Home Opini Gejolak Agustus dan Ujian Kerukunan Bangsa
Opini - Pilihan Redaksi - 15 hours ago

Gejolak Agustus dan Ujian Kerukunan Bangsa

Oleh Adib Abdushomad, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama RI

Artikel ini pernah dimuat di Kompas.id pada 06 September 2025

Gelombang demonstrasi besar yang melanda Indonesia pada pekan terakhir Agustus 2025 tidak muncul dari ruang hampa. Aksi massa yang menelan korban jiwa dan menyebabkan kerusakan di berbagai kota itu merupakan puncak dari akumulasi keresahan sosial, ekonomi, dan politik yang telah lama terpendam. Kekecewaan masyarakat terhadap tingginya biaya hidup, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), serta kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat menciptakan situasi yang rapuh dan mudah tersulut.

Dalam kondisi yang sudah panas itu, satu peristiwa tragis menjadi pemicu besar. Seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, meninggal setelah dilindas kendaraan taktis Brimob. Insiden ini segera mengubah arah dan dinamika protes. Semula, massa memusatkan perhatian pada kebijakan DPR dan pemerintah. Namun, setelah tragedi tersebut, kemarahan publik meluas menjadi tuntutan keadilan terhadap aparat keamanan. Gelombang protes pun membesar, bergeser dari depan Gedung DPR ke markas Brimob dan kantor kepolisian di berbagai daerah.

Selain faktor insidental tersebut, cepatnya eskalasi demonstrasi juga tidak lepas dari beberapa persoalan struktural. Pertama, kepongahan sejumlah anggota DPR dalam merespons protes rakyat telah menambah bara di tengah api. Pernyataan yang dianggap meremehkan penderitaan masyarakat memperlebar jarak psikologis antara rakyat dan wakilnya di parlemen. Padahal, di level institusi setinggi DPR, seharusnya komunikasi publik dijalankan dengan empati dan kepekaan moral, bukan dengan sikap yang menyinggung.

Baca juga Menjaga Kerukunan Bersama

Kedua, kondisi ekonomi rakyat yang tengah sulit semestinya tidak dibarengi dengan kebijakan yang membebani. Kenaikan pajak yang diberlakukan bersamaan dengan rencana kenaikan tunjangan DPR menciptakan kesan ketidakadilan yang mendalam. Di satu sisi rakyat diminta menanggung beban ekonomi, di sisi lain para elite politik justru memperjuangkan fasilitas tambahan. Kontras ini menjelma sebagai simbol jurang ketidakpedulian elite terhadap penderitaan publik.

Ketiga, adanya kesenjangan ekonomi yang begitu besar antara rakyat kecil dan para pejabat negara semakin memperkuat rasa frustrasi. Data perbandingan menunjukkan penghasilan rata-rata masyarakat yang setara upah minimum regional (UMR) berpuluh kali lipat lebih kecil daripada gaji, tunjangan, dan fasilitas pejabat, baik anggota DPR maupun direksi BUMN. Kesenjangan yang mencolok ini bukan sekadar menjadi persoalan angka, melainkan juga masalah keadilan sosial yang dirasakan langsung oleh rakyat.

Situasi kian memburuk karena demonstrasi yang awalnya damai berubah menjadi kerusuhan. Gedung DPRD di Makassar dan Gedung Negara Grahadi di Surabaya dibakar, fasilitas publik dirusak, dan bentrokan dengan aparat berlangsung berhari-hari. Selain korban jiwa, kerusuhan ini juga menimbulkan guncangan ekonomi. Nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS, indeks saham jatuh, sementara harga emas melonjak akibat meningkatnya kepanikan investor. Gambaran ini menunjukkan bahwa gejolak politik tidak hanya berdampak pada stabilitas keamanan, tetapi juga langsung menghantam sendi-sendi ekonomi masyarakat.

Baca juga Wakil Ketua MUI Kukar: Tokoh Masyarakat Wajib Menjaga Perdamaian

Latar belakang yang kompleks ini diperumit dengan munculnya dugaan keterlibatan faksi-faksi elite politik yang menunggangi aksi. Beberapa analisis menilai bahwa kekerasan yang terarah, terutama pada institusi kepolisian, bukan semata-mata luapan spontan massa, melainkan bisa jadi bagian dari dinamika perebutan pengaruh di kalangan elite. Dengan demikian, demonstrasi Agustus 2025 tidak hanya berbicara tentang keluhan rakyat, tetapi juga membuka tabir tentang rapuhnya konsensus politik nasional.

Gejolak ini dengan jelas menguji kerukunan sosial bangsa. Aksi solidaritas yang semula digerakkan oleh mahasiswa, buruh, dan pengemudi ojek online berpotensi berubah menjadi konflik horizontal jika tidak dikelola dengan bijak. Di titik inilah pentingnya menempatkan kerukunan umat dan nilai kemanusiaan sebagai fondasi utama agar perbedaan pandangan dan ekspresi politik tidak terjerumus pada pertikaian sosial yang lebih luas.

Gejolak demonstrasi Agustus 2025 memperlihatkan betapa cepat emosi publik dapat meledak ketika ketidakadilan ekonomi dan kepongahan politik bertemu dengan insiden tragis. Dalam teori sosiologi agama, Émile Durkheim menegaskan bahwa agama berfungsi menjaga kohesi sosial melalui nilai, ritual, dan solidaritas kolektif. Pandangan ini relevan dengan konteks Indonesia: ketika ruang politik penuh ketidakpastian dan ekonomi menekan rakyat, agama dapat menjadi kanal peredam emosi sekaligus pengikat masyarakat agar tidak tercerai-berai oleh konflik.

Baca juga Menumbuhkembangkan Budaya Damai

Namun, fungsi sosial agama tidak otomatis bekerja. Ia memerlukan ruang dan dukungan negara untuk tampil sebagai instrumen pencegah konflik. Sayangnya, pola yang sering terlihat justru reaktif: tokoh agama baru diminta bicara ketika kerusuhan sudah terjadi. Padahal, langkah yang lebih penting adalah dukungan negara terhadap aktivitas tokoh dan lembaga keagamaan jauh sebelum krisis pecah. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), program Desa Sadar Kerukunan, dan dialog lintas iman yang selama ini ada seharusnya diperkuat secara berkesinambungan.

Akan tetapi, budgeting kerukunan ini tidak bernasib baik sebagaimana Makan Bergizi Gratis (MBG), tetapi justru mengalami dampak efisiensi sebagaimana terlihat dari pemotongan bantuan operasional FKUB hampir 40 persen secara nasional, sehingga ruang perjumpaan tokoh dan umat beragama mengalami penyumbatan signifikan.

Data menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menaruh kepercayaan tinggi kepada tokoh agama. Survei Litbang Kompas (2023) menempatkan tokoh agama sebagai salah satu figur publik paling dipercaya, jauh di atas politisi dan partai. Kepercayaan ini adalah modal sosial besar yang seharusnya digunakan negara untuk meredam keresahan rakyat. Jika tokoh agama diberi ruang sejak awal untuk menyalurkan aspirasi dan menguatkan solidaritas, kemungkinan ledakan emosi publik dapat ditekan.

Prioritas pembangunan

Demonstrasi Agustus juga memberi pelajaran bahwa kerukunan tidak boleh diperlakukan sekadar sebagai ”penjaga damai” ketika krisis, tetapi harus menjadi strategi pembangunan nasional. Negara-negara maju menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya kokoh jika ditopang modal sosial berupa rasa saling percaya dan solidaritas. Sebaliknya, ketika kerukunan rapuh, gejolak sosial sekecil apa pun bisa menghancurkan stabilitas ekonomi, sebagaimana terlihat pada pelemahan rupiah dan IHSG akibat demo Agustus.

Dalam konteks ini, agama dapat berfungsi sebagai benteng moral yang mencegah polarisasi politik berubah menjadi konflik horizontal. Namun, peran itu hanya akan berjalan bila negara menempatkan kerukunan antarumat sebagai prioritas pembangunan jangka panjang, bukan sekadar respons darurat. Dukungan anggaran, regulasi, dan kebijakan yang konsisten terhadap kegiatan lintas agama adalah investasi sosial yang sama pentingnya dengan pembangunan infrastruktur.

Dengan demikian, demonstrasi Agustus 2025 seharusnya menjadi titik balik. Negara harus belajar bahwa menjaga kerukunan bukan hanya urusan moral, melainkan juga strategi politik dan ekonomi. Jika fondasi kerukunan kokoh, Indonesia tidak hanya mampu mencegah krisis, tetapi juga melangkah lebih mantap menuju cita-cita besar: menjadi negara maju pada 2045.

Baca juga Memenangkan Solusi Dua Negara

Demonstrasi Agustus 2025 menjadi pengingat pahit bahwa suara rakyat tidak boleh diabaikan. Tragedi yang menimpa Affan Kurniawan, disertai sikap pongah sebagian elite politik dalam merespons penderitaan rakyat, menunjukkan betapa rapuhnya hubungan antara penguasa dan masyarakat. Krisis ini tidak semata-mata lahir dari tuntutan ekonomi, tetapi juga dari rasa keadilan yang tercabik oleh kebijakan yang tidak sensitif dan kesenjangan sosial yang semakin lebar.

Indonesia telah membayar mahal dengan korban jiwa, kerugian ekonomi, dan luka sosial. Namun, dari peristiwa ini seharusnya lahir kesadaran kolektif bahwa menjaga kerukunan adalah fondasi utama pembangunan bangsa. Kerukunan bukan slogan, melainkan kebutuhan mendesak yang menentukan apakah Indonesia mampu melangkah menuju negara maju atau terus terjebak dalam lingkaran konflik yang melelahkan.

Elite politik harus belajar rendah hati dalam berkomunikasi, memahami penderitaan rakyat, dan menjauh dari kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir kalangan. Negara harus lebih serius mendukung peran tokoh agama dan forum lintas iman, bukan hanya ketika kerusuhan meledak, tetapi jauh sebelum itu. Tokoh agama, dengan pengaruh moralnya yang masih dipercaya rakyat, dapat menjadi benteng pencegah polarisasi dan perekat solidaritas sosial.

Bangsa ini memiliki modal besar berupa keberagaman, tradisi toleransi, dan nilai kemanusiaan yang diwariskan para pendiri negara. Jika modal ini terus dirawat, kerukunan akan menjadi jalan menuju kesejahteraan bersama. Perbedaan pandangan politik boleh saja, demonstrasi pun adalah hak demokratis. Namun, kerukunan tidak boleh dikorbankan. Sebab, hanya dengan kerukunan, Indonesia dapat bertahan menghadapi badai, bangkit dari krisis, dan melangkah pasti menuju Indonesia Emas 2045.

Lebih baik merawat daripada mengobati, lebih baik merawat kerukunan daripada baru sadar akan pentingnya kerukunan setelah konflik memakan korban dan kerusakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *