Rahasia Tuhan
Oleh Nyoman Rencini, Janda Korban Bom Bali 2002
Nama saya Nyoman Rencini. Saya keluarga korban Bom Bali I yang terjadi 12 Oktober 2002 di Legian. Suami saya, Ketut Sumerawat, meninggal dunia menjadi korban tragedi tersebut. Kami dikaruniai tiga anak, sekarang sudah besar-besar. Saya ingin menceritakan perasaan dan pikiran saya sebagai korban aksi teror, meskipun korban tidak langsung.
Musibah yang kita alami menurut saya bisa disebut cubitan Tuhan. Cubitan sebagai pengingat pada umat-Nya supaya lebih tebal membenahi pribadi kita masing-masing. Tak banyak yang bisa dilakukan selain menerima dengan ikhlas serta menyabarkan hati menjalaninya.
Belajar ikhlas pelajaran teramat sulit, tak banyak yang komplit mencontohkan. Saya latar belakang dari orang tua yang kerap kali memberi petuah. Orang tua banyak mengenalkan tentang hal baik dan tidak baik, serta apa yang boleh dan tidak boleh diperbuat.
Baca juga Penyintas Terorisme Berkisah di Depan Ulama Riau
Sekian panjang perjalanan hidup saya jalani dengan predikat sebagai pedagang keliling. Dari sekian banyak orang yang saya temui sepanjang hidup saya, dan dari berbagai karakter, tidak sedikit dari mereka saya dapatkan kutipan-kutipan inspirasi yang selalu saya tanamkan di pikiran.
Ibarat sehelai kapas siap menyerap cairan bersih, itulah kehausan saya terhadap ilmu. Saya lemah ilmu dan lemah pengalaman serta wawasan, akibatnya saya lemah solusi untuk mendapatkan jalan keluar ketika dihadapkan pada banyak variasi tantangan kehidupan. Hal dasar yang saya lakukan hanya berusaha menguatkan diri, menumbuhkan kesabaran. Saya juga perbanyak menyimak arahan-arahan yang positif. Saya jadikan itu semua sebagai pendorong yang kuat yang bisa mengantar saya menuju ke titik tujuan, agar saya lebih baik menyikapi permasalahan yang saya hadapi.
Beberapa orang berpendapat bahagia itu jika tuntutan dan keinginan hidup terpenuhi. Lain halnya dengan kebahagiaan yang saya gambarkan, menurut saya amatlah kecil. Porsi kecil kebahagiaan dari Sang Pencipta buat keluarga kecil kami. Orang bijak berkata: perjuangan atau usaha manusia tetap dalam kontrol Sang Pencipta. Hasilnya kecil namun cukup mengademkan hati si penikmatnya, saya mensyukuri itu.
Baca juga 18 Tahun Bom Bali: Cinta untuk Mereka yang Tiada (Bag. I)
Sekian lama, dari banyak hal yang saya temui, saya bersyukur ketika dipertemukan dengan sekelompok penyintas, survivor. Bersama mereka hati merasa sangat nyaman sekali. Sambutan mereka yang ramah-ramah, sangat santun, saya pribadi merasa mereka memperlakukan saya sangat baik, layaknya tamu kehormatan bahkan sudah seperti saudara sendiri.
Kami membangun kehidupan bersama yang penuh kesetaraan, cinta kasih, keikhlasan, ketulusan, dan maaf. Kami selalu menghibur satu sama lain. Saya senang bisa bersama mereka melakukan kegiatan, mengajak anak-anak muda agar damai, tidak melakukan kekerasan. Ditunjang oleh suasana sekeliling kita yang menebar aroma alam segar, tak henti-hentinya batin berucap syukur atas kehendak-Nya saya diarahkan ke tempat orang-orang yang kaya akan cinta kasih.
Entah sudah kali berapanya saya diundang, diajak ikut kegiatan. Namun, di setiap mau berpisah, batin saya serasa tertinggal, kaki susah melangkah. Ada semacam tetesan bening jatuh dari mata, bibir kelu susah berucap, hanya diam sesaat.
Saya merasakan hal yang sama ketika almarhum suami dinyatakan telah tiada saat kejadian tragedi Bom Bali pertama. Perasaan itu saya rasakan kembali hanya beda versi, antara sedih dan kebahagiaan tulus alami.
Baca juga Peringatan Bom Bali: Momentum Penguat Persaudaraan
Saya juga banyak belajar dari para pihak yang telah menolong, tidak hanya sifat suka menolong tapi juga ramah tamah, santun dan ikhlas berbagi. Nilai plus buat saya di sepanjang perjalanan hidup, anak-anak tidak banyak menimbulkan masalah. Saya selalu menekankan kepada mereka supaya mempergunakan waktu dan kesempatan dengan belajar giat. Prestasi terbaik yang mereka raih merupakan hadiah termahal buat saya.
*Artikel ini pernah terbit di Newsletter SUARA PERDAMAIAN, Edisi XXIII Januari 2020