AIDA Pertemukan Mantan Teroris dan Korbannya
Direkur AIDA, Hasibullah Satrawi, menuturkan AIDA merupakan LSM yang khusus menangani pendampingan para korban terorisme. Dia mengatakan sengaja mempertemukan Ali dan Vivi serta menjadikan mereka duta perdamaian AIDA untuk menyebarkan pesan perdamaian.
“Kita ingin mengatakan bahwa siapapun dirinya masa lalu, dia bisa berubah. Korbannya pun bisa memaafkan orang yang pernah merebut segalanya. Mereka sekarang dalam satu tim perdamaian untuk menyebarkan pesan perdamaian,” katanya di Hotel Santika Surabaya, Senin.
Hasib mejelaskan, AIDA berdiri 2013 lalu, hasil pendampingan yang dilakukan menemukan fakta bahwa para korban terorisme masih mengalami luka baik fisik maupun psikis.
“Sekitar 200 orang lebih yang kami dampingi. Mayoritas dari mereka masih mengalami luka akibat ledakan bom tersebut, meski sudah puluhan tahun terjadi,” tukas Hasibullah.
Sementara itu, Ali dan Vivi memberikan kesaksian tentang aksi teror serta pergulatan batin bangkit dari keterpurukan setelah mengalami luka fisik dan psikis akibat ledakan bom.
Dengan penuh emosi, kedua orang ini menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan sikap penuh kedamaian layaknya seorang sahabat akrab.
Ali Fauzi merupakan ahli perakit bom dari Jamaah Islamiah (JI) yang juga adik kandung Ali Imron dan Amrozi. Pada aksi teror bom di Indonesia mulai dari 1999 hingga 2004, dirinya memilki peran penting di sana.
Ali Fauzi adalah perakit bom nomor wahid se-Asia Tenggara yang selain merakit, juga mengajarkan teroris membuat bom berdaya ledak tinggi atau setara dengan kekuatan mikronuklir.
Kemampuan Ali didapat setelah menjalani pelatihan militer di Afganistan dan akademi militer Moro Islamic Liberation Front (MILF).
Ali menjelaskan sepak terjangya ketika masih aktif menyebar teror, hingga akhirnya memutuskan keluar dan malah membantu Polri terkait seluk-beluk organisasi teroris.
Ali pun menyatakan penyesalannya yang mendalam kepada Vivi. Kesalahan perjalanan hidupnya telah membawa petaka tak hanya kepada Vivi, tapi juga ke korban lainnya.
Ali mengaku mendapat pencerahan ketika akan membunuh seorang polisi. Saat akan mengeksekusi, Ali tergugah dengan keikhlasan polisi tersebut yang siap mati di tangannya.
“Kejadian itu seketika mengubah saya,” ujar Ali.
Ali menuturkan konsep jihad yang diusung para teroris tersebut salah alamat. Dijelaskan, Indonesia dalam keadaan damai, bukan kondisi berperang, sehingga menyalahi syariat mengenai konsep perjuangan jihad.
Dia melanjutkan, para teroris, merasa ada ketidakadilan yang ditujukan kepada agamanya di belahan dunia lain. Namun, rasa ketidakadilan itu diekspresikan melalui tindakan yang salah, meneror bahkan melukai orang-orang tak bersalah.
“Potensi teror masih tetap bisa terjadi. Para teroris pun tetap melakukan perekrutan bahkan semakin menyasar anak-anak muda,” katanya.
Dia mencontohkan seperti kasus penusukan polisi di Tanggerang, Ali menilai hal itu menunjukan regenerasi rekrutmen terus berlangsung.
Sementara itu, Vivi Normasari mengatakan awalnya sangat dendam kepada Ali saat kali pertama bertemu setahun lalu.
Dengan suara terbata-bata dia berbicara di depa forum. Kedua tangannya cacat permanen. Vivi pun trauma psikis rasa malu tak berkesudahan selama bertahun-tahun dialaminya.
“Waktu pertama bertemu, semua sumpah serapah saya ke alamatkan kepada Pak Ali. Pikiran saya saat itu, orang ini telah merenggut kebahagiaan saya hingga membuat saya cacat dan merasa rendah diri dari kecacatan saya tersebut,” kata Vivi.
Setelah sekian lama, Vivi mulai bisa menerima Ali Fauzi dan keadaan dirinya. Vivi mengatakan ingin kembali merasakan kedamaian. Namun, ia tak akan bisa merasakan damai jika dirinya sendiri tak mampu berdamai dengan musuh dan keadaannya.
Vivi menyatakan kekerasan tak akan bisa dilawan dengan kekerasan juga.
“Saya ikhlas memaafkan Pak Ali. Dan yang lebih penting, saya ikhlas memaafkan diri saya sendiri. Pada titik ini, saya akhirnya bisa merasakan damai,” sambungnya.(*)
Pewarta: Willy Irawan
Editor: Tunggul Susilo
[SWD]
Artikel ini pernah dimuat di ANTARAJATIM.com, Senin 24 Oktober 2016.