Merevolusi Mental Pemberantasan Terorisme
Dalam hemat penulis, penyakit itulah yang membuat pemberantasan terorisme selama ini gagal mencapai tujuan yang diharapkan: mencegah pengembangan jaringan terorisme, menyembuhkan mereka-mereka yang terpapar keyakinan yang bercorak teroristis, dan menyadarkan masyarakat luas terkait pentingnya perdamaian.
Penyakit mental dalam upaya pemberantasan terorisme dapat dilihat dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan. Berupa penindakan secara bersenjata, penegakan hukum dengan hukuman yang berat dan pencegahan, termasuk program pelatihan kewirausahaan ataupun penguatan ekonomi bagi mereka yang terpapar keyakinan terorisme.
Pendekatan Gagal
Revolusi Mental
Karena itu, harus ada perubahan-perubahan besar dan mendasar dalam upaya pemberantasan terorisme ke depan. Salah satunya dengan menghadirkan perspektif korban dalam upaya-upaya pemberantasan terorisme. Baik secara konseptual maupun implementatif.
Mengapa perspektif korban ini penting? Tak lain karena para korbanlah yang selama ini mengalami dan merasakan dampak langsung dari kejahatan terorisme. Bila suatu keahlian harus dibangun berdasar rasa dan pengalaman (kata tokoh-tokoh empirisme), sejatinya para korbanlah yang ahli tentang terorisme. Sebab, kata ahli tasawuf, man lam yazuq lam yasu’ur (orang yang tak pernah mencicipi tak akan pernah merasa).
“Rasa keahlian” para korban terkait terorisme sangat murni. Sebab, mereka menjadi ahli terorisme bukan karena tuntutan tugas seperti aparat atau tuntutan profesi seperti pengamat dan akademisi. Melainkan karena terpilih.
Dari segi hukum dan keamanan, apa yang dialami para korban terorisme merupakan bukti kegagalan negara dan aparat dalam melindungi segenap warganya.
Ketentuan perundangan-undangan maupun regulasi dapat dijadikan cermin untuk melihat sikap negara yang abai terhadap pemenuhan hak-hak dan peran korban terorisme. Sejauh ini hanya ada satu undang-undang (UU) yang secara tegas mengatur hak-hak korban terorisme, yaitu UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Padahal, banyak korban yang sudah menderita jauh tahun sebelumnya. UU itu pun belum diimplementasikan secara optimal dalam pemenuhan hak-hak korban.
Di luar UU 31/2014, sesungguhnya ada dua regulasi lain yang juga terkait dengan hak-hak korban terorisme. Yaitu UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpres 12/2012 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tapi, dua regulasi di atas selama ini nyaris tidak bermakna apa pun bagi pemenuhan hak-hak dan peran korban.
Saat ini pemerintah dan DPR mulai membahas draf revisi atas UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Revisi itu harus dijadikan momentum oleh semua pihak untuk menciptakan revolusi mental dalam upaya pemberantasan terorisme sesuai dengan visi Presiden Jokowi selama ini.
Dengan demikian, revisi tersebut tidak hanya mencakup hal-hal yang bersifat penindakan, penegakan, dan pemberatan hukuman yang selama ini kurang efektif dalam upaya penyelesaian terorisme. Revisi itu juga harus menyentuh hal-hal yang bersifat fundamental, termasuk pemenuhan hak-hak korban terorisme. Khususnya pemberian kompensasi secara mudah nan cepat dan jaminan negara atas seluruh pembiayaan medis korban pada masa-masa kritis sesaat setelah kejadian aksi terorisme.
Sumber: Jawa Pos edisi Senin 13 Juni 2016