Home Opini Pentingnya Aksi Kolektif untuk Korban Terorisme
Opini - Pilihan Redaksi - 44 minutes ago

Pentingnya Aksi Kolektif untuk Korban Terorisme

Oleh Laode Arham

Pegiat Perdamaian, Alumni Pascasarjana Kriminologi, Universitas Indonesia

9 September 2025 lalu, para penyintas terorisme mengadakan peringatan bom Kuningan. 21 tahun lalu, tepatnya 9 September 2004 sebuah bom mobil menyerang kantor Kedutaan Besar (Kedubes) Australia di Jl. HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

Peristiwa naas tersebut mengakibatkan korban jiwa dan kerusakan luar biasa. Korban yang langsung meninggal dunia sebanyak sembilan orang dan ratusan mengalami luka-luka. Para korban yang sintas, mendapatkan pengobatan dan perawatan dengan derajat luka dan sakit yang berbeda: ringan, sedang, berat hingga cacat seumur hidup.

Peringatan tahunan ini, memiliki arti penting bagi penyintas. Peristiwa tersebut selalu menjadi kenangan, akan selalu diingat karena dampaknya yang mengubah kehidupan mereka. Semua itu telah dilewati dengan sabar dan tangguh. Seakan baru terjadi kemarin.

Baca juga Tantangan Baru Perlindungan Korban Terorisme

Selain bagi korban, peringatan tahun ini juga memilik arti penting bagi negara. Sebagaimana disampaikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam acara Hari Internasional Peringatan dan Penghormatan bagi Korban Terorisme pada 21 Agustus 2025 lalu bahwa peringatan tahun ini merupakan salah satu wujud kehadiran negara untuk melindungi dan memberikan dukungan kepada para korban terorisme. 

Sebagai negara, Indonesia telah bertanggungjawab melaksanakan amanah UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pasal 35A ayat (1) dari UU tersebut berbunyi ‘korban merupakan tanggungjawab negara’. Tangungjawab negara dilaksanakan melalui bantuan medis, rehabilitasi psikologis dan psikososial, santunan bagi keluarga dalam hal korban meninggal dunia dan kompensasi.

Terkait kompensasi, berdasarkan data LPSK sebanyak 785 korban terorisme telah menerima kompensasi dengan nilai mencapai Rp 113,30 miliar sepanjang tahun 2016 hingga 2024. Pada 2025, terdapat 30 korban yang mengajukan kompensasi. Para korban tersebut berasal dari beberapa peristiwa, seperti Bom Bali I dan II, Bom JW Marriot, Bom Kedubes Australia, Bom Gereja Oikumene Samarinda, penembakan di Perumahan Dosen Universitas Tadulako Palu, dan Bom Gereja Katedral Makassar (Kompas, 21/8/2025).

Kilas Balik

Sejak peristiwa Bom Bali tahun 2002 hingga menjelang terbitnya UU No.5 Tahun 2018, negara abai terhadap korban terorisme. Peristiwa bom Thamrin 2016 memicu banyak kalangan untuk mendorong perlindungan dan pemenuhan hak korban oleh negara. Ketika itu, pemerintah dan DPR sepakat untuk melakukan revisi UU antiterorisme.

Baca juga Prioritas Dana Abadi Korban Terorisme

Pada momen ini juga LPSK, kepolisian, dan BNPT bekerja keras mengumpulkan data korban di masa lalu, melakukan identifikasi dan verifikasi, hingga mulai melakukan pemenuhan hak korban terorisme.

Ada anekdot menarik bagaimana pimpinan LPSK “memaksa” jaksa penuntut umum (JPU) untuk melakukan penuntutan dalam sidang kasus pelaku bom Samarinda di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Malam-malam sang pimpinan menelepon Jaksa Agung, meminta untuk mengeluarkan surat edaran agar sang JPU dapat memasukkan tuntutan pemberian kompensasi bagi korban bom Samarinda  yang akan disampaikan ke majelis hakim.

Akhirnya pecah telur. Majelis Hakim PN Jakarta Timur mengabulkan sebagian tuntutan kompensasi korban bom Samarinda  dalam sidang pembacaan vonis lima terdakwa kasus bom Samarinda, pada 25 September 2017 lalu.

Putusan pengadilan di tahun 2017 tersebut, penetapan UU Terorisme tahun 2018 menjadi momentum kebangkitan negara dari “tidur panjang”. LPSK dan BNPT selaku lembaga perwakilan negara memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam bidang tersebut.  

Baca juga Catatan Pemenuhan Hak Korban Terorisme: Menuju Negara Paripurna

Sebelumnya, para korban terorisme “hidup terlantar” bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Dus, mereka “diurus” oleh berbagai lembaga dan mitra, baik dari dalam maupun luar negeri. Mereka melanjutkan hidup dan berjuang tertatih-tatih setelah terpuruk begitu dalam. Dengan multi beban fisik, psikis dan psikososial, para penyintas berusaha bangkit dan saling menguatkan satu sama lain.

Penyintas, Pejuang Harapan

Di tengah alpanya negara, para korban membentuk berbagai komunitas dan yayasan seperti Yayasan Isana Dewata Bali (Istri, Suami, dan Anak Dewata) di Bali yang memayungi korban Bom Bali 2002 dan Bom Bali 2005; Forum Kuningan, sebagai wadah korban bom Kuningan 2004. Kemudian Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) dan Yayasan Keluarga Penyintas (YKP) yang memayungi sejumlah komunitas korban aksi terorisme di tanah air.

Para pengurus komunitas dan yayasan penyintas menjadi penggerak dan pelopor kebangkitan korban secara kolektif yang mendorong advokasi/kampanye pemenuhan dan perlindungan hak korban terorisme selama dua dekade.

Mereka tumbuh alami dari komunitasnya, ditempa dengan berbagai cobaan dari dalam komunitas dan tantangan dari eksternal, membuat mereka layak diberikan kredit dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Mereka dapat disebut sebagai pemimpin organik, yang memiliki pemahaman dan penghayatan mendalam tentang nilai-nilai, kebutuhan dan aspirasi korban terorisme dan komunitas/yayasan yang mereka pimpin.

Para penyintas selalu memperjuangkan harapan hidup, saling berkoneksi dan saling membantu untuk berbagi kesulitan. Paling “gercep” menyangkut pendataan, proses pemenuhan hak kompensasi dan kesehatan. Mereka dipersatukan oleh takdir dan jalan hidup, memperjuangkan harapan dan cita-cita bersama.

Meski demikian, sebagai insan biasa, yang sebagian masih mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD) dan seperti komunitas dan organisasi lainnya, selalu ada dinamika internal dan tantangan eksternal yang membuat para anggota komunitas dan yayasan terpecah, menyebar ke beberapa wadah, kemudian menyatu dalam wadah yang baru, lalu terbagi lagi ke wadah/kelompok yang berbeda.

Yang menarik, negara tetap menghargai dinamika tersebut dan memfasilitasi mereka. Negara senantiasa hadir dan melibatkan mereka dalam berbagai kegiatan kampanye perdamaian, menjadi narasumber dan peserta dalam kegiatan dan aksi pencegahan ekstremisme dengan kekerasan/terorisme. Dalam konteks saat ini, aksi kolektif pemerintah dan non-pemerintah menjadi relevan.

Aksi Kolektif untuk Korban: Perbaikan dan Peningkatan

Studi yang dilakukan AIDA (2024) terhadap para pemimpin dan korban terorisme menguatkan pandangan penulis di atas bahwa pemerintah sebagai kepanjangan tangan negara telah menunaikan sejumlah hak bagi korban aksi terorisme, mulai dari kompensasi, bantuan medis, psikologis, dan bantuan psikososial.

Meskipun demikian, dalam praktiknya, implementasi pemenuhan hak korban aksi terorisme masih belum sempurna. Masih ada sejumlah hal yang dapat diperbaiki untuk meningkatkan aksi kolektif layanan kepada korban terorisme.

Pertama, negara melalui BNPT dan LPSK perlu menyusun database komprehensif tentang profil dan kebutuhan layanan medis, psikologis dan psikososial seluruh korban terorisme yang sudah mendapatkan kompensasi. Data tersebut dapat dimanfaatkan oleh instansi pemerintah dan non-pemerintah dalam pemberian bantuan dan dukungan secara efektif, efisien dan bersifat jangka panjang (long term).

Dengan database tersebut (by name, by address – BNBA) para pihak dapat menyusun progam bantuan dan layanan yang sesuai kebutuhan spesifik setiap individu. Melalui database yang kredibel, Kemensos misalnya, memiliki acuan dalam memberikan bantuan psikososial yang tepat kepada penyintas. Begitupun dengan Kemendikdasmen manakala akan memberikan bantuan beasiswa bagi anak korban terorisme.

Kedua, sebagai upaya aksi kolektif, maka pemerintah (kementerian/lembaga) dan non-pemerintah harus selalu bersinergi agar para korban dapat menerima bantuan medis, psikologis dan psikososial dari berbagai pihak secara tepat sasaran. Upaya-upaya baik (good practices) BNPT yang melibatkan sejumlah perusahaan BUMN dalam memberikan bantuan psikososial perlu terus ditingkatkan baik secara kuantitas maupun kualitasnya.

Demikian pula bantuan pendidikan untuk anak korban terorisme. LPSK dan BNPT memastikan anak korban terorisme yang memenuhi kriteria, mendapatkan bantuan pendidikan hingga lulus SMA, bahkan hingga menyelesaikan studi strata satu (S1). Tidak berhenti setahun saja, sebagaimana yang pernah dikeluhkan korban.

Ketiga, yang tidak kalah penting, suara korban adalah suara perdamaian. Kisah korban merupakan inspirasi untuk mencegah terjadinya radikalisasi dan rekrutmen kelompok kekerasan ekstrem di pelbagai kalangan secara luringmaupun daring.

Sebagaimana yang diakui BNPT dan beberapa CSO, korban aksi terorisme berperan penting dalam pembangunan perdamaian di Indonesia. Kisah mereka efektif meningkatkan kesadaran masyarakat terkait bahaya dan dampak aksi terorisme. Oleh sebab itu, kepastian akan pemenuhan hak-hak korban aksi terorisme, akan sangat mendukung proses pembangunan perdamaian.

Peringatan bom Kuningan 2025 dapat menjadi momentum bagi semua pihak, pemerintah (K/L) dan non-pemerintah untuk melakukan aksi kolektif bagi upaya-upaya perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban, terutama pada aspek kompensasi, bantuan medis, bantuan psikologis dan dukungan psikososial.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *