisme harus dibatasi dan diantisipasi secara kolektif dengan cara-cara yang efektif. Belajar dari pengalaman aksi teror di Jalan MH Thamrin Jakarta 14 Januari 2016, salah satu strategi efektif meredam kepanikan masyarakat akibat tragedi Thamrin adalah gerakan net citizen melalui tanda pagar #KamiTidakTakut. Ia seolah menjadi kurikulum baru antiteroisme dalam pendidikan alternatif kita. Masyarakat semakin sadar bahwa tujuan teroris dalam aksinya adalah menimbulkan ketakutan massal, dan oleh sebab itu mereka membuat aksi kebalikannya.
Semua agama mengklaim atau diklaim oleh umatnya sebagai ajaran universal, dan memang ajaran yang sifatnya universal terdapat pada semua agama. Meski universal, tetapi ada ajaran yang berbeda antara satu dan lainnya. Segala sesuatu yang sama dalam masing-masing agama tidaklah bijak bila dibeda-bedakan, dan apa yang berbeda-beda dalam agama masing-masing jangan disama-samakan. Sebab, sesuatu dari sudut yang berbeda tentu tidak akan menemukan titik persamaan.
Perbedaan agama akan semakin mendalam bila dilihat dari ajaran atau akidah masing-masing, tetapi bila dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan nilai-nilai kemanusiaan (human values) akan ditemukan banyak persamaannya. Bila semua orang memiliki pandangan yang sama bahwa semua agama adalah ciptaan-Nya dan penganut masing-masing agama itu dituntut untuk mengamalkan dengan sebaik-baiknya, maka kerukunan umat beragama, kedamaian, dan kesejahteraan hidup bersama akan dapat diwujudkan.
Aspek teologi adalah bentuk keyakinan seseorang. Manifestasi dari teologi membutuhkan eksternalisasi. Disinilah letak penguatan ideologi sebagai cara pandang dalam memahami ajaran. Persoalannya kemudian dalam konteks terorisme, ideologi diartikan dalam bentuk pengamalan melalui bom bunuh diri dan aksi-aksi lainnya. Interpretasi dari postulat-postulat keagamaan diideologisasikan melalui upaya pendangkalan makna jihad yang berujung pada peperangan terhadap entitas manusia yang secara tidak langusng mewakili apa yang diyakini sebagai “kafir”.
Memang, jika dicermati ada sebuah hal yang sulit dipisahkan dari pemahaman terorisme ini, yakni ideologi. Dalam pandangan Walter Reich (Origin of Terrorism) ideologi merupakan sebuah kekuatan ide yang mendasari seseorang berbuat. Dalam perspektif ideologi terorisme, kelompok dan organisasi ekstremis beranggapan bahwa terorisme itu bermanfaat. Para ekstremis mencari suatu perubahan radikal di alam status quo yang akan memberikan manfaat baru atau sebagai bentuk mekanisme bertahan terhadap hak istimewa yang dianggap sebagai ancaman. Ketidakpuasan terhadap politik pemerintah juga menjadi alasan pembenaran perilaku terorisme.
Perkembangan yang paling menarik terkait dengan aksi terorisme adalah pembenaran perilaku dengan berdalih agama. Pandangan teologis kelompok teroris menganggap bom bunuh diri dan aksi-aksi teror lainnya sebagai jalan suci. Kelompok-kelompok itu mencari pembenaran terhadap aksi kekerasan yang mereka lakukan dengan mengawinkan konsepsi terorisme dan jihad. Ajaran jihad praktis mengalami distorsi akibat disalah tafsirkan kelompok teroris. Mereka memahami jihad sebagai bentuk perlawanan terhadap musuh Islam yang direpresentasikan dengan negara-negara Barat. Tak mengherankan (walaupun tidak dibenarkan) kini kita banyak melihat aksi teror ditujukan pada aset-aset yang berhubungan dengan Barat.
Konstruksi konsep jihad kelompok teroris di antaranya berdasar pada kitab suci Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 190: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu. Dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Mereka menilai ayat itu melegalkan aktivitas teror yang ditujukan kepada Barat dan antek-anteknya. Ya, sesederhana itu. Padahal, tafsir para ulama dengan sangat ketat menjelaskan bahwa terminologi jihad dalam arti perang tidak dapat serta merta diartikan sebagai mengangkat senjata untuk memerangi nonmuslim. Ada konteks yang tak dapat dipisahkan dalam memahami sebuah ayat ataupun perintah jihad. Dan, ada banyak prasyarat yang harus terpenuhi sebelum perang dapat diperbolehkan.
Di samping itu, para ulama juga menjelaskan bahwa jihad tidak bertujuan membumi hanguskan orang-orang yang tidak berdosa dan masyarakat sipil, berkebalikan dengan terorisme yang menyasar tanpa batas ke semua orang. Terorisme oleh sebab itu jelas bukan merupakan produk agama, sebab agama adalah sumber keyakinan untuk jalan keselamatan dan rahmat bagi sekalian alam.
Dalam konteks Indonesia, di mana masyarakatnya sangat multikultur, pemahaman yang utuh mengenai ajaran luhur jihad masih sangat penting disosialisasikan guna mendidik masyarakat untuk mampu membedakannya dari paham terorisme yang disebarkan kelompok-kelompok radikal. Kebhinnekaan mesti menjadi kekuatan yang bersifat konstruktif-transformatif, bukan sebaliknya, menjadi kekuatan destruktif. Kekuatan konstruktif-transformatif dari fakta pluralitas bangsa Indonesia dapat berkembang jika setiap entitas budaya memahami dan menjunjung tinggi nilai toleransi dan kerukunan. Sebaliknya, potensi destruktif akan dominan bila setiap kelompok masyarakat tidak memiliki sikap toleran, bahkan memandang inferior kelompok lain.