Generasi Muda dan Jerat Radikalisme
Dari segi kebahasaan, kata radikalisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna setiap perbuatan yang bertujuan untuk meradikalkan. Paham atau ajaran yang memiliki agenda radikalisasi sering disebut radikalisme. Seiring waktu, definisi radikalisme berkembang menjadi suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Doktrin yang ekstrem dan tak jarang melanggar koridor hukum diajarkan guna menanamkan nafsu perlawanan terhadap pihak-pihak yang tak sehaluan, tak peduli bila harus menggunakan cara-cara kekerasan. Fenomena radikalisme di Indonesia dewasa ini cukup memprihatinkan mengingat banyak generasi muda yang terjebak ke dalam paham itu.
Salah satu contoh sempurna betapa kalangan muda bangsa rentan terjebak dalam pusaran radikalisme adalah terkuaknya fakta sejumlah pemuda diduga menjadi peracik bom kelompok teror pro-Negara Islam Irak dan Syam (NIIS) jaringan Bahrun Naim dalam aksi teror Thamrin 14 Januari 2016.
Dalam pandangan para pakar, kematangan berpikir yang masih kurang, usia dalam tahap pencarian jati diri, emosi labil dan pemahaman agama minim menjadi faktor yang membuka ruang bagi generasi muda tergelincir dan terseret arus radikalisme. Terlebih, saat ini perkembangan teknologi komunikasi tak terbendung dan kian canggih sehingga berbagai macam informasi bisa diakses dari mana saja dan kapan saja. Penelitian Kementerian Komunikasi dan Informasi menunjukkan pengguna telepon pintar dan media social paling banyak dari kaum muda.
Menurut sejumlah pengamat radikalisme dan terorisme, pemuda yang baru kenal sedikit tentang ajaran agama kemudian menonton tayangan provokasi kekerasan yang banyak disebarkan kelompok radikal di dunia maya sangat mungkin terpancing masuk ke jerat radikalisme. Di sisi lain, kesenjangan ekonomi di masyarakat sebagai akibat ketidakadilan serta perilaku korup penyelenggara negara semakin menyuburkan radikalisme.
Perihal kecenderungan generasi muda mendukung paham radikalisme terkonfirmasi bila kita membaca temuan lapangan Maarif Insitute saat menyelenggarakan forum Jambore Pelajar SMA Se-Jawa pada Desember 2015. Dalam kegiatan itu didapatkan temuan banyak pelajar menyatakan kesediaan melakukan aksi intoleran terhadap kelompok-kelompok minoritas. Tidak banyak pelajar yang dengan mantap menolak ajakan aksi kekerasan.
Di sinilah pentingnya kontraradikalisasi ajaran agama, sebagai bentuk pencegahan dan sistem imun dari pengaruh radikal yang menyasar generasi muda. Dan, semangat kontra radikalisasi ajaran agama perlu ditanamkan sejak dini, mengingat penyebaran radikalisme telah mewabah dengan segala kecanggihan propagandanya.
Negara, lingkungan sekolah, masyarakat, tokoh agama, serta keluarga turut memberikan pengaruh dan bertanggung jawab terhadap pola pikir generasi muda, tentunya dengan peran yang berbeda-beda. Negara memberikan hak-hak warganya dengan baik, lingkungan sekolah harus terbebas dari pengaruh radikalisme, masyarakat menjaga kerukunan antarwarga, tokoh agama harus semakin aktif meng-counter pemikiran radikal serta meluruskan pemahaman umat tentang ajaran agama, dan keluarga menjadi pemain kunci dalam mendidik dan mengawasi perkembangan pola pikir generasi muda.
Kontraradikalisasi juga dipandang perlu disempurnakan dengan penguatan sikap cinta Tanah Air. Dengan menumbuhsuburkan sikap itu, rasa melindungi dan menjaga sesama anak bangsa akan membentengi generasi muda dari ajaran yang merusak. [TS}