Home Wawancara Perdamaian Itu Dinamis
Wawancara - 27/04/2016

Perdamaian Itu Dinamis

Kemajemukan di masyarakat jika tidak dikelola dengan baik bisa menjadi benih konflik kekerasan. Artinya, perwujudan perdamaian di Indonesia belum selesai tapi harus terus diupayakan. Menurut Direktur Eksekutif MAARIF Institute, Fajar Riza Ul Haq, dalam upaya membangun iklim perdamaian di Indonesia masih didapati tantangan dan hambatan. Selain itu, guna mensukseskan hal itu dibutuhkan kerja sama banyak pihak, tak terkecuali korban kekerasan. Untuk mengulas hal itu, redaksi SUARA PERDAMAIAN mewawancara Fajar, sapaan akrabnya, di kantornya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Senin (7/9/2015). Berikut petikannya.

Bagaimana kondisi perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini?

Dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah, kita lebih baik. Meski negara kita banyak konflik tapi kita bisa melaluinya dengan baik. Meskipun begitu tetap harus dibarengi sikap waspada karena di masyarakat ada potensi konflik yang bisa saja menimbulkan kekerasan. Dalam kehidupan sosial keagamaan dan kehidupan berbangsa, konflik-konflik lebih terkelola dengan baik. Perdamaian itu tidak statis tapi dinamis. Damai adalah proses yang bergerak di mana kita mampu mengelola potensi-potensi konflik secara lebih baik, sehingga konflik ditransformasikan atau disublimasikan menjadi sikap positif.

Saat ini marak muncul fenomena hate speech (ujaran kebencian) yang tidak terkontrol dan bukan tak mungkin menyulut konflik. Bagaimana Anda melihat hal itu?

Fenomena hate speech bukan hanya ada di Indonesia tapi juga di negara- negara lain. Hate speech tumbuh subur melalui teknologi komunikasi. Dulu hate speech dilakukan di pengajian atau mimbar keagamaan tapi sekarang diekspresikan melalui media sosial sehingga exposure-nya lebih cepat dan luas. Karena itu, kelompok toleran atau moderat harus lebih agresif dalam membendung mereka dengan counter yang positif. Jika kelompok kontraperdamaian melakukan satu langkah maka kelompok properdamaian harus dua hingga tiga langkah lebih maju. Sebab, eskalasi destruktif dari kelompok intoleran luar biasa. Kita harus bisa merebut suara anak muda. Saat ini sedang terjadi perebutan identitas di ruang publik.

Apa yang harus dilakukan untuk melindungi anak muda dari pengaruh kelompok kekerasan?

MAARIF Institute menggunakan dua pendekatan yaitu formal dan tidak formal. Pendekatan formal melalui lembaga pendidikan seperti program generasi toleran dan antikekerasan bagi anak-anak SMA di sejumlah daerah. Pendekatan tidak formal yaitu melakukan pendampingan terhadap para aktivis di kalangan siswa (seperti, aktivis Rohis) dan menyusun modul yang bersifat counter narrative. Ada juga Jambore Pelajar Muslim yang diikuti ratusan siswa SMA se-Jawa. Selain itu, ada pelatihan jurnalistik bagi aktivis Rohis untuk membekali kemampuan menulis dalam berjihad dengan pena. Kami juga meluncurkan MAARIF Fellowship bagi fresh graduate atau mahasiswa semester akhir untuk mengembangkan pemikiran yang terbuka di kalangan anak muda. Kita juga gunakan media populer, seperti, membuat film Mata Tertutup.

Kita ingin mengantisipasi anak muda yang mendukung aksi kekerasan secara pasif. Masyarakat toleran itu ada yang aktif dan pasif. Di kalangan anak muda gejalanya didominiasi yang toleran pasif. Orang yang toleran pasif jika ada faktor eksternal yang berpengaruh besar bisa bergeser ke intoleran. Potensi anak muda yang tidak toleran harus menjadi alarm bersama. Kita tidak boleh mengaggap remeh munculnya pemikiran yang intoleran atau pengaruh ekstrem dari negara luar.

Menurut Anda, apakah penting melibatkan korban kekerasan dalam perjuangan membangun iklim perdamaian di Indonesia?

Efektif sekali apabila kita dalam upaya mengkampanyekan pentingnya perdamaian kepada masyarakat dengan melibatkan para korban. Kami pernah melakukannya ketika roadshow film Mata Tertutup. Kami mengundang beberapa korban dan mantan pelaku kekerasan untuk menyampaikan pesan dan kesannya tentang nilai yang terkandung dalam film itu, yaitu perdamaian itu sendiri. Pendekatan mereka tentang perdamaian mencapai level psikologis, karena mereka punya pengalaman pribadi tentang apa itu kekerasan. Sehingga pesan perdamaian bila disampaikan oleh para korban lebih powerful dan menyentuh audience. Namun, kita harus memahami di antara para korban ada yang trauma healing-nya belum selesai sehingga sebagian mereka belum bisa berbicara ke publik. Perlu adanya kerja sama pelbagai pihak untuk mendorong mereka agar berperan mewujudkan perdamaian.

Bagaimana kiat mendorong korban agar bersuara ke publik menjadi duta perdamaian?

Ada beberapa komunitas yang sudah mengorganisasi teman-teman korban. Kita harus bicara dengan mereka dan butuh pendekatan simpatik, jangan sampai mereka menganggap dikomersialisasi ketika diminta untuk bersuara mewujudkan Indonesia damai. Korban juga perlu dilibatkan secara langsung dalam penyusunan program-program agar tumbuh rasa memiliki atau kesadaran bahwa peran mereka untuk kampanye perdamaian itu sangat dibutuhkan.

Apa yang harus dilakukan untuk pembangunan perdamaian di Indonesia?

Semua pihak harus terlibat, berpartisipasi, merasa memiliki dan merasa punya tanggung jawab demi suksesnya program pembangunan perdamaian. Pemerintah harus lebih komunikatif terhadap pelbagai pihak yang terlibat dalam mewujudkan perdamaian. Selama ini terkesan pemerintah tidak mau banyak mendengar masukan dari elemen masyarakat sehingga sinerginya kurang. Selain itu, seperti yang sudah saya sampaikan bahwa masyarakat dan seluruh pihak yang mendukung toleransi harus lebih agresif menyuarakan pesan perdamaian. Jangan sampai ruang publik dikuasai atau dimonopoli oleh kelompok-kelompok intoleran. [MLM]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *