Menjaga Kedamaian Indonesia
Di tengah hiruk pikuk pilkada serentak seperti sekarang, ada satu kekhawatiran yang harus diantisipasi bersama, yaitu kedamaian Indonesia. Pilkada acap menjadi ajang pertarungan bagi para elite yang mempunyai segalanya untuk memenangkan calon pemimpin yang didukungnya. Bahkan, tidak jarang pertarungan yang ada sampai pada tahap menyedot masyarakat ke pusaran dukung-mendukung yang berkembang menjadi sebuah konflik sosial.
Dalam kebebasan media dan informasi seperti sekarang, momen pilkada menjadi sebuah tantangan tersendiri, khususnya dari perspektif perdamaian. Hal itu terjadi mengingat fenomena dukung-mendukung yang ada acap masuk ke ruang-ruang masyarakat melalui saluran media yang bersifat terbuka dan bebas. Bahkan, tidak jarang fenomena dukung-mendukung berlangsung dalam bentuk saling menjelek-jelekkan antara satu calon dan calon lain hingga bercorak rasisme serta narsisme, bahkan juga bernuansa radikalisme keagamaan.
Apa yang terjadi di dunia media sosial dalam beberapa waktu terakhir bisa dijadikan sebagai salah satu cermin untuk melihat fenomena seperti itu. Para pendukung calon pemimipin tertentu acap menyerang calon pemimpin lain secara membabi buta. Begitu pula sebaliknya. Sungguh miris, mengingat dukung-mendukung seperti itu tak jarang sampai menggunakan kata-kata kasar. Bahkan, agama pun dibawa-bawa untuk mendukung atau menolak calon pemimpin tertentu.
Hal yang harus diperhatikan, hujat-menghujat di media sosial kerap berlangsung tanpa verifikasi dan validasi yang memadai. Apalagi, akun-akun yang ada bersifat anonim yang membuat seseorang merasa aman untuk melempar batu sembunyi tangan. Akibatnya, tak jarang media sosial menjadi hamparan luas dan bebas bagi pelipatgandaan kebencian, permusuhan, bahkan radikalisme.
Di sinilah pentingnya semua pihak memegang teguh komitmen perdamaian bagi bangsa ini, khususnya bagi para elite yang terlibat dalam pelaksanaan pilkada, baik secara langsung atau tidak langsung. Setidaknya ada dua alasan utama yang terkait dengan urgensi menjaga kedamaian Indonesia pada momen pilkada seperti sekarang.
Pertama, pilkada merupakan sarana untuk melakukan perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan memilih pemimpin yang dipercaya mempunyai kemampuan memadai. Karena itu, hal-hal yang terkait dengan pelaksanaan pilkada harus disesuaikan dengan tujuan pelaksanaan pilkada itu sendiri, termasuk pada tahapan kampanye untuk memobilisasi dukungan dari masyarakat luas.
Bila tidak, yang terjadi adalah hal-hal yang bersifat kontraproduktif. Alih-alih membangun kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih baik, pilkada justru bisa membuat kehidupan berbangsa dan bernegara di ambang kehancuran serta perpecahan. Apalagi, pilkada yang ada berlangsung dengan semangat dukung-mendukung yang melampaui kewajaran dan kewarasan sehingga menimbulkan ketegangan antara satu kelompok masyarakat dan kelompok lain.
Kedua, ancaman laten dari kelompok radikal, baik kelompok radikal yang bersifat anti-NKRI ataupun yang sampai pada tahap terorisme seperti ISIS. Disebut ancaman laten karena kelompok radikal seperti itu senantiasa setia terhadap ideologinya yang bersifat anti-NKRI.
Bagi kelompok radikal yang hanya bersifat anti-NKRI (tidak melakukan aksi-aksi kekerasan), keberadaan NKRI diyakini runtuh pada masanya karena dianggap tidak sesuai dengan dasar-dasar kenegaraan yang mereka yakini. Namun, kelompok itu bersifat pasif, menunggu datangnya kehancuran NKRI sambil mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk pembangunan sistem kenegaraan baru pasca-NKRI.
Sedangkan kelompok radikal anti-NKRI yang sampai pada tahap terosime bersifat lebih aktif. Kelompok itu bahkan melakukan penyerangan terhadap simbol-simbol negara untuk mempercepat proses kehancurannya. Misalnya penyerangan terhadap aparat keamanan, ruang publik yang dianggap penuh dengan kemungkaran, dan lain sebagainya.
Karena itu, kondisi saling serang antarmasyarakat dan para elite pada momen pilkada seperti sekarang sesungguhnya hanya menguntungkan bagi kelompok radikal. Terlebih lagi bila gesekan-gesekan yang ada sampai menimbulkan konflik sosial dalam kehidupan masyarakat.
Bagi kelompok radikal (khususnya yang sampai pada tahap terorisme), konflik sosial adalah peluang yang ditunggu-tunggu untuk masuk ke suatu wilayah dan menciptakan apa yang mereka sebut sebagai qoidah aminah atau wilayah basis. Dari wilayah itulah mereka akan menyusun berbagai macam strategi dan serangan untuk melumpuhkan serta menguasai wilayah yang dilanda konflik tersebut secara menyeluruh.
Apa yang dahulu pernah terjadi di Ambon dan saat ini masih berlangsung di Poso (pada beberapa bagian) harus menjadi pelajaran berharga bagi bangsa ini. Meminjam istilah yang digunakan oleh mantan teroris yang sudah bertobat, konflik seperti di Ambon dahulu acap menjadi petaka bagi masyarakat setempat, tapi menjadi berkah bagi kelompok militan, termasuk yang tinggal di luar daerah.
Disebut menjadi berkah bagi kelompok militan karena konflik seperti itu bisa menyedot kaum militan, termasuk dari luar daerah, untuk bergabung ke wilayah tersebut. Disebut menjadi petaka bagi masyarakat setempat karena mereka harus menanggung semua akibat dari konflik yang terjadi.
Bahkan, saat AIDA melakukan kampanye perdamaian di Ambon beberapa waktu lalu (berbasis kisah korban terorisme dan mantan teroris yang telah berekonsiliasi), nuansa trauma masih terasa di sebagian kalangan, walaupun ada ikhtiar yang sangat kuat untuk melampaui trauma yang ada. Bahkan, ada komitmen yang sangat kuat dari semua pihak di kota yang indah itu untuk membalikkan keadaan; dari kota yang pernah dilanda konflik menjadi kota perdamaian.
Apa yang saat ini juga masih terjadi di beberapa negara di Timur Tengah, harus menjadi pembelajaran yang baik bagi bangsa ini, termasuk dalam konteks proses peralihan kekuasaan secara wajar dan rasional. Sebagaimana dimaklumi, pada awalnya konflik berkepanjangan seperti yang terjadi di Syria berawal dari persoalan peralihan kekuasaan yang tidak berlangsung secara wajar dan rasional. Begitu juga yang terjadi di Libya, Yaman, dan Mesir pada beberapa bagian.
Alih-alih berpegangan pada tujuan peralihan kekuasaan ataupun pemerintahan, kelompok yang kontra maupun prorezim berkuasa di negara-negara tersebut sama-sama menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan masing-masing. Bahkan, tiap-tiap pihak sampai pada tahap menggunakan sentimen sektarianisme dan sentimen keagamaan untuk mengalahkan lawan masing-masing. Sampai akhirnya negara itu terjebak dalam perang saudara berkepanjangan hingga hari ini.
Bahkan, kelompok radikal seperti ISIS berhasil menciptakan wilayah basis di sebagian wilayah negara-negara tersebut, khususnya di Syria dan Iraq. Hingga akhirnya kelompok itu merencanakan serta melaksanakan pelbagai macam strategi dan serangan, bukan hanya di negara-negara Timur Tengah dan sekitarnya, melainkan di dunia secara umum, termasuk Indonesia.
Tanpa kesadaran dari semua pihak terkait akan pentingnya menjaga perdamaian, bukan tidak mungkin Indonesia mengalami nasib seperti negara-negara di Timur Tengah itu. Terutama tatkala proses peralihan kekuasaan dan pemerintahan seperti pilkada serentak tidak dilangsungkan secara wajar dan rasional.
Karena itu, semua proses dan tahapan pilkada harus dilakukan secara wajar dan prosedural. Hingga keinginan membangun kehidupan berbangsa dan bernegara secara lebih baik melalui pilkada serentak bisa terwujud, bukan justru sebaliknya. [SWD]
HASIBULLAH SATRAWI
Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam, direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA).
Tulisan ini pernah dimuat di harian Jawa Pos edisi 13 Oktober 2016