Home Wawancara Revisi UU Antiterorisme Momentum Negara Memperhatikan Hak Korban
Wawancara - 10/08/2016

Revisi UU Antiterorisme Momentum Negara Memperhatikan Hak Korban

Revisi Undang-Undang (UU) No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tengah digodok oleh Panitia Khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Banyak pihak mengeluhkan perhatian pemerintah dalam revisi UU itu hanya terfokus pada upaya penindakan aksi dan seakan kurang melindungi korban terorisme. Sebagai lembaga penyalur aspirasi rakyat, DPR mengemban amanat agar revisi UU Antiterorisme memperkuat aturan tentang perlindungan dan penjaminan hak-hak korban. Dalam kesempatan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Pansus UU Antiterorisme dengan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) pada Selasa (31/5/2016), redaksi Suara Perdamaian sempat mewawancara Anggota Komisi III DPR, Muhammad Nasir Djamil, untuk membahas hal itu. Berikut petikan wawancaranya:

 

Menurut Anda, apa yang harus diperkuat mengenai perlindungan korban dalam revisi UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme?

Pertama, tentu harus secara eksplisit disebutkan dalam UU tentang apa atau siapa sajakah orang yang disebut korban terorisme, lalu apa saja elemen perlindungan korban, dan bagaimana implementasi perlindungan korban itu sendiri. Kedua, menurut saya harus ada satu unit pelaksana penanganan terorisme yang bertugas untuk melindungi korban. Perlindungan korban ini dalam arti bahwa ketika terjadi peristiwa teror yang menimbulkan korban maka unit ini harus bergerak secara cepat, bisa melakukan tindakan-tindakan darurat dan juga tindakan-tindakan selanjutnya. Revisi ini menurut saya momentum agar kemudian negara lebih memperhatikan hak korban terorisme.

Selama ini barangkali sudah dicantumkan tapi dalam bentuk Peraturan Presiden bukan dalam bentuk UU. Kita ingin naikkan ke level UU. Tentu akan ada implikasi. Artinya, ada implikasi institusi, anggaran, kemudian juga sumber daya manusia untuk mengeksekusi aturan itu.

Tentang unit reaksi cepat penanganan korban terorisme, siapa lembaga negara yang paling berkompeten untuk membentuknya?

Sebenarnya kan selama ini ada Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tapi sayangnya di BNPT tidak ada unit yang dengan segera, dengan cepat menangani

korban baik dalam kondisi darurat maupun saat menjalani perawatan. Nanti di dalam U ini kita jadikan satu bagian, apakah dalam bentuk deputi atau bentuk lain yang memang

mengurus korban terorisme. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga dimungkinkan menjalankan fungsi itu. Apabila nanti LPSK diberikan tanggung jawab untuk meng-handle soal itu maka anggaran LPSK diusahakan lebih mandiri, tidak lagi mencantol di Sekretariat Kabinet.

Apakah momentum revisi ini juga memperkuat LPSK dalam konteks penanganan korban terorisme juga?

Ya, tentu akan kita link-kan antara semangat yang ada di UU LPSK dengan apa yang ada nantinya di dalam UU yang sedang direvisi ini, sehingga sinkron, sehingga tidak ada lagi dalih bahwa UU Antiterorisme tidak mengatur ini. Sehingga nanti kalau sudah diatur dalam UU ini maka tidak ada alasan juga misalnya Kementerian Keuangan memberikan dalil bahwa ini nomenklaturnya tidak sesuai atau alasan lainnya. Kita juga mendorong LPSK untuk menghindari birokrasi yang sulit dalam urusan penanganan korban terorisme, terutama pada masa-masa kritis. LPSK tidak memerlukan keterangan

dari kepolisian untuk segera menjamin pengobatan korban terorisme.

Korban yang sedang kritis jangan dipersulit harus menunggu surat keterangan dari pihak lain hanya untuk mendapatkan penanganan.

Sejauh mana komitmen Pansus DPR untuk memasukkan hak korban dalam revisi UU Antiterorisme?

Saya pikir pertemuan hari ini kan itu menunjukkan bahwa kita punya komitmen dan concerndengan korban terorisme. Mengundang AIDA dan didampingi oleh Yayasan Penyintas Indonesia itu kan menurut saya menunjukkan ada komitmen awal dari DPR. Dan tentu saja nanti itu akan ditindaklanjuti dengan memasukkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang terkait dengan soal korban. Dalam rapat koordinasi DPR dan jajaran Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan saya pribadi menyampaikan agar pemerintah peduli dengan korban. Jangan sampai korban terzalimi, sudah menderita akibat aksi teror, ditambah lagi pemerintah mengabaikan hak-hak korban. [MSY, MLM]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *