Dulu untuk Perang, Kini Bambu untuk Perdamaian
Ibu Dra. Farha Abdul Kadir Assegaf, M.Si atau biasa dikenal sebagai Farha Ciciek aktif melakukan pendampingan bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga dan pemberdayaan korban bom terorisme. Tak hanya itu, perempuan kelahiran Ambon ini, pun memberdayakan anak-anak muda di kampung tempat tinggalnya di desa Ledokombo, Kabupaten Jember, Jawa Timur agar tumbuh menjadi generasi baru bermasa depan cerah. Bersama suaminya Suporahardjo dan para relawan, mereka mengajarkan anak-anak untuk saling menguatkan demi menciptakan perdamaian, keadilan dan kesejahteraan melalui Egrang, permainan tradisional yang terbuat dari bambu. Dalam edisi kali ini, Redaksi Suara Perdamaian berkesempatan mewawancarai Ketua Dewan Pembina AIDA Ibu Farha Ciciek melalui telepon. Berikut petikan wawancaranya:
Ibu sangat concerndengan pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga dan pemberdayaan korban bom terorisme. Belajar dari dua pengalaman ini, pesan apa yang bisa Ibu sampaikan kepada masyarakat, termasuk kepada teman-teman dan keluarga korban?
Kita harusnya mengupayakan damai itu dalam dua wilayah, di dalam rumah tangga dan masyarakat. Karena secara faktual kekerasan dan musibah terjadi di dalam rumah tangga maupun di dalam masyarakat sekaligus. Kita tahu, bahwa dalam hubungan pribadi dan di dalam rumah tangga konflik sering terjadi dan menjatuhkan korban. Kekerasan dalam rumah tangga menjadi masalah dunia, juga di Indonesia. Demikian juga kekerasan politik. Oleh sebab itu, kalau kita ingin menciptakan perdamaian harusnya mengedepankan juga pentingnya damai di rumah atau keluarga. Merupakan kenyataan bahwa ada keterkaitan kekerasan publik dan kekerasan dalam rumah tangga. Saya menemukan bahwa di antara para korban bom yang merasa frustasi ada yang melakukan tindakan kekerasan kepada pasangan dan anak-anak di rumah. Untuk itu, dalam pendampingan para korban bom perlu dilakukan serangkaian upaya supaya para korban kekerasan politik jangan sampai melakukan kekerasan terhadap anggota keluarga.
Bagaimana memberdayakan korban bom dalam upaya menciptakan perdamaian?
Keluarga, masyarakat dan negara harus membantu mereka secara nyata. Di antara para korban harus saling menguatkan. Dalam hal ini penting mengembangkan jaringan lokal, nasional dan internasional sehingga para korban bisa bangkit dan berjuang untuk menciptakan perdamaian bersama-sama. Kita harapkan jaringan lokal dan internasional dapat terlibat dalam pemberdayaan korban terorisme.
Saat ini Ibu juga memberdayakan anak-anak muda kampung melalui permainan Egrang sehingga mereka menjadi generasi yang inspiratif, kreatif dan anti kekerasan. Sementara di sebagian wilayah sebagian anak muda justru kerap tawuran atau pun terlibat aksi kekerasan lainnya. Menurut Ibu apa yang kurang dari sistem pendidikan kita?
Saya banyak menemukan di berbagai tempat anak-anak muda cinta perdamaian. Situasi sosial-politik yang seringkali mendorong anak-anak muda menjadi agresif dan melakukan berbagai tindak kekerasan. Kita perlu secara aktif menciptakan ruang yang kondusif agar kaum muda berkembang menjadi pecinta dan pelaku perdamaian. Di Ledokombo, Jawa Timur, kita coba melalui permainan Egrang yang terbuat dari bambu. Kita gunakan Egrang untuk sarana kampanye perdamaian. Dulu bambu dipakai untuk alat perang, bambu runcing. Tetapi sekarang dengan Egrang, bambu digunakan untuk perdamaian. Menari, menyanyi dan membuat bahagia baik diri sendiri dan orang lain sembari menyuarakan hal-hal baik dengan “bahasa bambuâ€.
Apa yang harus dilakukan pemerintah bahkan keluarga untuk memastikan lahirnya generasi muda yang berjiwa damai dan bervisi kebangsaan?
Pertama, harus percaya pada anak bahwa mereka subyek yang bermartabat. Jika kita tidak percaya pada mereka maka mereka akan merespon sebagai pribadi dan secara sosial secara negatif. Kedua, menciptakan lingkungan sosial yang kondusif agar anak-anak bisa berkembang sehat secara fisik dan mental. Ketiga, sistem pendidikan, orang tua, guru, tokoh agama,dan masyarakat serta figur-figur di pemerintahan harus memberikan teladan yang baik. Keempat, media massa dan bahan bacaan di masyarakat harus mendukung dan merangsang anak-anak untuk menjadi juru damai.
Remaja memiliki emosi labil dan cenderung ingin mengekspresikan dirinya. Bagaimana agar ekspresi anak muda tersalurkan dalam hal positif bahkan bisa menjadi juru damai?
Sekali lagi, kita harus menciptakan lingkungan yang memungkinkan mereka beraktifitas dalam kegiatan-kegiatan yang positif. Nah, itu tidak bisa dilepaskan peran bersama, yakni keluarga, dunia pendidikan dan lingkungan dimana mereka berada. Ketiga lingkungan harusnya sinergi. Di rumah anak diajarkan akhlak, di sekolah diajarkan budaya bangsa Indonesia dan di lingkungan dia melihat tokoh masyarakat yang gotong royong dan menghargai perbedaan. Tapi dalam kenyataan, dia tidak selalu merasakan hal-hal seperti itu. Masih banyak praktek diskriminasi akibat beda agama dan etnis misalnya. Di Indonesia sering didengung-dengungkan dalam teori/wacana tentang indahnya kemajemukan tetapi dalam praktik belum sepenuhnya terwujud. Masih banyak ketidakkonsistenan. Dan belum ada penegakan hukum (law enforcement) yang memadai untuk mewujudkan keberagaman dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam beberapa waktu terakhir ada kecenderungan sebagian anak muda kita dijadikan target rekrutmen oleh gerakan kekerasan. Bagaimana pendapat Ibu tentang hal ini? Apa yang harus dilakukan oleh pihak-pihak terkait?
Banyak hal. Banyak pekerjaan rumah, baik di lingkungan rumah tangga maupun sektor publik. Sistem pendidikan harus pro peace termasuk pendidikan masyarakat. Para pendidik, termasuk pendidik sebaya misalnya guru, pemuka agama, unsur-unsur pemerintah dan media massa harus jadi pihak-pihak yang menyiarkan dan mempraktikan hal-hal yang kaitannya dengan perdamaian. Khusus untuk lembaga pendidikan, lingkungan atau budaya sekolah jangan diskriminatif. Bila ada anak muda yang berpikir nyeleneh, ekstrim, pikiran-pikiran yang dianggap tidak baik harus direspon secara bijak. Ruang dialog dan demokratisasi harus diciptakan, at home, at school, at public life, di rumah, di sekolah, di kehidupan masyarakat. (AS) [SWD]